Wednesday, December 4, 2024
spot_img
HomeGagasanKemenangan Trump dan Prospek Perdamaian Palestina-Israel

Kemenangan Trump dan Prospek Perdamaian Palestina-Israel

Keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Pilpres 2024, menimbulkan keoptimisan bagi sebagian pihak dan kepesimisan bagi sebagian pihak lainnya. Bagi pendukungnya, Donald Trump dianggap akan dapat memperbaiki perekonomian nasional AS, serta menciptakan perdamaian di tingkat internasional. Pada pidato kemenangannya, Trump mengklaim bahwa pada masa periode pertamanya sebagai presiden tahun 2017-2021, tidak ada perang yang melibatkan Amerika Serikat, kecuali dalam operasi mengalahkan ISIS yang berlangsung cepat. Sebaliknya, pihak yang pesimis terhadap kemenangan Trump berargumen bahwa kemenangan tersebut Trump akan membawa dunia kembali ke masa yang penuh ketidakpastian. Pelanggaran prinsip demokrasi, perang dagang dengan China, pengusiran imigran, pengabaian isu lingkungan hidup-yang menjadi karakter pemerintahan Trump-adalah sebagian kecil isu yang akan berdampak pada stabilitas geopolitik global.

Optimisime dalam Masalah Palestina-Israel

Optimisme dan pesimisme juga datang dalam isu konflik Timur Tengah, khususnya dalam masalah Palestina-Israel. Trump berjanji akan menyelesaikan perang kali ini, yang melibatkan Hamas-Israel, dalam tempo sesegera mungkin. Asumsinya, Trump akan lebih memprioritaskan masalah-masalah domestik AS, serta akan lebih memprioritaskan permasalahan ekonomi daripada masalah peperangan. Trump juga akan melanjutkan diplomasi koersif terhadap Iran sehingga akan membuat negeri para Mullah tersebut akan kesulitan dalam mendukung kelompok-kelompok pejuang Palestina.

Selain itu, Donald Trump juga diyakini akan melanjutkan visi pemerintahannya tentang Palestina-Israel. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2020, pemerintahan Trump menerbitkan dokumen visi perdamaian jangka panjang antara Palestina-Israel. Visi tersebut tertuang dalam dokumen setebal 180 halaman berjudul From Peace to Prosperity. Dalam dokumen tersebut, Donald Trump menawarkan beragam keuntungan yang akan diterima Palestina jika menerima visi perdamaian jangka panjang versi Trump tersebut. Diantara keuntungan tersebut adalah tawaran investasi miliaran Dollar, pertumbuhan ekonomi, dan pembukaan lapangan kerja. Selain kepada Palestina, Donald Trump juga menawarkan keuntungan ekonomi terhadap negara-negara Timur Tengah yang mau melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel sebagaimana tertuang dalam kebijakan Abraham Accord.

Kombinasi strategi diplomasi koersif terhadap Iran yang mendukung pejuang Palestina dan pemberian konsensi ekonomi terhadap Palestina serta negara-negara Timur Tengah, diyakini akan menciptakan perdamaian jangka panjang bagi Palestina-Israel.

Banyak laporan media mengklaim bahwa kemenangan Trump kali ini salah satunya didorong oleh optimisme sebagian kalangan yang percaya Trump memiliki pendekatan berbeda dalam menyelesaikan masalah Palestina-Israel. Kalangan tersebut lantas lebih memilih mendukung Donald Trump daripada Kamala Harris. Pasalnya, Kamala Harris, tidak dapat lepas dari bayang-bayang Presiden Joe Biden. Rezim Joe Biden dianggap tidak memiliki sikap jelas untuk menghentikan perang yang telah menewaskan puluhan ribu rakyat sipil. Walaupun Joe Biden tercatat pernah mengkritik Netyanyahu atas pendekatan dalam perang ini, namun kritikan tersebut terbukti sebatas retorika belaka. Seharusnya rezim pemerintahan Joe Biden dapat bertindak lebih tegas untuk menghentikan perang ini. Namun yang terjadi, pemerintahan Joe Biden justru membiarkan perang ini terus terjadi.

Karena itu, kemenangan Trump diklaim akan membawa penyelesaian perang yang telah berlangsung lebih dari satu tahun ini. Terlebih kini perang telah meluas dengan melibatkan mitra strategis Iran di kawasan seperti Hezbollah di Lebanon, kelompok perlawanan di Iraq dan kelompok perlawanan Houthi di Yaman. Selain itu, kemenangan Trump diyakini akan membawa perdamaian jangka panjang dalam masalah Palestina-Israel.

Pesimisme: Rekam Jejak Trump

Namun demikian apakah memang benar bahwa kemenangan Donald Trump akan memberi dampak bagi perdamaian dalam perang kali ini ? Apakah memang benar bahwa Donald Trump akan membawa pendekatan berbeda yang akan berimbas pada pembangunan perdamaian jangka panjang antara Palestina-Israel ?

Tentu saja kita masih harus menunggu perkembangan kebijakan yang akan diambil Trump dalam masalah ini. Kita juga harus menunggu komposisi kabinet dan pejabat kunci yang akan ditunjuk oleh Trump. Hanya saja, jika melihat pola dari data yang ada, rasanya akan sulit berharap bahwa kemenangan Trump akan berimbas pada penyelesaian perang ataupun pembangunan perdamaian jangka panjang dalam masalah Palestina-Israel ini.

Pertama, memang Donald Trump berjanji akan menyelesaikan perang ini sesegera mungkin. Masalahnya, Donald Trump tidak menjelaskan bagaimana cara penyelesainnya. Jangan-jangan, rezim Donald Trump nantinya justru akan mendukung Israel untuk bersikap lebih keras terhadap faksi-faksi perlawanan Palestina dan para kelompok pendukungnya dari negara lain seperti Hezbollah dari Lebanon. Masalahnya, AS telah mengkategorikan kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Palestinian Islamic Jihad maupun Hezbollah sebagai kelompok-kelompok teroris yang harus diperangi. Selain itu, diplomasi koersif yang akan diterapkan AS terhadap Iran sebagai notabene adalah pendukung utama perjuangan Palestina, juga akan membuat proses perdamaian akan menjadi lebih kompleks.

Kedua, pada masa periode pertamanya sebagai presiden tahun 2017-2021, Trump justru melahirkan kebijakan kontroversial terkait Palestina-Israel. Misalnya Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota negara Israel. Kebijakan ini diikuti dengan pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Tentu kebijakan kontroversial ini memicu kemarahan dari rakyat Palestina itu sendiri maupun komunitas internasional yang lebih luas.

Ketiga, visi perdamaian jangka panjang Palestina-Israel yang dituangkan Trump dalam dokumen “From Peace to Prosperity” pada 2020, justru dinilai meneguhkan pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Pasalnya, visi ini terlihat vulgar sangat berpihak kepada Israel. Misalnya, Israel memiliki hak untuk menguasai sebagian besar wilayah Tepi Barat, pengakuan Abu Dis (bukan Yerusalem) sebagai ibukota Palestina, penegasan kebutuhan kontrol keamanan Israel terhadap wilayah-wilayah di negara Palestina, penyebutan kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Palestinian Islamic Jihad sebagai kelompok teroris, serta dorongan agar pemerintahan negara Palestina nantinya tidak melibatkan Hamas dan Palestinian Islamic Jihad. Artinya, visi Trump dianggap tidak berpihak pada pembentukan negara Palestina yang benar-benar berdaulat, sebaliknya visi Trump justru secara eksplisit melanggengkan pendudukan Israel atas Palestina. Jika pola-pola ini terus dilanjutkan pada masa periode kedua Donald Trump, maka kecil kemungkinan konflik Palestina-Israel mencapai perdamaian jangka panjang.

Keempat, sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok lobi Israel memiliki pengaruh kuat dalam memengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap Israel. Misal sebagaimana dijelaskan John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam bukunya The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy, digambarkan bahwa kelompok-kelompok lobi Israel di AS memiliki beragam strategi sekaligus pengaruh luas terhadap perumus kebijakan luar negeri di cabang-cabang  eksekutif dan legislatif negeri Paman Sam tersebut. Karena itu, siapapun presidennya dan partai apapun yang menjadi mayoritas di AS, akan secara konsisten mendukung Israel. Konsistensi dukungan AS tersebut ditunjukkan baik secara politis di PBB, maupun bantuan militer secara masif kepada negeri Zionis tersebut. Ilustrasinya, kebijakan Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel misalnya, adalah implementasi dari Jerusalem Embassy Act yang disahkan tahun 1995.

Berdasar pola dari data yang telah ada, maka sulit untuk mengharapkan perubahan kebijakan AS yang fundamental dalam masalah Palestina-Israel.  Sinyal pesimisme ini juga dikonfirmasi dengan kabar penunjukan Elise Stefanik oleh Trump sebagai duta besar AS di PBB. Elise Stefanik dikenal sebagai politisi Partai Republik yang dikenal sangat pro-Israel. Ketua tim transisi Trump saat ini, Howard Lutnick, juga dikenal sebagai pengusaha yang sangat pro-Israel.

Masih ada harapan ?

Sebagai kesimpulan, kemenangan Trump pada Pilpres 2024 membawa harapan sekaligus kekhawatiran terkait kebijakan AS terhadap masalah Palestina-Israel. Namun rekam jejak Trump yang kontroversial sekaligus sangat pro-Israel membuat kita sulit berharap terjadi perubahan mendasar dalam masalah ini. Apabila pola kebijakan Trump berlanjut tanpa perubahan signifikan, maka besar kemungkinan konflik ini akan terus terjadi tanpa solusi jangka panjang yang memadai bagi Palestina.

 

PRIHANDONO WIBOWO

Dosen Hubungan Internasional FISIP UPN Veteran Jawa Timur

RELATED ARTICLES

Mobil Demokrasi

Gladiator Virtual

Bacot Ember 212

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular