Thursday, March 28, 2024
HomeGagasanGaris Mati Penyidik KPPU

Garis Mati Penyidik KPPU

(foto: istimewa)

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia (RI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI hadir dalam saat bersamaan. KPPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPK mengacu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua lembaga ini berhulu kepada Letter of Intent (LoI) atau ‘surat niat’ yang ditanda-tangani oleh Presiden Soeharto tanggal 15 Januari 1998 di depan Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Michel Camdessus. Tindak lanjut atas LoI dilaksanakan oleh Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hampir seluruh pekerjaan legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1999-2004 adalah pelaksanaan dari LoI. Begitu pula program ekonomi pemerintah. Dokumen berupa surat menyurat antara IMF dengan pemerintah RI sudah bisa dibuka di internet.

Sekalipun terdapat tokoh ekonom kritis semacam Prof Dr Dorodjatun Kuntjorojakti, Rizal Ramli PhD, atau Kwik Kian Gie duduk di kabinet, tetap tak bisa melepaskan diri dari “gurita” kepentingan Dana Moneter Internasional yang membelit Indonesia. Bisa dikatakan, tahun 1999-2004 sangat didominasi diskusi seputar evaluasi pilihan ekonomi Indonesia dalam era Orde Baru, yakni teknologi tinggi yang diampu kalangan teknolog dan trickle down effect (efek menetes ke bawah) yang dinahkodai kaum teknokrat. Habibienomics versus Widjojonomics. Namun, seluruh dokumen hasil diskusi hanya menjadi macan kertas semata.

Sebagai aktivis mahasiswa Universitas Indonesia era 1990an, saya berhubungan erat dengan sejumlah ilmuwan. Termasuk sebagian besar ekonom. Sehingga, ketika KPPU dan KPK berada di gedung yang sama, berada di Jalan Juanda, saya berulang-kali keluar masuk. Tugas saya apalagi kalau bukan “melayani” panggilan telepon dari komisioner-komisiomer KPPU dan KPK yang sedang bertugas. Selain terlibat dalam panel forum yang mereka adakan, saya lebih menempatkan diri sebagai seorang junior yang menjadi “pendengar” berbagai lontaran keluhan, kritikan, hingga informasi terkini dari mereka. Bertimbun dokumen awal terkait kedua lembaga ini, masih bisa dilacak dalam gudang rumah saya.

Setelah seluruh pegawai KPK RI beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk lewat kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang sampai masuk ranah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI itu, sudah lebih dari cukup waktu tersedia melacak status kepegawaian Kementerian/Lembaga/Badan lain. Terutama yang diatur lewat undang-undang sektoral. Sebab, lambat laun, seluruh pegawai yang bekerja dalam K/L/B dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Hanya dua pilihan yang tersedia, yakni menjadi ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lima tahun masa transisi pelaksanaan UU No 5/2014 itu sudah terlalu lama. Sudah terdapat deadline (garis mati) bagi pemerintah untuk menjalankan undang-undang itu. Dibandingkan pengadaan ASN yang baru, sesuatu yang sangat sulit dilakukan dalam era kaum teknokrat menjadi dominan dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan alasan biaya tinggi untuk anggaran rutin, jauh lebih masuk akal menyelesaikan pengalihan status pegawai K/L/B itu.

Kini, terdapat sekitar 390 orang pegawai KPPU dengan posisi mayoritas sebagai penyidik. Sekalipun tidak seviral pekerjaan penyidik-penyidik KPK, terbukti sejumlah kasus besar mampu dibongkar oleh penyidik-penyidik KPPU. Mereka rata-rata sudah bertugas lebih dari sepuluh tahun. Mereka juga lolos lewat sejumlah seleksi yang super ketat. Talenta-talenta kampus yang memiliki integritas, idealisme, serta intelektualitas, adalah garda depan dari KPPU.

Monopoli dan oligopoli sudah menjadi momok terbesar di kepulauan Nusantara sejak 4 abad terakhir. Ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan saudagar Belanda tanggal 20 Maret 1602, proses monopoli dan oligopoli kekayaan alam bumi Nusantara sudah dan sedang dimulai. VOC dibubarkan 31 Desember 1799, akibat skandal korupsi. East India Company (EIC) yang berisi saudagar Inggris malah berdiri lebih dulu, 31 Desember 1600 dan ditutup 1 Juni 1874. Perusahaan sejenis juga didirikan saudagar Portugis, Spanyol, Italia, hingga Perancis.

Bisa dikatakan, ketika LoI ditanda-tangani, Indonesia sedang mengikat komitmen dengan VOC jenis baru dalam wadah IMF. Lembaga multinasional seperti itu sudah menanamkan pengaruh di Indonesia, setelah proklamasi dikumandangkan. Konsesi pertambangan minyak dan mineral menjadi primadona. Namun, lama-kelamaan beranjak kepada sektor perkebunan dan pertanian. Berpengalaman 4 abad, tentu sangat mudah bagi lembaga seperti IMF melakukan rekolonisasi, tanpa perlu mendatangkan tentara pendudukan, baik sewaan atau kaum boemi poetera.

Apabila tidak hati-hati, Indonesia bisa kehilangan sejumlah sosok tangguh seperti penyidik-penyidik yang dimiliki KPPU. Mereka bisa dengan mudah “dibajak” sebagai spionase ekonomi, apabila dibiarkan bergantung tanpa tali dan hanyut tanpa pelampung. Padahal, mereka sangat tinggi dalam menjunjung nilai-nilai patriotisme di bidang ekonomi. Kebetulan, saya mengenal sejumlah penyidik ini, termasuk penyidik-penyidik KPK yang tidak lolos TWK. Semangat mereka masuk kawah candradimuka sepeti KPPU dan KPK adalah menjadikan Indonesia terbebas dari “tawanan” nilai-nilai yang identik dengan korporasi internasional yang menjajah banyak negara itu.

VOC gagal di Indonesia. IEC bangkrut di India. Indonesia dan India adalah dua negara yang memiliki sumberdaya manusia yang luar biasa, kebudayaan timur yang tak menghamba permesinan sosial, dan memiliki passion ketuhanan yang tebal. Begitu pula China, lebih banyak dikalahkan secara tidak beradab dengan Perang Candu. China yang jauh-jauh hari menutup diri, sejak tahun 2010 menjadi kekuatan ekonomi teratas. Sebelum pandemi, India berada pada urutan tertinggi pertumbuhan ekonomi. Indonesia, sanggup tumbuh positif dalam masa pandemi.

Penyidik-penyidik KPPU, ditambah dengan penyidik KPK yang tidak lolos TWK, malahan bisa digabung dalam badan khusus guna mengawasi pat gulipat kepentingan ekonomi dari pihak asing yang bermain di Indonesia. Alangkah memalukan, jikalau terdapat kasus TWK Jilid II terhadap pegawai KPPU yang ingin beralih status menjadi ASN atau PPPK. Sejak dini, kejadian seperti TWK van KPK selayaknya diantisipasi dalam proses alih status kepegawaian dalam K/L/B lain.

Ekonomi memang wajib tumbuh. Bahkan bukan hanya tumbuh, melainkan merata di seluruh area dan jenjang sosial. Sembari menunggu kehadiran investor asing, kewaspadaan nasional layak terus dikibarkan terhadap kaum saudagar asing yang rakus, tamak, dan markus. Sejarah sudah membuktikan betapa merekalah yang pernah membawa kehancuran ekonomi di India, China, dan Indonesia. Ketika ketiga negara ini sedang menatap masa depan yang lebih baik, para pelaku moral hazard dalam perekonomian nasional masing-masing, tentu wajib diawasi dengan mata elang para penyidik berpengalaman.

Alangkah mengerikan, apabila penyidik-penyidik yang sudah menunjukkan kinerja mereka selama bertugas itu justru “menghilang” ke dalam samudera ekonomi internasional. Katakanlah menjadi tenaga pelatih bagi keberadaan lembaga semacam KPK atau KPPU di negara-negara dunia ketika yang sedang membangun reputasi internasional. Bekerja ke Afghanistan, sebagai misal. Credential yang mereka miliki masih sangat layak. Sebagaimana sejumlah mantan pebulu-tangkis nasional Indonesia yang menangani tim nasional negara-negara lain yang kini menjadi lawan berat Tim Nasional Indonesia.

JAKARTA, 5 September 2021

 

INDRA J PILIANG

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular