
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Pemerintah resmi membuka keran impor sapi tanpa batas kuota. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyebut langkah ini sebagai upaya menjaga ketersediaan stok daging sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, keputusan ini memicu kekhawatiran: siapa sebenarnya yang diuntungkan dan siapa yang bakal buntung?
Prof. Drs. Ec. Tri Haryanto, M.P., Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), menyebutkan bahwa kebijakan ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, impor bebas bisa mendorong persaingan sehat antar importir. Di sisi lain, bisa jadi pukulan telak bagi peternak lokal.
“Esensinya untuk meningkatkan persaingan yang lebih ‘fair’. Tapi jika tanpa batas, bisa menimbulkan masalah baru di lapangan, terutama bagi pelaku peternakan dalam negeri,” ujar Tri, sapaan akrabnya, dalam keterangannya, Selasa (25/6/2025) pada media ini.
Menurut Tri, harga daging sangat ditentukan oleh keseimbangan antara permintaan dan pasokan. Impor bisa menambah pasokan cepat, tapi tidak semua jenis impor berdampak instan. Misalnya, sapi bakalan yang masih harus digemukkan memerlukan waktu 1 hingga 2 tahun sebelum siap jual.
“Ketika pasar mengalami kekurangan pasokan dan kita tidak siap, harga bisa melonjak liar. Impor memang solusi cepat, tapi jika tidak dikendalikan, justru mematikan usaha peternak kecil,” jelasnya.
Kekhawatiran terbesar muncul dari sisi hulu: sektor peternakan. Dengan pasar dibanjiri daging impor murah dan kualitas bersaing, para peternak lokal terancam kehilangan pangsa pasar. Apalagi jika pemerintah tidak memberi perlindungan yang cukup.
“Jika daging dan sapi hidup dari luar negeri membanjiri pasar tanpa kontrol, tidak ada lagi insentif bagi peternak lokal untuk berkembang. Kita berisiko kehilangan kedaulatan pangan,” tegas Tri.
Ia menekankan, pembatasan impor sebenarnya memberikan sinyal positif bagi produsen domestik untuk berinvestasi dan meningkatkan produksi.
Tri menegaskan bahwa kuota impor bukan sekadar soal hitung-hitungan angka. Ini soal arah dan komitmen negara terhadap keberlanjutan peternakan nasional. Menurutnya, jika pemerintah tetap membuka impor tanpa batas, maka wajib disertai kebijakan pendukung produksi lokal seperti akses teknologi, subsidi pakan, dan pembinaan peternak.
“Tanpa dorongan produksi lokal, kita hanya jadi pasar konsumsi. Impor boleh dibuka, tapi jangan lupa lindungi yang di dalam negeri,” tandasnya.
Membuka kran impor sapi tanpa kuota memang memberi ruang lebih luas bagi pelaku pasar besar. Tapi jika tak diimbangi perlindungan untuk peternak lokal, bisa jadi mereka yang buntung, dan kita semua bakal membayar mahal lewat ketergantungan pangan jangka panjang.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



