Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanInsiden Tolikara: Hati-Hati Jangan Terprovokasi

Insiden Tolikara: Hati-Hati Jangan Terprovokasi

10801518_10202871679977967_3714782186091309356_n

Mohon ijin berbagi buah pikiran dari kami yang tinggal di Papua dan turut dalam menyelesaikan masalah ini. Perkenankan saya berbagi sedikit fakta bahwa ada skenario lain di balik aksi pembakaran masjid, rumah dan kios milik umat Islam di Tolikara pada saat Idul Fitri kemarin. Ini juga yang menjadi pertimbangan kami (dan kami berharap untuk semua umat Islam di Indonesia) untuk lebih hati-hati dan waspada menghadapi situasi yang sangat mudah disusupi oleh kepentingan lain selain masalah agama.

Pada tulisan ini kami ingin menyampaikan bahwa di Papua pada umumnya, toleransi sudah bukanlah barang baru lagi. Ia sudah mendarah daging di setiap warga di Papua. Baik muslim maupun non-muslim. Maka, terjadinya aksi intoleran ini dapat dipastikan bukan diakibatkan oleh hal yang sepele. Apalagi hanya urusan pengeras suara (toa/speaker). Bukan itu. Dapat dipastikan ada skenario dan aksi liar yg dilakukan oleh “sutradara handal”.

Di Papua, ada dua hal yang sangat menjadi perhatian utama pemerintah daerah serta aparat penegak hukum: isu yang berkenaan dengan agama dan isu yang berhubungan dengan ‘merdeka’. Sehingga, jika surat yang beredar dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) itu adalah benar, apalagi tembusannya kepada Bupati, Ketua DPRD, Kapolres dan Danramil, tentunya ini sudah pasti akan diantisipasi dengan cepat. Karena sekali lagi, ini sudah menjadi cocern aparat TNI/POLRI yang utama.

Apa skenario lainnya? Dugaan sementara dari hasil diskusi kami (tokoh Islam, Kristen, Pemerintah Daerah, Muspida) adalah upaya membuat suasana kacau dimana kemudian menjadi alasan untuk organisasi yang sekarang berkonsentrasi untuk melepaskan Papua dari Indonesia menyatakan bahwa selama diurusi oleh Indonesia, Papua tidak aman. Masyarakat resah. Kehidupan dan kerukunan beragama kacau. Lalu kemudian mereka meminta perlindungan negara yang mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan lainnya. Sebagai bahan pertimbangan mari kita renungkan sejenak beberapa pertanyaan yang kemudian muncul berikut ini:
1. Apa hubungan Pendeta Nayus Wenda (penandatangan surat edaran yg diduga dari GIDI) dengan Benny Wenda? (tokoh Papua yg tinggal di Oxford, Inggris yg juga mendapatkan perlindungan dari kerajaan Inggris, sangat concern mengkampanyekan kemerdekaan Papua di dunia internasional)
2. Beberapa hari sebelumnya, Organisasi Papua Merdeka melakukan aksi demonstrasi di depan KBRI London, tepatnya di Grosvenor Square dan juga di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Meneriakkan kembali tentang kemerdekaan Papua lengkap dengan atribut dan busana Papua.

Inikah yang kita harapkan? Jika memang ini yang kita harapkan, baiklah. Datanglah ke Papua. Angkatlah senjata. Perangi mereka yg memerangi. Berjihadlah dengan melakukan perlawanan. Ketahuilah, jarak dari Pulau Jawa ke Papua itu ditempuh dengan transportasi udara adalah kurang lebih 6 jam. Jika ditempuh perjalanan laut bisa hingga 2 minggu. Itu pun baru ke kota besarnya seperti Jayapura, Timika atau Merauke. Jika ingin ke Tolikara, tidak ada jalur darat, perlu menggunakan pesawat kecil lagi yang terbang berdasarkan cuaca. Jika cuaca bagus terbang selama kurang lebih 1,5 jam dan jika cuaca buruk tidak ada yang sanggup kesana. Atau jalan kaki menembus hutan perawan Papua yang berminggu-minggu lamanya baru bisa sampai. Ditambah biaya transportasi bisa hingga 6-7 juta Rupiah per orang di musim hari raya ini. Catat, itu baru sekali pergi. Belum lagi jika nantinya mau pulang kembali.

Dan catat juga, pesawat kecil sebagai sarana transportasi ke Tolikara kebanyakan dimiliki oleh Misionaris. Sangat mudah mereka tidak mengangkut mereka yang mau berjihad mengangkat senjata ke sana.
Namun, jika kita tidak ingin peristiwa mengenaskan ini terus membesar seperti menggelindingnya bola salju, mari kita selesaikan dengan bijaksana. Fiqih Dakwah dan fiqih Aulawiyat di sini berbeda dengan di Jawa, Sumatera dan daerah lain di Indonesia. Kami tidak pernah takut berjihad melawan tindakan mereka. Namun jika kami melawan, ada yang terbahak-bahak tertawa kegirangan. Karena itulah yg ‘mereka’ harapkan.

Sekali lagi, peristiwa ini membuat umat Islam tersakiti, itu pasti. Marah? Sangat wajar marah, saya pun marah. Apalagi ditambah sikap pemerintah pusat yang terkesan asal bicara dan media-media nasional yang asal membuat berita dan juga kian memperkeruh suasana. Namun, percayakan kepada kami untuk bisa menyelesaikan semua ini dengan jihad damai terlebih dahulu. Masih banyak cara yang bisa kita tempuh dengan baik. Tanpa harus tergerus mengikuti ritme skenario mereka.

Pelanggaran hukumnya jelas. Tersangkanya jelas. Kami serahkan kepada aparat penegak hukum di negeti ini. Karena aparat juga tidak tinggal diam. Jika masih ingin berkontribusi jihad, mari berjihad dengan membantu membangun kembali masjid yang dibakar itu. Membantu para korban yang rumah dan kiosnya juga turut dibakar. Membantu berjihad dengan juga membantu masyarakat Papua (muslim dan non-muslim) untuk semakin berdaya, semakin maju, sehingga tidak mudah diprovokasi pihak-pihak tertentu. Mari berjihad dengan menunjukkan bahwa umat Islam, dalam kondisi marah dan tersakiti pun, tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku dan bisa menyelesaikan persoalan dengan suasana yg harmonis. Demikian dan terimakasih atas segala untaian doa dan dukungan bagi kami di sini. Di Papua. Semoga Allah melindungi kita semua. Amin.

AZZAM MUJAHID IZZULHAQ

Khadimul Ummah, Tinggal Di Papua

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular