Tuesday, December 9, 2025
spot_img
HomeGagasanDampak Nikel Morowali: Ekspor Meningkat, Bencana Mengancam

Dampak Nikel Morowali: Ekspor Meningkat, Bencana Mengancam

Tambang nikel di Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah, kini berdiri di garis depan ekspansi industri baterai kendaraan listrik global. Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menjadi simbol dari ambisi hilirisasi nasional yaitu ratusan ribu hektare konsesi tambang, puluhan ribu pekerja, dan ekspor nikel yang menembus USD 34 miliar pada 2023. Wilayah tambang di Morowali saat ini dikuasai oleh gabungan korporasi besar (IMIP, BDM/SMI, TPI), perusahaan menengah (Anugrah Tambang Sejahtera), dan puluhan IUP lokal. Diversitas ini mencerminkan skala dan kompleksitas industri nikel di sana. Tiap entitas memiliki unit operasional mulai dari hulu, smelter, hingga infrastruktur pendukung.

Namun di balik keberhasilan makroekonomi itu, terbentang lanskap yang semakin rapuh terancam oleh longsor, banjir bandang, dan runtuhnya sistem ekologis yang menopang kehidupan warga. Penambangan nikel di Morowali umumnya dilakukan dengan sistem tambang terbuka. Proses ini mengubah tutupan lahan secara drastis. Data dari Forest Watch Indonesia (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 50.000 hektare hutan di wilayah Sulawesi Tengah telah mengalami deforestasi selama periode 2010-2020, dengan konsentrasi tertinggi di sekitar area konsesi tambang nikel.

Sejak 2020, izin usaha pertambangan (IUP) di Morowali dan Morowali Utara melonjak tajam. Saat ini terdapat sekitar 100 IUP aktif di dua kabupaten tersebut, mencakup lebih dari 155.000 hektare wilayah konsesi. Dampaknya nyata: tutupan hutan menyusut, fungsi daerah aliran sungai terganggu, dan tanah kehilangan stabilitasnya. Kawasan yang dulunya berperan sebagai penyangga ekologis kini menjadi lanskap industri terbuka yang rentan terhadap bencana. Kawasan Morowali memiliki topografi kompleks dengan kombinasi hutan, perbukitan, dan aliran sungai. Perubahan lanskap akibat tambang meningkatkan kerentanan terhadap bencana, terutama tanah longsor dan banjir bandang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2023) telah memasukkan Morowali sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan bencana geologis dan hidrometeorologis tinggi di Sulawesi Tengah.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 384 peristiwa banjir terjadi di Sulawesi Tengah sepanjang 2002 hingga April 2023, dengan lonjakan kejadian pada 2020-2022. Di Morowali sendiri, tercatat lebih dari 112 IUP aktif, banyak di antaranya berada di zona resapan air dan hutan lindung, memperparah erosi, sedimentasi sungai, dan frekuensi banjir bandang. Hilangnya vegetasi menyebabkan daya serap tanah menurun. Ketika musim hujan tiba, air hujan tidak tertahan dan langsung mengalir ke lereng dan sungai dengan volume besar. Kejadian bencana yang terjadi di Morowali menunjukkan lemahnya integrasi antara industri dan mitigasi bencana, lemahnya integrasi pendekatan berbasis ekosistem ke dalam strategi pengurangan risiko bencana di Morowali.

Bencana Ekologis yang Nyata, Bukan Lagi Sekedar Potensi Risiko

Rentetan kejadian dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa degradasi ekologis di Morowali bukan lagi ancaman teoritis, melainkan realitas yang berulang. Pada 16 Maret 2024, banjir bandang menerjang Desa Labota dan Lalampu setelah hujan deras mengguyur wilayah tambang. Desa Lalampu, ironisnya, berada dalam konsesi aktif 17 perusahaan tambang.

Berlanjut pada 3 Januari 2025, longsor di Dusun Towi (Teluk Tomori) menewaskan satu orang dan melukai beberapa lainnya. Di hulu lokasi ini, lebih dari 2.000 hektare hutan telah dibuka, memicu ketidakstabilan lereng.

Situasi tak kalah tragis terjadi langsung di kawasan IMIP. Pada 26 Januari 2025, tanggul limbah (tailing) jebol dan menewaskan seorang pekerja muda. Kurang dari dua bulan kemudian, pada 16 Maret 2025, dam tailing milik PT Huayue Nickel Cobalt bocor dan mencemari Sungai Bahodopi, merendam rumah 341 keluarga. Hanya berselang tiga hari, banjir bandang kembali menghantam Lalampu dan Labota.

Tragedi terus berulang. Pada 22 Maret 2025, longsor di area penampungan tailing IMIP (KM8) menewaskan tiga operator alat berat dan satu orang hilang. Dua hari kemudian, 24 Maret 2025, banjir dari luapan Sungai Laa di Morowali Utara merendam tujuh desa, memaksa 230 orang mengungsi dan merusak 1.047 rumah serta 14 sekolah.

Pola ini terus berulang, pada April 2023, banjir di Petasia Barat dan Timur merusak 143 hektare kebun dan merendam ribuan rumah. Aktivitas tambang di sekitar Gunung Tondu diduga kuat sebagai pemicunya. Masih di bulan yang sama, dua pekerja tewas akibat longsor di kawasan IMIP.

Sains di Balik Bencana

Lalu apa penyebab ilmiahnya?
Pertama, konversi lahan besar-besaran menghilangkan vegetasi alami yang selama ini menyerap air hujan dan menahan erosi. Hutan lindung Bahodopi menyusut dari 10.820 hektare (2019) menjadi 10.379 hektare (2022). Vegetasi yang hilang membuat curah hujan langsung berubah menjadi limpasan permukaan, mempercepat sedimentasi sungai dan memperbesar risiko longsor.
Kedua, teknologi High-Pressure Acid Leach (HPAL) yang digunakan dalam proses ekstraksi menciptakan limbah tailing dalam jumlah besar, sekitar 150-200 ton residu per ton nikel. Jika tidak dikelola dengan standar tinggi, tailing ini menjadi bom waktu ekologis. IMIP dan sekitarnya terletak di wilayah dengan curah hujan tinggi dan aktivitas seismik, memperbesar risiko jebolnya fasilitas penyimpanan.
The Landslide Blog (Dave Petley, Eos) bahkan mencatat setidaknya 3-4 insiden longsor besar di IMIP dalam beberapa bulan terakhir, termasuk yang menenggelamkan alat berat.

Ketimpangan Sosial dan Tata Kelola yang Lemah

Di tengah risiko bencana yang membesar, masyarakat lokal justru makin terpinggirkan. Sebagian besar warga bekerja di sektor informal dengan pendapatan di bawah UMR, sementara sebagian besar keuntungan tambang mengalir ke perusahaan besar dan investor asing. Lebih buruk lagi, warga yang memperjuangkan hak atas tanah menghadapi tekanan serius. Kasus di Desa Ambunu dan Topogaro pada 2024 menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat adat masih berlangsung.
Inilah bukti kegagalan tata kelola sumber daya yang adil dan berkelanjutan mengakibatkan biaya sosial dan ekologis yang ditanggung masyarakat lokal sangat besar. Polusi udara dan air akibat aktivitas smelter, defisit energi dan air bersih untuk warga sekitar, konflik agraria karena alih fungsi lahan tanpa konsensus adat, serta kematian dan kecelakaan kerja akibat rendahnya standar keselamatan kerja (K3) dan dominasi tenaga kerja asing, adalah beberapa di antaranya. Dalam konteks ini, kebijakan pembangunan kehilangan orientasi kerakyatan dan keberlanjutan ekologis, karena dikooptasi oleh kepentingan elite. Seperti diungkapkan oleh William Domhoff (2014), elite tidak hanya mengendalikan kebijakan publik melalui posisi formal dalam pemerintahan dan korporasi besar, tetapi juga membentuk kerangka regulatif dan sistem insentif agar sejalan dengan kepentingan mereka. Hal ini sejalan dengan pandangan Nicos Poulantzas, yang menyatakan bahwa negara kapitalis modern tidak netral, melainkan bertindak sebagai medan perjuangan kelas di mana kepentingan kelas dominan sering kali dikemas sebagai kepentingan nasional. Dalam kasus Morowali, terlihat jelas bahwa elite politik dan ekonomi tidak sekadar menjadi pengguna sistem, melainkan pembentuk sistem itu sendiri, dengan merekayasa struktur kebijakan, regulasi tata ruang, dan ruang partisipasi publik agar menguntungkan posisi mereka. Maka, yang terjadi bukanlah pembangunan untuk rakyat, melainkan pembangunan yang menjauh dari prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.

Meskipun industri nikel di Morowali menyumbang signifikan terhadap ekspor nasional dan menyerap ribuan tenaga kerja, dampak sosial dan ekologisnya sangat destruktif: pencemaran udara dan air dari smelter, defisit energi dan air bersih bagi warga lokal, konflik agraria akibat alih fungsi lahan tanpa konsensus adat, hingga kecelakaan kerja dan kematian yang terus berulang karena standar keselamatan yang rendah serta dominasi tenaga kerja asing. Situasi ini mencerminkan trade-off yang ekstrem antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan ekologis, di mana negara, alih-alih bertindak sebagai pelindung rakyat dan lingkungan, justru tampil sebagai fasilitator ekspansi modal nasional maupun asing. Dalam kasus Morowali, negara tampak beroperasi bukan sebagai entitas netral, melainkan sebagai agen kelas dominan yang secara aktif membentuk struktur kebijakan dan regulasi untuk mengakomodasi kepentingan elite industri. Hal ini menguatkan pandangan Nicos Poulantzas bahwa negara kapitalis modern cenderung merepresentasikan kepentingan kelas dominan melalui “bentuk kelembagaan yang terfragmentasi namun terkonsolidasi” untuk mengamankan hegemoninya. Sementara itu, seperti diungkapkan G. William Domhoff, elite tidak hanya memanfaatkan institusi negara, tetapi juga merekayasa sistem insentif dan kerangka hukum agar sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Di Morowali, negara tampak lebih berperan sebagai fasilitator ekspansi kapital, baik nasional maupun transnasional, daripada  sebagai pelindung kepentingan publik dan penjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Negara bukan hanya mempromosikan industrialisasi ekstraktif, tetapi juga turut menjinakkan resistensi masyarakat lokal melalui co-optation dan narasi pembangunan yang hegemonik.

Dalam konteks ekologis, analisis Jared Diamond (2005) dalam “Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed” menjadi sangat relevan, di mana ia menegaskan bahwa kemunduran peradaban sering kali terjadi bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan akibat keputusan elite yang mengabaikan tanda-tanda degradasi lingkungan demi keuntungan jangka pendek. Diamond menyebut bahwa “beberapa masyarakat runtuh karena para pengambil keputusan yang berkuasa gagal mengubah arah kebijakan ketika lingkungan mereka menunjukkan tanda-tanda tekanan dan keruntuhan.” Morowali menunjukkan gejala yang sama: konsentrasi kekuasaan, eksploitasi sumber daya besar-besaran, dan ketidakmampuan (atau ketidakinginan) elit untuk mengadopsi strategi berkelanjutan justru membuka jalan menuju krisis ekologis dan sosial yang sistemik. Maka, pembangunan yang seharusnya berorientasi pada keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat justru kehilangan dimensi kerakyatan, berubah menjadi proyek ekstraktif yang menyingkirkan masyarakat lokal dari ruang hidup dan hak atas lingkungan yang aman dan sehat.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk keluar dari jebakan ekologis dan sosial ini, Indonesia membutuhkan terobosan dalam kebijakan tambang. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain, pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan moratorium terhadap IUP baru di kawasan hutan lindung dan daerah resapan, disertai evaluasi menyeluruh terhadap izin lama berdasarkan analisis risiko hidrologis dan geoteknikal.

Kedua, audit lingkungan dan keselamatan kerja harus dilakukan secara independen dan berkala, dengan hasil terbuka untuk publik.

Ketiga, pendekatan teknik hijau perlu diadopsi: revegetasi hulu, drainase ekologis, dan stabilisasi lereng non-teknis harus melengkapi tanggul dan saluran air buatan.

Keempat, setiap perusahaan wajib menyisihkan dana reklamasi dan mitigasi bencana yang dikelola transparan, serta dialokasikan untuk bantuan bagi warga terdampak.

Kelima, perlu penguatan ekonomi alternatif lokal agar masyarakat tidak bergantung pada tambang semata, misalnya melalui pertanian berkelanjutan dan usaha mikro.
Dan yang paling penting, prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus ditegakkan. Masyarakat harus menjadi subjek dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar objek pembangunan atau pengamanan industri.

Paradoks Pembangunan dan Masa Depan Morowali

Morowali tak bisa terus menjadi contoh klasik dari paradoks pembangunan yaitu kaya sumber daya, tapi miskin perlindungan. Strategi hilirisasi nasional perlu dibarengi dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial yang nyata. Ini bukan hanya soal kebijakan teknokratis, tetapi soal keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang.
Data dan kejadian bencana sudah cukup berbicara. Sekarang saatnya mendengar dan bertindak, agar kilau nikel Morowali tak dibayar mahal oleh mereka yang tak pernah menikmati keuntungannya.(*)

TANTY SR THAMRIN

Researcher  pada THAMRIN Working Group

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular