Mangkrak atau terbengkelai adalah kosakata yang sering kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita, terutama digunakan untuk menilai sebuah proyek yang terbengkalai karena tak bisa diteruskan pengerjaannya dengan berbagai sebab.
Untuk proyek-proyek pemerintah yang berjangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur, banyak faktor yang menyebabkan sebuah proyek mangkrak, diantaranya karena kekurangan modal. Sebab yang lainnya adalah terjadinya perubahan kepemimpinan dan kebijakan di dalam tubuh pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
Adalah kenyataan bahwa masing-masing Presiden atau Kepala Daerah yang terpilih melalui pemilu (Pilpres dan Pilkada) memiliki program, kebijakan dan janjinya sendiri.
Sebagai contoh di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintahannya mempunyai program ambisius percepatan pembangunan infrastruktur dalam segala bidang yang dibingkai dalam judul MP3I (Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) 2011-2025. Salah satu khayalan dari program MP3I diantaranya adalah menargetkan pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai US$ 14.250 s/d US$ 15.500 pada tahun 2025 kelak.
Namun sekarang, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), program jangka menengah, MP3I, yang dilancarkan oleh Hatta Radjasa, Menko Perekonomian era Presiden SBY, nyaris ditelan bumi, tak terdengar gema dan batang hidungnya lagi. Malahan dalam penutupan tahun 2015 di Papua, Presiden Jokowi ternyata mempunyai mimpi yang lebih panjang lagi, target 2085. Target mimpi yang berbeda dengan SBY. Mimpi Indonesia 2016-2085 yang ditulis Presiden Jokowi di Monumen Kapsul Waktu di Papua.
Jangan-jangan Presiden Jokowi sedang masuk ke dalam lorong waktu menembus masa depan hingga tahun 2085. Sadarkah Presiden Jokowi jika menuju tahun 2085 itu pasti telah terjadi silih berganti puluhan Presiden memimpin Indonesia. Tidak menutup kemungkinan seluruh program infrastruktur dan mimpinya Presiden Jokowi akan dibikin mangkrak oleh Presiden pengganti berikutnya, sebagaimana Presiden Jokowi juga membuat mangkrak program infrastruktur MP3I dan mimpi 2025nya Presiden SBY.
Tidak adanya sistem negara yang menjamin kepastian kebijakan yang berjangka panjang, berkelanjutan, terkonsepsi, terencana dan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan kebutuhan dan kemampuan adalah sebab utama mangkraknya sebuah proyek padat modal dan berjangka panjang.
Mangkraknya sebuah proyek juga disebabkan oleh kejahatan korupsi yang dibungkus dengan cover pembangunan infrastruktur. Di era Pemerintahan SBY dibangun sejumlah proyek infrastruktur mercusuar, seperti pembangunan fasilitas olahraga (PON, Sea Games, dll.) telah terbukti direncanakan sebagai cover semata untuk menciptakan alasan dalam merampok uang negara.
Sebagai contoh pembangunan fasilitas olahraga untuk PON di Balikpapan dan Samarinda Kalimantan Timur (2008), pembangunan fasilitas olahraga untuk SEA Games di Palembang Sumatera Selatan (2011), serta pembangunan fasilitas olahraga untuk PON di Pekanbaru Riau (2012) yang memangsa puluhan hingga ratusan triliun anggaran (APBN dan APBD).
Selain dikorupsi anggarannya, pembangunan fasilitas olahraga di berbagai daerah tersebut terasa belum menjadi kebutuhan di tengah masyarakat yang masih miskin dan menganggur. Kenyataannya setelah pelaksanaan event olahraga, fasilitas olahraga tersebut kini dalam kondisi terbengkalai tak bermanfaat untuk masyarakat setempat.
Stadion Palaran di Kalimantan Timur misalnya, yang dibangun untuk pelaksanaan PON 2008, diklaim paling megah di Indonesia, empat tingkat dengan berkapasitas 50 ribu penonton, yang dibangun di atas lahan seluas 46 hektare, dengan menggunakan anggaran negara sebesar Rp. 5 triliun, kini keadaannya gelap gulita. Stadion tersebut temboknya mulai retak, ditumbuhi rumput ilalang, dan dihuni binatang liar. Terakhir kali pertandingan sepak bola besar dimainkan di stadion tersebut pada Mei 2010.
Kenyataan mangkraknya sejumlah projek infrastruktur warisan Pemerintahan SBY pernah disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan ketika masih menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Kala itu Luhut menyampaikan ada sekitar 22 proyek infrastruktur yang mangkrak selama empat tahun di era Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai US$ 11 miliar atau sekitar Rp 143 triliun, padahal pemerintah sudah membayar komitmennya. (Tempo Online, 25 Juni 2015).
Bagaimana dengan masa depan mimpi pembangunan proyek infrastruktur era Pemerintahan Jokowi-JK? Dari segi niat dan tekad, tentu program tersebut sangat baik, tepat dan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Namun, jika dilihat dari sepak terjangnya (track record) sejak menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, Joko Widodo tampaknya bergaya “slonong boy” dan mirip orang sedang “kesurupan” dalam menjalankan pemerintahan, khususnya dalam menggerakan pembangunan proyek infrastruktur.
Joko Widodo tampak tak begitu peduli pada riset untuk menentukan prioritas, tahapan dan kebutuhan dalam pembangunan infrastruktur. Joko Widodo juga tak terlalu peduli dengan studi kelayakan dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat mutlak dalam pembangunan infrastruktur.
Itulah mengapa Joko Widodo sering melakukan berbagai kecerobohan dan inkonsistensi dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan infrastruktur. Saat masih menjabat menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, sejumlah programnya mangkrak justru setelah di-groundbreaking.
Ketika menjadi Wali Kota Solo, Joko Widodo membuat gebrakan program mobil Esemka yang telah mangkrak ditelan bumi. Proyek rail bus Batara Kresna yang menghubungkan Solo-Wonogiri, juga hanya berjalan 3 tahun ketika mangkrak pada 2014, yang meninggalkan kerugian sebesar Rp.16 miliar (Solopos, 21 Juni 2013 dan detik dot com 05 Juli 2014).
Saat menjadi Gubernur DKI, beberapa rencana program Joko Widodo juga mangkrak di tengah jalan, diantaranya adalah projek deep tunel karena tidak memperhitungkan tanah Jakarta yang gembur, sehingga kalau dilanjutkan akan menyebabkan longsor besar (merdeka dot com, 8 Mei 2013). Program sodetan kali Ciliwung-Cisadane juga tidak memperhitungkan jika kali tersebut telah mengalami sedimentasi parah, dan jika diteruskan, banjir besar bakal melanda wilayah Banten.
Konyolnya lagi, setelah jadi Presiden, Joko Widodo berangkat ke Malaysia sebagai Kepala Negara untuk menyaksikan penandatanganan MoU mobil nasional antara produsen otomotif Proton milik Malaysia dengan sebuah perusahaan bodong asal Indonesia milik Hendropriyono (Tempo Online 06 Februari 2016).
Program pembangunan pelabuhan Cilamaya di Karawang tak kalah sembrono, karena tumpang-tindih dengan jalur pipa distribusi minyak Pertamina. Jika projek tersebut diteruskan, akan membutuhkan biaya sangat mahal untuk memindahkan jalur minyak tersebut, sehingga harus dibatalkan (bisnis dot com, 16 Januari 2016).
Beberapa hari lalu Menteri BUMN Rini Soemarno telah mengumumkan akan melakukan groundbreaking 62 proyek infrastruktur “super ambisius” senilai investasi sebesar Rp. 347,22 triliun (kontan dot co dot id, 19 Januari 2016). Bahkan hari ini, 21 Januari 2016, Presiden Jokowi juga telah melakukan groundbreaking proyek kereta cepat jarak pendek Jakarta-Bandung (metrotv dot com, 21 Januari 2016).
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan oleh perusahaan dari China tersebut sangat kontroversial karena selain tidak menjadi kebutuhan mendesak, proyek ini juga tanpa melalui studi kelayakan dan masih bermasalah dari segi AMDAL. Tak kurang dari Menko Maritim Rizal Ramli dan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan menilai proyek tersebut tak masuk akal, karena Jakarta-Bandung itu jarak tempuhnya terlalu pendek, hanya 145 KM, tapi kereta cepat dengan jarak tempuh 250 KM per Jam.
Kami menilai pembangunan proyek infrastruktur dengan gaya “slonong boy” dan “kesurupan”, tanpa kajian dan riset untuk menentukan kebutuhan, kemampuan dan tahapan, tanpa studi kelayakan, tanpa Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan bergantung sepenuhnya pada utang luar negeri dan pasokan bahan baku impor, pasti akan berunjung mangkrak.
Pembangunan infrastruktur yang bergantung sepenuhnya pada utang luar negeri sangat membahayakan, jika negara seperti China, tempat pemerintahan Jokowi-JK menggantungkan nasibnya, mengalami krisis ekonomi, maka bukan hanya Pemerintahan Jokowi-JK yang mangkrak di tengah jalan. Rakyat, bangsa dan negara Indonesia yang terlilit utang luar negeri juga terseret turut mangkrak dan tenggelam ke dalam perut bumi.
Kami berdoa, semoga kita tidak sedang dipimpin oleh seorang Presiden yang sedang “gila” dan “kesurupan” akan utang luar negeri, infrastruktur dan investasi asing, tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari kebijakan tersebut terhadap aspek kenegaraan yang lain (aspek ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan).
Saat ini “perampokan” dan “penjualan” negara sedang berlangsung sangat ganas yang dilindungi oleh Paket Kebijakan Ekonomi. Para “perampok” tersebut juga memanfaatkan seorang Presiden yang sedang “gila” dan “kesurupan” utang luar negeri, infrastruktur dan investasi asing.
HARIS RUSLY
Pengamat Politik dan Aktivis Petisi 28