
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN), Rahman Sabon Nama, melontarkan pernyataan keras atas marjinalisasi yang terus dialami kerajaan dan kesultanan Nusantara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menyebut, Republik Indonesia telah mencampakkan jasa dan hak-hak sah para raja dan sultan yang dahulu menyerahkan kedaulatan mereka demi tegaknya NKRI.
Pernyataan itu disampaikan Rahman merespons kekecewaan yang diungkap Sultan Siak Indrapura XIII, Sultan Syarif Assayidis Tengku Nazir Abdul Jalil Syaifuddin, dalam sebuah podcast berdurasi lebih dari satu jam. Dalam rekaman tersebut, Sultan dengan nada getir membeberkan tindakan negara yang dianggapnya sewenang-wenang, mulai dari perampasan aset, pengabaian hak-hak keperdataan, hingga upaya pengambilalihan paksa benda-benda warisan sejarah Kesultanan Siak.
“Saya meminta Presiden Prabowo Subianto, sebagai keturunan trah bangsawan Mataram, dan Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon, untuk segera turun tangan. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, ini adalah pelecehan terhadap kehormatan sejarah Nusantara,” tegas Rahman dalam pernyataannya, Senin (2/6/2025).
Rahman menyebut, yang terjadi bukan hanya di Siak. Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara dan Kesultanan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur juga mengalami hal serupa.
“Hak-hak atas tanah swapraja, bangunan bersejarah, dan properti adat dirampas tanpa musyawarah, tanpa adab. Ini bentuk pengkhianatan terhadap jasa besar kerajaan kepada Republik Indonesia,” ujarnya lantang.
Sumbangan Triliunan yang Dilupakan
Rahman mengingatkan kembali sejarah yang kerap dikaburkan: bagaimana Sultan Syarif Kasim II dari Siak Indrapura menyumbang 13 juta gulden—senilai triliunan rupiah hari ini—untuk menopang keuangan negara saat proklamasi baru dikumandangkan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun memberikan 5 juta gulden dari kekayaan pribadinya demi Republik yang masih seumur jagung itu.
“Tanpa dana, tanah, dan dukungan politik para raja, negara ini bisa saja tak bertahan. Tapi hari ini, yang tersisa hanyalah pengabaian dan pengingkaran. Dimana hati nurani kita?” ujar Rahman, yang juga merupakan Wareng V Adipati Kapitan Lingga Ratuloly.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa Sultan Syarif Kasim II tak hanya menyumbangkan uang, namun juga menyerahkan 30% aset kekayaan pribadi berupa emas kepada Presiden Soekarno, demi perjuangan. Ia juga mendirikan barisan pejuang seperti TKR dan Barisan Pemuda Republik Indonesia di Siak.

“Sementara Sri Sultan HB IX bahkan jadi pengatur strategi utama Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Tapi lihat bagaimana negara memperlakukan trah mereka hari ini? Ini bukan sekadar lupa jasa, ini pengkhianatan moral.” tegasnya.
Khianat atas Teks Proklamasi 17 Agustus 1945
Menurut Rahman, teks Proklamasi yang menyebut bahwa “pemindahan kekuasaan dilakukan dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya” bermakna bahwa seharusnya ada pembagian kekuasaan antara pemerintah Republik dengan kerajaan-kerajaan yang melebur dalam negara. Namun hingga 79 tahun kemerdekaan, janji itu tak pernah ditepati.
“Yang terjadi justru peminggiran, perampasan, dan kriminalisasi adat istiadat. Republik telah berubah menjadi entitas yang melupakan akar sejarahnya sendiri,” ujarnya dengan nada kecewa.
Tiga Tuntutan PDKN Kepada Presiden Prabowo
Atas situasi ini, PDKN, lanjut Rahman, menyampaikan tiga tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto:
- Menerbitkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli dan Pancasila 18 Agustus 1945 dengan adendum pengakuan terhadap eksistensi kerajaan/kesultanan Nusantara.
- Mengakomodasi delapan tuntutan dari 300 purnawirawan jenderal TNI sebagai isi Dekrit Presiden tahun 2025.
- Mendesak MPR RI untuk segera menggelar Sidang Istimewa guna mengesahkan Dekrit Presiden dan menerbitkan TAP MPR yang mengakui secara konstitusional eksistensi Kerajaan dan Kesultanan Nusantara.
“Kami tidak minta kekuasaan. Kami hanya menuntut keadilan sejarah. Jangan biarkan para raja dan sultan yang berjasa, diakhir hayatnya justru dilupakan, atau lebih parah: dipermalukan,” pungkas Rahman.(*)
Editor: Abdel Rafi