Ketika negara-negara besar saling mengancam dan kekuatan global semakin terpolarisasi, dunia membutuhkan suara jernih dari negara yang tidak berpihak, tetapi hadir membawa harapan. Di tengah kekacauan geopolitik, Indonesia memiliki peluang untuk kembali memainkan peran sebagai juru damai dunia.
Dunia dalam Krisis Polarisasi
Konflik Iran-Israel telah memasuki fase paling kritis dalam tiga dekade terakhir. Di Eropa Timur, perang Ukraina belum juga menunjukkan tanda-tanda akhir. Sementara itu, ketegangan di Selat Taiwan terus meningkat dan Laut Cina Selatan tetap menjadi potensi titik api regional.
Koalisi-koalisi militer terbentuk dan saling berhadapan. Namun, di balik konflik senjata, ada krisis yang lebih mendalam: krisis kepercayaan global. Negara-negara besar tidak hanya saling bersaing dalam kekuatan, tetapi juga kehilangan ruang untuk berdialog secara jujur dan setara.
Apakah Indonesia Layak Bicara?
Jawabannya, tentu sangat layak. Pemilu 2024 yang berlangsung damai menunjukkan kematangan demokrasi kita. Tak ada kudeta, kekacauan, atau bentrokan nasional besar. Transisi kekuasaan berlangsung aman. Presiden terpilih Prabowo Subianto telah mulai mendapat pengakuan dari pemimpin dunia mulai Presiden AS Joe Biden hingga sambungan telepon resmi terbaru antara Donald Trump dan Presiden Prabowo telah menyampaikan ucapan selamat, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyatakan kesiapan memperkuat kerja sama, dan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman mengundang kemitraan strategis, khususnya di bidang pertahanan dan pangan.
Diplomasi aktif Prabowo dalam forum bergengsi IISS Shangri-La Dialogue di Singapura, Mei 2024 lalu, memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan yang didengar. Indonesia tetap konsisten dengan prinsip non blok, menjalin hubungan erat dengan Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, maupun dunia Islam. Ini bukan posisi lemah, tetapi kekuatan yang strategis.
Belajar dari Bandung 1955
Indonesia pernah memberi cahaya bagi dunia. Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 adalah tonggak sejarah yang membuktikan bahwa kekuatan moral bisa menyatukan dunia yang sedang terpecah.
KAA menghasilkan solidaritas negara-negara yang baru merdeka, melahirkan Gerakan Non Blok, dan menjadi inspirasi perjuangan bangsa-bangsa lain. Indonesia tidak bicara dengan kekuatan senjata, melainkan dengan keberanian menghadirkan meja damai. Kita menjadi pusat diplomasi moral dunia Selatan. Semangat inilah yang perlu dihidupkan kembali.
Usulan Strategis untuk Pemerintah
Agar semangat diplomasi Indonesia tetap menyala di tengah dunia yang makin gelap, beberapa langkah berikut dapat menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pertama, inisiasi Konferensi Asia-Afrika ke-70 di Bandung pada 2025. Momen ini sangat tepat untuk menghidupkan kembali solidaritas negara-negara Global South dan menyuarakan prinsip “bersama tanpa harus tunduk.” Dunia butuh suara dari Selatan yang independen, bukan sekadar pengikut poros geopolitik besar.
Kedua, mendorong pembentukan Task Force global untuk zona damai di Timur Tengah. Indonesia bisa memprakarsai resolusi di PBB guna mengupayakan moratorium serangan dan membuka jalur diplomatik multilateral. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar (kedua di dunia setelah Pakistan), suara Indonesia memiliki legitimasi moral yang kuat.
Ketiga, memperkuat diplomasi ekonomi dan ketahanan pangan dengan negara-negara non militer seperti Turki, Brazil, India, dan negara-negara Afrika. Aliansi berbasis rakyat dan ketahanan pangan jauh lebih efektif untuk membangun stabilitas global ketimbang aliansi senjata.
Keempat, membangun pusat diplomasi budaya dan pendidikan global. Pertukaran pelajar, kerja sama perguruan tinggi, dialog lintas agama, serta kolaborasi seni dan kebudayaan dengan negara-negara ASEAN, Afrika, dan Timur Tengah dapat menjadi kekuatan lunak (soft power) yang memperkuat posisi Indonesia sebagai simpul persahabatan dunia.
Namun, jangan berbicara perdamaian dunia jika urusan dalam negeri masih membara. Stabilitas nasional adalah syarat utama. Pemerintahan Prabowo Subianto tidak boleh semata fokus pada pembangunan infrastruktur fisik. Konsolidasi sosial, rekonsiliasi pasca pemilu, dan pemulihan kepercayaan publik harus dijalankan secara serius.
Langkah awal Presiden Prabowo dalam pentas global sangat penting, tetapi jangan sampai kehilangan pijakan domestik. Dunia memperhatikan Indonesia bukan hanya karena posisinya di peta, tetapi juga karena kualitas transisinya, kedewasaan demokrasinya, dan kemampuannya menjaga kesatuan di tengah perbedaan.
Menjadi Penentu, Bukan Penonton
Indonesia bukanlah kekuatan militer super, tetapi kita bangsa pejuang yang punya kredibilitas reputasi. Kita dikenal dekat dengan semua blok, tetapi tidak tunduk pada siapa pun. Inilah yang menjadi kekuatan kita.
Jika prinsip diplomasi cahaya ini dijalankan secara konsisten dan realistis, tentu dengan mengedepankan keadilan, moralitas, dan keberanian untuk bersuara jujur, maka Indonesia bisa kembali ke panggung dunia, bukan sebagai pengikut, tetapi sebagai penengah yang membawa terang. Di saat dunia terpecah dan suara perdamaian nyaris tak terdengar, bangsa yang teguh menjaga jalan tengah bisa menjadi cahaya yang menerangi. Semoga.
MJP HUTAGAOL ’86
Purnawirawan TNI AD