Sunday, March 16, 2025
spot_img
HomeGagasanKabur ke Sarajevo

Kabur ke Sarajevo

Hari-hari ini, tagar #KaburAjaDulu ramai di media sosial. Di antara unggahan tentang beasiswa ke Eropa, peluang kerja di Amerika, dan cerita tentang kehidupan yang lebih “layak” di luar negeri, aku mendapati sebuah pola: orang-orang ingin pergi, mencari tempat yang lebih baik, lebih menjanjikan.

Tagar ini mengingatkanku pada sesuatu.

Bukan pada rencana kabur ke Jerman atau Kanada seperti yang sering muncul di unggahan itu, melainkan pada sebuah perjalanan dadakan ke Bosnia.

Sarajevo, ibu kota yang pernah terkepung selama hampir empat tahun, bukanlah destinasi populer bagi mereka yang ingin “kabur” dari Indonesia. Tak ada yang bermimpi meninggalkan Jakarta demi hidup di Sarajevo. Tapi entah mengapa, aku justru pernah sampai di sana.

Dan dalam perjalanan itulah, di sebuah senja yang tenang, aku bertemu dengan Šahin Šišić—seorang pria yang mengingatkan bahwa ada bentuk lain dari “kabur.” Yang bukan tentang mencari peluang, melainkan tentang bertahan hidup.

Senja di Sarajevo dan Seorang Teman Lama

Sore itu, aku dan Djitron Pah, seorang seniman Sasando dari Pulau Rote, berjalan melintasi jalan-jalan berbatu di Baščaršija, jantung kota tua Sarajevo. Djitron, dengan Tiilangga—penutup kepala khas Rote—menarik perhatian di antara pejalan kaki, di antara bangunan dengan arsitektur Ottoman yang masih tegak berdiri meski Sarajevo pernah menjadi kota yang terkepung terlama di era modern.

Kami baru saja meninggalkan hiruk-pikuk pasar tua, dalam perjalanan kembali ke apartemen, ketika seorang pria paruh baya mendekati kami. Ia menatap Tiilangga dengan penuh minat, lalu bertanya dengan aksen Slavia yang kental.

“Kalian dari mana?”

“Indonesia.”

Aku melihat perubahan di wajahnya. Ada sesuatu yang seperti kilatan kenangan yang tiba-tiba muncul.

“Indonesia?” Ia mengulang, lalu dengan nada yang lebih bersemangat bertanya, “Apakah kalian mengenal Eros Djarot?”

Nama itu tentu tak asing. Tapi aku dan Djitron saling berpandangan, karena kami tak mengenalnya secara pribadi.

Pria itu tersenyum, lalu memperkenalkan diri: Šahin Šišić.

Ia adalah seorang sutradara, salah satu orang yang mendokumentasikan kekejaman perang Bosnia dalam film dan gambar, agar dunia tak melupakannya. Ia juga pernah bersinggungan dengan sineas Indonesia, termasuk Eros Djarot, namun waktu dan keadaan membuatnya kehilangan kontak.

“Katakan padanya,” ucapnya sambil menatapku lurus, “seorang teman di Sarajevo masih mengingatnya.”

Ada sesuatu dalam cara ia mengatakannya—bukan sekadar harapan untuk kembali terhubung, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. Sebuah pengingat bahwa di tengah dunia yang terus bergerak, ada hal-hal yang tetap tinggal di hati seseorang, meski jarak dan waktu telah memisahkan.

Sebelum kami berpisah, Šahin merogoh tasnya dan menyerahkan sebuah buku—tanpa banyak kata, seolah-olah buku itu sendiri sudah berbicara lebih banyak dari yang bisa diungkapkan.

Judulnya: “Life Against Death: Srebrenica” karya Kadir Habibović.

Aku menerimanya, tanpa tahu bahwa buku itu akan membawaku ke lapisan sejarah yang lebih kelam dari yang pernah kubayangkan.

Kadir Habibović dan Srebrenica yang Tak Pernah Hilang

Malam itu, di apartemen kecil tempat kami bermalam, aku membuka halaman pertama buku itu. Kata-katanya berat. Nyaris terasa seperti luka yang dituangkan dalam tulisan.

Kadir Habibović adalah seorang penyintas. Ia menulis bukan sebagai sejarawan, tetapi sebagai saksi hidup. Ia kehilangan keluarga, teman-teman, dan tanah air yang dikenalnya. Tapi yang lebih mengerikan, ia kehilangan keyakinan bahwa dunia akan peduli.

Buku itu adalah kesaksiannya tentang Srebrenica, Juli 1995.

Lebih dari 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim Bosnia dibantai dalam genosida paling mengerikan di Eropa sejak Perang Dunia II. Mereka telah berusaha kabur—ke hutan, ke pegunungan, ke manapun yang menjanjikan harapan. Mereka berlari bukan untuk kehidupan yang lebih baik, tapi untuk sekadar hidup.

Di Sarajevo, aku melihat bekas-bekas peluru di dinding bangunan tua. Tapi di Srebrenica, aku membaca bekas peluru yang tertinggal di ingatan orang-orang.

Aku menutup buku itu. Rasanya seperti mendengar jeritan dari masa lalu yang terus bergema.

Di Bosnia, kabur bukan tentang mencari peluang lebih baik. Kabur adalah soal bertahan, soal menyelamatkan diri dari kepastian kematian.

#KaburAjaDulu: Sebuah Paradoks

Beberapa waktu setelah aku kembali ke Indonesia, media sosial mulai ramai dengan tagar #KaburAjaDulu.

Tagar itu mencerminkan generasi yang frustrasi—terhadap ekonomi yang stagnan, politik yang membosankan, dan masa depan yang terasa semakin sempit. Mereka yang menggunakan tagar ini berbagi tips beasiswa, peluang kerja di luar negeri, serta membandingkan kehidupan di Indonesia dengan negara-negara yang dianggap lebih “maju.”

Mereka yang berhasil “kabur” memamerkan pagi di Berlin, senja di New York, atau akhir pekan di Melbourne. Mereka berbicara tentang gaji yang lebih tinggi, sistem yang lebih adil, infrastruktur yang lebih tertata.

Tapi aku tak melihat ada yang memilih kabur ke Sarajevo.

Tak ada yang meninggalkan Indonesia untuk Bosnia.

Hanya ada tak lebih dari 100 warga negara Indonesia di seluruh Bosnia. Itupun termasuk para diplomat dan keluarganya.

Bosnia, tentu saja, bukan destinasi yang menjanjikan stabilitas ekonomi atau jenjang karier yang cemerlang. Negara ini lebih sering dikenang karena perang dan luka yang masih menganga. Sarajevo bukan kota di mana orang bermimpi untuk tinggal—ia adalah kota di mana orang dulu berusaha kabur darinya.

Di satu sisi dunia, orang-orang bermimpi melarikan diri ke negara-negara Barat untuk hidup lebih nyaman.

Di sisi lain dunia, ada mereka yang dulu berlari hanya untuk tetap hidup, hanya untuk tidak mati.

Kabur atau Bertahan?

Lalu, apa sebenarnya arti “kabur”?

Di Bosnia, aku belajar bahwa kabur tidak selalu berarti menuju kehidupan yang lebih baik. Kadang, kabur hanyalah cara untuk tidak mati. Dan bagi mereka yang tak punya pilihan untuk pergi, bertahan pun bisa menjadi bentuk perlawanan.

Di Indonesia, #KaburAjaDulu adalah tentang mencari kesempatan, membuka peluang. Tak ada yang salah dengan itu. Hidup memang soal memilih jalan, dan tak semua orang ingin bertahan di tempat yang membuatnya merasa terkekang.

Tapi sebelum kita terburu-buru berkemas, mungkin ada pertanyaan yang harus kita jawab:

Apakah kita benar-benar kabur menuju sesuatu yang lebih baik, atau hanya lari dari sesuatu yang kita anggap buruk?

Karena yang bertahan pun, sejatinya sedang berjuang—bukan untuk menerima keadaan, tetapi untuk mengubahnya.

Mereka yang kabur akan menemukan dunia yang lebih luas. Tapi mereka yang bertahan, merekalah yang membangun dunia itu.

KHAIRUL FAHMI

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular