Sunday, March 16, 2025
spot_img
HomeSosok Heterotopia, Konsep Rekonstruksi Perpustakaan di Era Kekinian Ala Prof Koko Srimulyo

 Heterotopia, Konsep Rekonstruksi Perpustakaan di Era Kekinian Ala Prof Koko Srimulyo

Prof. Dr. Koko Srimulyo, Drs., MSi., saat menyampaikan orasi ilmiahnya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Perpustakaan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR, Kamis (27/2/2025). (foto: Unair for Cakrawarta)

Surabaya, Berkembangnya teknologi komunikasi dan komputasi menandai masuknya masyarakat pada era informasi. Era di mana manusia saling terhubung melalui berbagai platform tanpa batasan ruang dan waktu. Tidak dapat dipungkiri, fenomena ini menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi eksistensi perpustakaan.

Melalui karya berjudul Merekonstruksi Perpustakaan di Era Masyarakat Informasi: Mengembangkan Heterotopia Melalui Manajemen Perubahan Berkelanjutan menjadi solusi alternatif sebagai meningkatkan peran dari perpustakaan yang mengalami degradasi pada era masyarakat informasi.

“Perpustakaan yang hanya berdiam diri dan tidak mau berubah, niscaya akan digilas oleh perubahan zaman. Dalam rangka menghadapi perubahan dan tantangan dalam masyarakat informasi, heterotopia menjadi konsep tawaran yang penting,” ujar Prof. Dr. Koko Srimulyo, Drs., MSi., dalam orasi ilmiahnya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Perpustakaan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR, pada Kamis (27/2/2025).

Menurutnya, heterotopia merupakan lawan kata dari utopia. Jika utopia merujuk pada sebuah bayangan ideal tentang tatanan yang diinginkan atau keadaan yang tidak nyata. Sebaliknya, heterotopia merupakan ruang nyata yang mampu diwujudkan dengan berbeda. Heterotopia merupakan perwujudan dari keinginan untuk melingkupi semua waktu, semua bentuk, semua selera dalam satu tempat.

“Menghadirkan heterotopia ke dalam tubuh perpustakaan berarti menata kembali peran perpustakaan dalam masyarakat sekaligus membongkar tradisi lama tentang perpustakaan yang membosankan dengan cara menghadirkan alternatif lain. Membawa konsep heterotopia ke perpustakaan berarti sebuah upaya untuk merekonstruksi perpustakaan,” imbuhnya.

Dirinya menyebutkan bahwa penerapan konsep heterotopia dapat perpustakaan wujudkan dalam berbagai bentuk. “Perpustakaan semestinya menjadi ruang yang mampu mengemas pengetahuan dan hiburan dalam satu paket, sehingga ia adalah tempat pertama yang terlintas di pikiran mahasiswa, orang tua, maupun komunitas ketika hendak mengadakan kegiatan,” tukasnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam mewujudkan rekonstruksi perpustakaan ini membutuhkan adanya manajemen perubahan yang berkelanjutan. “Sejatinya perubahan memang tidak bisa hanya dilakukan satu atau dua orang saja, maka dibutuhkan orang-orang yang mendukung ide perubahan, yang disebut dengan koalisi. Di samping itu, harus ada visi yang strategis mengenai arah perubahan dan apa yang ingin dicapai melalui perubahan tersebut,” paparnya.

Visi ini, lanjutnya, harus terukur dan mampu dikomunikasikan dengan jelas sehingga mampu diterima dan dipahami oleh semua pihak. Ketika pustakawan dan teknisi perpustakaan telah mampu menerima, maka mereka perlu dilibatkan dan diberdayakan. Selain perbaikan internal, ada catatan penting untuk sebagian besar perpustakaan di Indonesia, yaitu terkait dengan kerja sama.

“Perpustakaan di Indonesia juga bisa berekspansi dalam melakukan kerja sama untuk re-branding menggunakan media non-konvensional yang banyak digemari. Hal ini bisa mulai dilakukan dengan meluaskan kerja sama, seperti dengan sutradara film, rumah produksi musik, bahkan sanggar-sanggar tari dan teater,” pungkasnya.

(pkip/rafel/tommy)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular