Saturday, November 9, 2024
spot_img
HomeGagasanHari Ibu dan Hak Untuk Tidak Bersekolah

Hari Ibu dan Hak Untuk Tidak Bersekolah

images-4

Hari Selasa (20/12/2016), usai urusan perpanjangan paspor di kantor imigrasi Waru di Graha Pena, saya dicegat Jefry anak muda usia 20-an tahun, penggiat Save The Children. Bersama 3 kawannya, Jefry mencoba meyakinkan saya agar mau menjadi donatur tetap Save The Children secara daring (online). Saya bilang bahwa untuk soal semacam itu sudah saya lakukan melalui mekanisme sedekah dan zakat. Siapa Save The Children ini?

Lalu Jefry tanya soal hak-hak anak untuk hidup dan pendidikan. Saya bilang bahwa banyak anak kehilangan hak untuk pendidikan di dunia karena dipaksa sekolah melalui mekanisme wajib sekolah. Bahkan Pemerintah berusaha keras melakukan program gratis untuk memaksa anak bersekolah. Bahkan makin lama di sekolah dianggap makin baik.

Saya keberatan Wajib Belajar (wajar) diartikan Wajib Sekolah. Saat ini lebih banyak orang lebih lama bersekolah, gelarnya makin panjang disandang. Apakah kita lebih terdidik? Tidak. Yang harus diperjuangkan saat ini adalah hak untuk tidak bersekolah. Hak untuk belajar di rumah. Ini adalah hak anak untuk dididik oleh kedua orangtuanya sendiri di rumah. Keluarga melalui pernikahan dibentuk untuk menjadi satuan edukatif sekaligus satuan produktif.

Keluarga dilemahkan saat tugas edukatifnya dirampas oleh persekolahan dan tugas produktifnya diambil alih oleh pabrik-pabrik besar sejak Revolusi Industri 200 tahun lalu. Persekolahan dirancang untuk menyiapkan buruh murah bagi pabrik-pabrik besar. Sekolah tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bersama TV, persekolahan menjadikan keluarga sebagai satuan konsumtif belaka sebagai jaminan bagi pasar. Saat kedua fungsi itu lepas dari keluarga, maka keluarga itu dalam proses menuju kehancurannya. Kehancuran keluarga adalah ciri paling menonjol dari peradaban Barat yang dengan congkak menyebut dirinya modern itu.

Saat ini, yang kita harus perjuangkan adalah menyelamatkan keluarga sebagai satuan edu-produktif itu. Hanya keluarga yang kuat sebagai satuan eduproduktif itulah yang akan melahirkan anak-anak yang sehat. Laju kehancuran keluarga telah mencapai 40 kasus perceraian/jam.

Dalam upaya menyelamatkan keluarga itulah, peran Ibu menjadi instrumental. Ibu adalah guru yang utama dan pertama. Ayah adalah kepala sekolahnya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud) Daoed Joesoef mengatakan bahwa keluarga adalah sekolah cinta. Dalam keluarga, bukan di sekolah, kita belajar akhlak terbaik dari ibu kita: keikhlasan, amanah, kepedulian, tanggung jawab, kesetiaan dan pengorbanan. Hanya anak yang hidup dalam keluarga yang sehat yang bisa berhasil dalam kehidupannya kelak, termasuk jika ia memutuskan bersekolah. Sekolah hanya warung yang menyediakan makan siang seragam. Adalah keluarga yang menyiapkan sarapan dan makan malam beraneka ragam. Bahkan saat puasa kita tidak perlu makan siang.

Jika Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa “Rumahku adalah Surgaku”, beliau tidak sedang bersendagurau. Ibu kitalah yang membuat rumah kita bagai surga.

Selamat merayakan Hari Ibu!

DANIEL MOHAMMAD ROSYID

Dewan Pendidikan Jawa Timur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular