Dalam Rencana Strategis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN dan RB), gagasan Revolusi Mental masuk sebagai salah satu bagiannya. Tidak mudah untuk menubuhkan gagasan ini di dalam pemerintahan yang sudah dan sedang berjalan. Tetapi, paling tidak, usaha itu perlu terus dilakukan, guna memberikan kesempatan kepada setiap pemerintahan (baru) menjalankan agenda-agendanya. Gagasan revolusi mental paling tidak bakal mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019, sebagai bagian dari mandat resmi yang sudah diberikan oleh publik.
Masalahnya, banyak pertanyaan yang diajukan tentang apa yang disebut sebagai Revolusi Mental itu. Bahkan, sebagian pihak mulai menuduh bahwa Revolusi Mental hanyalah jargon politik yang berulang, sebagaimana hadir dalam setiap pemerintahan dan rezim. Apabila gagasan ini tidak dielaborasi dengan baik, revolusi mental tinggal sebagai frase kampanye yang tidak memiliki dasar pijakan. Padahal, gagasan ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam fase pemerintahan Ir. Joko Widodo dan Drs. Jusuf Kalla.
Paling tidak, dalam kaitannya dengan birokrasi, terdapat catatan-catatan sebagai berikut, terkait dengan revolusi mental. Pertama, reformasi yang dilaksanakan di Indonesia baru sebatas perombakan yang bersifat institusional, belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Sehingga, perlu dilakukan perombakan terhadap manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Kedua, berkembangnya korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Catatan ketiga adalah Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang. Keempat, Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih.
Empat poin itu berasal dari artikel yang ditulis oleh Ir. Joko Widodo di Harian Kompas pada tanggal 10 Mei 2014 lalu.
Berikutnya, ada catatan-catatan di bawah ini, sebagai bagian dari pidato pelantikan Presiden Ir. Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober 2014. Pertama, beban sejarah yang mahaberat ini akan dapat kita pikul bersama dengan persatuan, dengan gotong royong, dengan kerja keras. Kedua, pemerintahan yang Joko Widodo pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan pelayanan pemerintahan. Ketiga, untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara yang kuat, negara yang makmur, kita harus memiliki jiwa cakrapatih samudra, jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.
Dua naskah itu setidaknya bisa memandu untuk menemukan apa yang disebut sebagai Revolusi Mental, terutama dalam kaitannya dengan birokrasi. Kalau diurut-urut, letaknya adalah pada perubahan mentalitas manusia yang menjalankan pemerintahan. Perubahan itu dimulai dari paradigm (kerangka pemikiran), mindset (pola pikir) dan semangat gotong royong dalam bekerja. Di luar itu, dari sisi psikologis, jiwa yang dikembangkan adalah jiwa pelaut yang berani menghadapi tantangan.
Paradigma seperti apa? Paradigma pelayanan publik, sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Paradigma pelayanan publik bisa ditunjukkan dengan kehadiran penyelenggara negara dalam isu-isu publik. Sebagai pelayan publik, aparatur pemerintahan tidak menempatkan dirinya sebagai atasan dari masyarakat, melainkan justru sebagai “pesuruh” publik, sesuai dengan nomenklatur masing-masing. Birokrasi tidak hadir untuk diri sendiri atau hanya sekadar kumpulan orang-orang yang dipenuhi oleh tanda pangkat, fasilitas dan jabatan, melainkan membaur di tengah publik guna memikul tanggung jawabnya masing-masing.
Runtuhkan Tembok
Dengan kerangka pemikiran seperti itu, birokrasi tidak boleh lagi membuat jarak dengan publik. Sebagai pelayan publik, wajah birokrasi tentulah terlihat berkeringat, ketimbang terus-menerus dalam posisi bersafari yang jarang terkena matahari. Birokrasi yang bergerak kemana-mana, dengan sigap melayani publik yang paling membutuhkan pertolongan, di manapun dan kapanpun, dengan sikap welas asih. Birokrasi yang meruntuhkan benteng-benteng di dalam diri sendiri, akibat salah kaprah paradigma lama sebagai wujud dari penguasa dan priyayi.
Seiring dengan perubahan kerangka pemikiran itu, tentu juga diikuti dengan perubahan pola pikir. Pola pikir itu berupa menjalankan kewajiban yang dibebankan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, lalu menghilangkan budaya lama yang sudah usang. Pola pikir mencari keuntungan untuk diri sendiri perlu dihilangkan sama sekali, karena lambat laun akan menyebabkan masyarakat tidak lagi memiliki apa-apa. Masyarakat yang dikuras atau terkuras kemampuan dirinya, bisa membebani pembangunan karakter bangsa, serta pada gilirannya memicu perasaan tidak aman di mana-mana dalam bentuk konflik.
Beberapa studi sudah dilakukan guna mengukur seberapa besar pengaruh seorang aktor di dalam birokrasi bagi publik yang dilayani. Secara teoritis, belum terdapat keseimbangan antara jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang dilayani, yakni sekitar 2,4 ASN per 100 penduduk. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, jumlah ASN perlu ditambah, agar satu tangan bisa menyentuh lebih banyak penduduk. Inilah mindset lama itu.
Masalahnya, apakah rasio itu benar-benar sudah diimplementasikan? Apakah di antara 100 penduduk yang dilayani, benar-benar sudah menemui sebanyak 2,4 ASN yang melayani itu? Jangan-jangan, ASN lebih banyak bersalaman di antara mereka sendiri, baik selama jam kerja ataupun diluar jam kerja, terutama tenaga administratif. Dari sini, perubahan pola pikir pada gilirannya bergerak kepada pola kerja, yakni semakin banyak tenaga birokrasi yang bergerak di lapangan, dibandingkan dengan tenaga-tenaga administratif yang berada di belakang meja. Rasio seperti itu perlu diukur lagi secara lebih presisi, terutama dari sisi penduduk yang benar-benar berhubungan dengan birokrasi.
Di luar itu, penjiwaan sebagai pelaut penting dijadikan sebagai catatan. Pelaut yang mengarungi badai, ombak dan gelombang. Ada situasi turbulensi yang terus-menerus datang, dalam perjalanan pemerintahan. Seorang pelaut, apalagi dalam posisi sebagai nahkoda, tidak akan meninggalkan kapal dalam keadaan apapun, apalagi ketika diterjang gelombang. Seorang pelaut lebih memprioritaskan penumpang yang selamat, ketimbang dirinya sendiri, apabila musibah datang. Semangat pengorbanan inilah yang dituntut dari birokrasi di Indonesia, guna mengubah kembali pandangan publik yang telanjur negatif dalam urusan-urusan yang mudah menjadi rumit, yang cepat menjadi lama, lalu budaya sogok-menyogok yang koruptif.
Tentu, catatan kecil ini tidak bisa dijadikan sebagai rujukan utama. Tetapi, setidaknya, tulisan ini mencoba untuk menguraikan kandungan yang ada dalam “jargon” revolusi mental yang terlanjur membahana. Bukan hanya dalam kaitannya dengan birokrasi, melainkan juga dengan sendi-sendiri kehidupan bernegara lainnya yang coba disapa dan disentuh dengan revolusi mental.
INDRA J. PILIANG
Direktur Eksekutif The Gerilya Institute