Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanDemokrasi di Ujung Tanduk

Demokrasi di Ujung Tanduk

 

Rasanya sangat aneh tatkala rezim Joko Widodo (Jokowi) nampak sekali terkesan panik menghadapi kegiatan kaum oposisi dan penantang dirinya sebagai petahana dalam ajang pemilihan presiden 2019 mendatang (adegan ulangan pilpres 2014).

Padahal rezim petahana mempunyai akses kekuasaan termasuk militer, pihak kepolisian pun berada dibawah kendali petahana bahkan akses dana tak terbatas juga mereka punyai.

Namun melalui tangan relawan termasuk (maaf) dalam hal ini adanya oknum Banser dan para “preman” konon “diinstruksikan” secara formal untuk melakukan aksi tandingan dimana saja kelompok oposisi melakukan kegiatan aksi deklarasi dan diskusi.

Apakah ini merupakan lanjutan dari pidato Jokowi di Sentul pada pertemuan tim relawan, agar tidak takut melawan dan harus siap “berkelahi”?. Walahualam.

Namun pertentangan semakin menajam setelah pidato tersebut, para relawan Jokowi semakin nekad dan militansi mereka meningkat seiring dengan unjuk kekuatan walau hanya dengan tidak lebih 100 orang “preman” mereka bahkan berani melakukan pemblokiran bandar udara. Argumentasi mereka seragam di seluruh kota yang menyelenggarakan kegiatan #2019GantiPresiden yaitu kegiatan tersebut dianggap sebagai tindakan adu domba dan perbuatan makar karena diperkirakan akan menegakkan khilafah. Sebuah tuduhan yang masih berbasis prasangka daripada bukti data dan fakta.

Pun seperti yang kita saksikan di media massa baik cetak maupun elektronik hingga media sosial, aksi penolakan terhadap kegiatan oposisi ini walaupun dilakukan oleh segelintir, mereka tidak segan melakukan kegiatan anarkis berupa pelemparan batu hingga tindakan memancing terjadinya bentrokan, bahkan terbaru di Surabaya (26/8/2018), oknum banser mengusir dan mengajak keributan peserta aksi di dalam masjid ketika para peserta aksi #2019GantiPresiden sedang melakukan shalat.

Sengaja penulis membedakan antara kelompok “oposisi” dengan kelompok “penantang petahana” dalam pemilihan presiden, karena tidak semua kelompok oposisi adalah pendukung dari kedua pasangan calon (paslon) presiden yang telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hal ini sama halnya dengan Aksi 212, dimana tidak semua peserta adalah anggota Front Pembela Islam (FPI), tetapi lebih banyak muslim yang terpanggil nuraninya karena kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Kenyataannya sekarang di lapangan telah terjadi pembungkaman suara-suara berbeda. Ini terjadi di alam demokrasi dan dengan penanganan yang tidak adil yakni adanya nuansa keberpihakan aparat kepada salah satu paslon presiden dan wakil presiden. Pun juga adanya upaya-upaya pembungkaman hak-hak demokratis warga masyarakat secara otoriter oleh penguasa seperti yang disinyalir oleh tokoh nasional Dr. Rizal Ramli.

Tentunya kejadian demi kejadian yang mengarah pada tindakan persekusi dan adanya ketidakadilan tersebut,amat penulis sayangkan. Mengapa? Penulis khawatir, jika terus begini maka ke depannya akan terjadi bentrok horizontal dan yang beradu adalah rakyat dengan rakyat.

Ada baiknya Jokowi sebagai Presiden dan penanggung jawab tertinggi kondisi negara, mencegah dari sekarang bukan dengan cara pembungkaman hak demokrasi seperti ini. Jokowi juga harus segera menyerukan kepada para relawan dan pendukungnya supaya tidak melakukan kegiatan-kegiatan tandingan, apalagi secara anarkis seperti memblokir bandara dan sebagainya.

Seharusnya para pihak yang sedang berkuasa tidak perlu khawatir. Bukankah sedari awal sampai sekarang hasil survei menunjukkan bahwa petahana tidak pernah terlewati oleh sang penantang? Lalu mengapa bereaksi sedemikian rupa? Apakah ini tanda rezim sedang panik?

Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini, semua pihak harus mengendalikan diri termasuk pihak penantang kompetisi pilpres. Bertindaklah sebagai negarawan, karena jika terjadi amok masa, ekonomi bangsa Indonesia akan semakin terpuruk dan jika benar terjadi maka akan dibutuhkan waktu lama untuk menyehatkan kembali ekonomi Indonesia. Jangan sampai hal tersebut justru akan semakin kita tertinggal dari negara tetangga. Semoga tidak.

 

SYAFRIL SJOFYAN

Pengamat Kebijakan Publik dan Aktivis Pergerakan 77-78

RELATED ARTICLES

Most Popular