
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), kembali menyedot perhatian publik. RSUD Al-Ihsan resmi berganti nama menjadi RSUD Welas Asih. Perubahan ini menuai beragam reaksi, dari dukungan hingga penolakan. Di balik langkah yang dianggap sepele ini, ternyata ada visi kebudayaan besar yang diusung KDM: menghadirkan nilai kearifan lokal dalam pelayanan publik.
“Nama ‘Welas Asih’ berasal dari bahasa Sunda, artinya kasih sayang. Saya ingin rumah sakit ini memancarkan nilai itu, nilai kemanusiaan dan kelembutan khas masyarakat Sunda,” ungkap Kang Dedi dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Namun, langkah ini memicu perdebatan. Sebagian publik mengaitkannya dengan isu agama. Sebagian lainnya menyebut kebijakan ini sekadar kosmetik.
Bukan Politik Identitas, Tapi Pribumisasi
Menanggapi kontroversi ini, akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Listiyono Santoso, angkat suara. Ia menegaskan, perubahan nama RSUD ini lebih tepat dipahami sebagai upaya “pribumisasi ruang publik”, bukan politik identitas.
“Nama-nama lokal di ruang publik sebenarnya adalah simbol kenetralan yang lebih membumi. Ini bukan soal sentimen agama, tapi soal bagaimana ruang bersama bisa merepresentasikan budaya masyarakat lokal,” jelasnya, Kamis (17/7/2025).

Listiyono menilai, kebijakan KDM justru mengingatkan pada gagasan Presiden Gus Dur di masa lalu yang memperkenalkan konsep pribumisasi. “Ketika unsur kelokalan muncul di ruang publik, masyarakat akan merasa lebih dekat dan memiliki. Ini cara membangun identitas bersama, bukan sekadar simbol kedaerahan,” tambahnya.
Menurut Listiyono, idealnya ruang publik memang netral, menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, menambahkan sentuhan lokal selama tidak bersifat eksklusif atau diskriminatif, sah-sah saja.
“Ruang publik itu milik semua. Pemberian nama lokal adalah strategi kultural, bukan tindakan memihak kelompok tertentu,” tegasnya.
Ia menyinggung fenomena pada dekade 60-an, ketika banyak pesantren yang awalnya memakai nama daerah berganti dengan nama bernuansa Arab. “Itu bagian dari dinamika budaya. Dan perubahan nama RSUD ini pun wajar jika dilihat dalam konteks kebudayaan, bukan semata-mata urusan agama,” jelasnya.
“Intinya, Kang Dedi sedang menanam rasa memiliki warga Sunda terhadap fasilitas publiknya sendiri,” pungkas Listiyono.(*)
Editor: Abdel Rafi



