
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menegaskan bahwa kemarahan santri terhadap tayangan Trans7 bukan ditujukan kepada pesantren atau NU, melainkan karena stasiun televisi itu melakukan serangan terhadap kelompok identitas. Menurut Gus Yahya, tindakan seperti ini berpotensi memicu perpecahan bangsa.
“Hari Santri ke-10 tahun 2025 mendapat kado pahit dari tayangan sebuah stasiun televisi nasional. Tapi di balik itu ada hikmah penting: semangat persatuan dan kewaspadaan dalam mengawal kemerdekaan,” ujar Gus Yahya dalam Kick Off Hari Santri Nasional 2025 di Universitas NU Surabaya (UNUSA), hari ini, Minggu (19/101/2025).
Acara yang digelar oleh PWNU, PBNU, dan Pemprov Jawa Timur ini dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Katib Aam PBNU KH Said Asrori, Rais Syuriah PBNU Prof DR Mohammad Nuh, Rektor Unusa Prof DR Achmad Jazidie, Wakil Ketua Umum PBNU DR KH Amin Said Husni, Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim KH Abdul Matin Djawahir, dan Ketua PWNU KH Abdul Hakim Mahfudz. Selain itu, hadir pula pimpinan badan otonom (banom), lembaga PWNU Jatim, PCNU se-Jatim, dan PTNU se-Jatim.
Gus Yahya menekankan bahwa Indonesia sebagai negara majemuk memiliki banyak kelompok identitas mulai dari suku, agama, ras/etnis, hingga golongan. “Serangan terhadap kelompok identitas, termasuk NU atau pesantren, tidak boleh terjadi. Dampaknya bisa memecah belah bangsa,” katanya.
Ia memberi analogi sederhana namun menyentuh bahwa jika, “pasangan yang menikah pasti ingin bersatu, tapi bersatu bukan berarti tanpa perbedaan. Bahkan soal sayur kurang asin atau pedas saja bisa jadi masalah. Perbedaan itu wajar, tapi jangan jadikan alasan berpisah.”
Dalam kesempatan yang sama, juga diluncurkan buku “Resolusi Jihad NU (Perang Sabil di Surabaya 1945)” karya Riadi Ngasiran, Ketua Lesbumi PWNU Jatim. Gus Yahya berharap NU tetap bersatu sebelum menyerukan persatuan bangsa, bahkan menjadi garda terdepan hingga cita-cita kemerdekaan tercapai.
Sementara itu, Ketua PWNU Jatim, KH Abdul Hakim Mahfudz (Kiai Kikin), mengapresiasi prestasi Unusa yang melebihi usianya. Ia menekankan pentingnya adab dalam pendidikan umum maupun pesantren, meski menghadapi tantangan era digital.
“Adab pesantren, seperti sikap tunduk santri mencium tangan dan menunduk di hadapan kiai atau guru, adalah tradisi keilmuan yang menekan ego sehingga ilmu mudah masuk. Ini ajaran Nabi yang tetap relevan,” kata Kiai Kikin, yang langsung berkunjung ke Pesantren Al-Khoziny setelah acara di UNUSA.
Sementara itu, Rais Syuriah PBNU, Prof. Mohammad Nuh, menambahkan bahwa human capital atau sumber daya manusia adalah kunci peradaban. Menurutnya, pesantren, pendidikan umum, kesehatan, dan ekonomi adalah “pabrik” pembentuk human capital. NU, melalui universitas-universitasnya, termasuk Unusa, berperan menyiapkan generasi berkualitas agar Indonesia siap menjadi bangsa besar pada 2045.
“Kita perkuat NU dengan human capital yang berkualitas. UNUSA, misalnya, sudah menunjukkan prestasi yang melebihi usianya. Ini bagian dari strategi NU menyiapkan bangsa menuju peradaban mulia,” ujar Nuh. (*)
Editor: Abdel Rafi



