Saturday, October 25, 2025
spot_img
HomeEkonomikaEtanol 10 Persen Pada Bensin? Tulus Abadi FKBI: Kuncinya Literasi dan Edukasi!

Etanol 10 Persen Pada Bensin? Tulus Abadi FKBI: Kuncinya Literasi dan Edukasi!

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Wacana pemerintah untuk menerapkan bahan bakar minyak (BBM) dengan campuran etanol 10% (E10) pada tahun 2027 memicu gelombang reaksi publik. Di media sosial, banyak pemilik kendaraan bermotor mengaku khawatir mesin kendaraannya akan “ngempos” dan konsumsi bahan bakar menjadi lebih boros.

Kebijakan yang diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia ini awalnya ditujukan untuk mendukung transisi energi bersih. Namun di tengah rendahnya literasi publik soal bahan bakar nabati, rencana E10 justru menimbulkan pertanyaan: apakah benar etanol menjadi solusi ramah lingkungan, atau malah membuka masalah baru di lapangan?

Pemerintah berdalih, penerapan E10 merupakan bagian dari upaya mencapai Net Zero Emission 2060, di mana penggunaan energi fosil diharapkan berkurang drastis untuk menekan pemanasan global.

Sektor transportasi sendiri masih menjadi penyumbang terbesar emisi karbon nasional, dengan lebih dari 132 juta sepeda motor dan jutaan kendaraan roda empat yang masih bergantung pada BBM berbasis fosil.

“Dengan menambahkan unsur nabati seperti etanol ke dalam BBM, emisi gas buang kendaraan dapat ditekan secara signifikan,” ujar Tulus Abadi, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) sekaligus pegiat lingkungan, Jumat (24/10/2025).

Menurut Tulus, secara prinsip kebijakan E10 selaras dengan arah kebijakan energi global. “Ini langkah maju, tapi jangan tergesa-gesa. Publik belum siap jika tidak disertai edukasi yang memadai,” tambahnya.

Kebijakan serupa telah lama diterapkan di berbagai negara. Di Uni Eropa, kadar etanol dalam BBM berkisar antara 20-30%, sementara Thailand sudah menggunakan E20.
Bahkan di Brasil, campuran etanol bisa mencapai 85% hingga 100%, termasuk untuk bahan bakar pesawat.

“Jadi bukan sesuatu yang aneh. Amerika Serikat dan Brasil justru menjadi pelopor biofuel berbasis etanol,” kata Tulus. Ia menilai penolakan terhadap etanol 3–5 persen di Indonesia tidak berdasar, sebab di banyak negara hal itu sudah menjadi praktik umum.

Kebijakan E10 juga dinilai dapat membawa efek domino positif bagi sektor pertanian dan ekonomi mikro. Etanol diproduksi dari bahan baku nabati seperti tebu dan singkong, yang artinya akan membuka peluang ekonomi bagi petani lokal.

“Kalau program ini berjalan, permintaan singkong akan meningkat tajam. Petani akan diuntungkan,” ujar Tulus.

Namun ia mengingatkan, keberhasilan E10 membutuhkan koordinasi lintas kementerian.
“Tidak cukup hanya ESDM. Harus ada sinergi antara Kementan, Kemenperin, Kemendag, hingga Bulog agar pasokan bahan baku, harga, dan infrastruktur saling mendukung,” tegasnya.

Ketua FKBI dan pegiat lingkungan, Tulus Abadi. (foto: istimewa)

Rencana penerapan E10 sejatinya tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Bahkan target awalnya adalah E15 pada 2025, namun kini mundur menjadi E10 pada 2027. Penundaan itu, kata Tulus, seharusnya menjadi momentum untuk mempersiapkan masyarakat.

“Literasi energi masyarakat kita masih rendah. Pemerintah harus aktif memberi sosialisasi agar publik memahami manfaat dan keamanan etanol. Tanpa edukasi, kebijakan bagus pun akan ditolak,” ujarnya.

Kebijakan E10 menyimpan dua wajah dimana di satu sisi menjanjikan masa depan energi yang lebih bersih, di sisi lain menimbulkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya siap. Pemerintah perlu memastikan bahwa transisi menuju energi hijau tidak hanya indah di atas kertas, tapi juga realistis di jalanan. (*)

Editor: Tommy dan Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular