
PADANG, CAKRAWARTA com – Dunia dikejutkan oleh serangan militer Iran ke wilayah Israel dan terbaru pangkalan militer Amerika Serikat di Al-Udeid, Qatar, Senin (23/6/2025) malam. Aksi ini menjadi balasan atas serangkaian serangan yang dilakukan Israel dan AS ke wilayah Iran, termasuk fasilitas nuklir dan markas militer yang menewaskan sejumlah elit militer dan ilmuwan Iran.
Namun, apa yang membuat Iran begitu berani melawan dua kekuatan besar dunia sekaligus?
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas, Muhammad Thaufan Arifuddin, menyebut keberanian Iran lahir dari tiga fondasi kuat yang menjadi pijakan politik dan ideologinya yakni ajaran Syi’ah atau Ahlul Bait, semangat Revolusi Islam Iran, dan kepemimpinan spiritual-politik Vilayati Faqih yang dipimpin oleh Ayatollah Ali Khamenei.
“Keputusan Iran melawan Israel dan Amerika bukan hanya reaksi militer biasa, tapi ekspresi dari ideologi politik, spiritualitas, dan sejarah panjang perjuangan,” ungkap Thaufan saat dikonfirmasi, Selasa (24/6/2025).
Syi’ah: Mazhab Islam yang Memihak Keadilan
Thaufan menjelaskan, dalam ajaran Syi’ah, agama dan politik tak bisa dipisahkan. Syi’ah mengajarkan bahwa iman harus dibarengi dengan keberpihakan kepada kebenaran dan perlawanan terhadap kezaliman.
“Syi’ah adalah mazhab yang membela kaum tertindas. Ia tidak membenarkan diam dalam menghadapi kebatilan. Itulah mengapa Iran merasa wajib menanggapi tindakan brutal Israel dan Amerika,” ujarnya.
Syi’ah juga dikenal sebagai tradisi intelektual Islam yang rasional dan terbuka terhadap ijtihad. Kombinasi ini menjadi fondasi bagi pengembangan sains dan teknologi Iran, termasuk dalam penguasaan teknologi rudal yang kini disorot dunia.
Revolusi Islam Iran: Warisan Perlawanan Imam Khomeini
Keberanian Iran juga bersumber dari Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan Rezim Shah dan membentuk negara Republik Islam Iran. Revolusi ini bukan hanya peristiwa politik, tapi juga gerakan spiritual dan intelektual.

“Revolusi Iran membuktikan bahwa ajaran Islam bisa menjadi dasar perubahan sosial dan politik yang besar. Khomeini berhasil menyatukan ulama dan rakyat dalam satu semangat perlawanan terhadap ketidakadilan,” terang Thaufan.
Tokoh-tokoh penting seperti Ali Shariati dan Murtadha Muthahhari juga disebut berperan membentuk basis pemikiran revolusioner yang tetap relevan hingga hari ini.
Vilayati Faqih: Sistem Kepemimpinan Ulama yang Adaptif
Thaufan menilai peran Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemimpin tertinggi Iran tak bisa dilepaskan dalam konteks ini. Melalui konsep Vilayati Faqih, Iran dipimpin oleh seorang ulama yang memiliki otoritas spiritual dan politik sekaligus.
“Ali Khamenei bukan hanya simbol, tetapi pemimpin yang mengarahkan riset teknologi, mengendalikan kekuatan militer, dan mengambil keputusan strategis, termasuk serangan ke Israel dan AS,” katanya.
Konsep Vilayati Faqih, yang digagas Imam Khomeini, menurut Thaufan adalah cerminan Islam politik yang rasional dan konstitusional. Ia mewakili keyakinan bahwa ulama harus memimpin masyarakat menuju keadilan.
Perlawanan Terukur dan Strategis
Thaufan menekankan bahwa serangan balasan Iran bukan aksi gegabah. Menurutnya, Iran tetap berpegang pada hukum internasional, namun juga bersiap untuk menanggapi agresi pihak mana pun secara terukur.
“Iran ingin menunjukkan bahwa mereka bukan hanya memiliki kekuatan militer, tapi juga narasi moral dan ideologis yang kuat. Mereka berdiri bukan untuk menyerang, tapi untuk melawan ketidakadilan,” pungkasnya.(*)
Editor: Tommy, Sarifah, Ali Assegaf dan Abdel Rafi



