Friday, April 26, 2024
HomeGagasanCovid-19 Menggila, Gotong Royong Pemerintah dan Masyarakat Sebagai Solusi

Covid-19 Menggila, Gotong Royong Pemerintah dan Masyarakat Sebagai Solusi

Lonjakan kasus baru COVID-19 terjadi kembali secara signifikan pasca libur lebaran di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini diikuti oleh ketersediaan tempat tidur dan ruang ICU di rumah sakit yang mulai terbatas, ruang isolasi di rumah sakit lapangan maupun tempat isolasi lain yang mulai penuh, banyaknya nakes yang tertular bahkan terjadi peningkatan kasus kematian karena infeksi COVID-19. Gambaran seperti ini yang terlihat pada akhir-akhir ini.  Pandemi COVID-19 berlangsung 1 tahun lebih sejak kemunculan pertama kasus di Indonesia, 2 Maret 2020 lalu. Upaya penanganan COVID-19 dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak termasuk juga masyarakat.

Terlepas dari banyaknya upaya yang telah dilakukan. Bisa dikatakan bahwa dalam setahun terakhir,  Indonesia bisa dikatakan belum berhasil mengendalikan kasus. Hal tersebut terlihat dari tingginya kasus pada akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021, hingga mencapai kasus baru harian tertinggi sebesar 14.518 pada tgl 30 januari 2021. Puncak pertama kasus pun belum terlewati walaupun angka kasus harian sempat stabil diangka 4 ribu atau 5 ribu sebelum ramadhan dan lebaran 2021. Kita pun banyak belajar dari lonjakan-lonjakan kasus yang selalu muncul pasca libur panjang. Tetapi nampaknya dari pengalaman itu ternyata belum menjadi pembelajaran yang baik, karena kondisi lonjakan kasus masih saja dialami terutama yang sedang kita hadapi sekarang pasca libur lebaran 2021. Bahkan kasus harian tertinggi telah menembus 12 ribu per tanggal 17 Juni 2021. Peningkatan kasus ini masih berpotensi terus terjadi jika tidak ada upaya antisipasi yang dilakukan. Situasi sekarang tentunya berbeda dengan lonjakan kasus pasca liburan sebelumnya.

Karena sebetulnya pemerintah bisa dikatakan telah memiliki strategi “perang” melawan COVID-19 yang seharusnya jauh lebih baik dari sebelumnya meskipun belum optimal, diantaranya, pertama, upaya 3T (testing, tracing, dan treatment) yang harusnya memang lebih baik dari sebelumnya, dengan kapasitas pemeriksaan yang meningkat dengan penambahan laboratorium dan alat-alat tes tetapi masih belum bisa mencapai indikator positivity rate < 5%, tracing yang perlahan sudah lebih baik walaupun masih jauh dari standar WHO (1 kasus dengan 30 orang dites), penambahan jumlah fasilitas kesehatan yang menangani pasien COVID-19 (baik tempat tidur maupun ICU), dan tempat-tempat isolasi yang diperbanyak.

Kedua, program vaksinasi yang sedang dijalankan dari pertengahan Januari sampai sekarang. Saat ini ada sekitar 20 juta masyarakat yang telah divaksin dengan dosis 1 (12% dari populasi) dan sekitar 11 juta dengan dosis 2 (6% dari populasi). Sehingga perlu upaya yang lebih keras untuk mengejar target cakupan vaksinasi 70% dalam rangka mencapai herd immunity. Terakhir, Kebijakan pembatasan mobilisasi masyarakat yang dengan banyak penamaan mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sampai PPKM mikro. Kebijakan ini mencakup karantina wilayah yang diberlakukan secara ketat untuk beberapa daerah dengan kasus tinggi. Walaupun strategi ini pun masih banyak kelemahannya. Apalagi, masyarakat pun juga sudah dibekali strategi “perang” dalam melawan COVID-19 dengan menggunakan protokol kesehatan 3M (Memakai masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun), bahkan berkembang menjadi 5 M (3M ditambah dengan Menjauhi kerumunan dan Mengurangi mobilitas).

Strategi “perang” tersebut dari kedua pihak baik pemerintah maupun masyarakat juga diimplemetasikan oleh negara-negara lain dan sudah terbukti efektif mengendalikan kasus di awal pandemi seperti peningkatan 3T di Korea Selatan, 3M dan 5M di beberapa negara Asia Timur bahkan Tiongkok sebagai negara asal COVID-19. Mengapa hal ini menjadi sulit bahkan terkesan sangat sulit diimplementasikan di Indonesia?

Kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 sebagai strategi “perang” nampaknya belum berhasil. Penyebabnya karena kerapkali kebijakan ini muncul inkonsisten, tidak terimplemetasi secara maksimal, lemahnya pengawasan (monitoring) dan tindakan tegas bagi pelanggar serta kurangnya partisipasi aktif masyarakat akibat lemahnya komunikasi. Komunikasi jikapun ada lebih dominan berisi labelling dan stigmaisasi bahwa masyarakat begini dan begitu, alih-alih konsisten mengedukasi. Hal tersebut diperparah dengan munculnya banyak informasi-informasi hoaks yang melemahkan tingkat kepercayaan masyarakat.

Belum lagi pertahanan kita mulai goyah dengan masuknya varian baru yang sumber pertamanya merupakan kasus impor (imported case), termasuk varian alpha (asal UK), varian beta (asal Afrika Selatan) dan terbaru varian Delta (asal India). Hal ini menunjukkan kurang ketatnya pemerintah dalam melakukan skrining dan kontroling di pintu-pintu perbatasan dengan negara tetangga. Ancaman COVID-19 semakin berat jika benar-benar varian baru ini telah menyebar pada masyarakat lokal.

Strategi “perang” baru harus dipertimbangkan oleh pemerintah dan harus segera dieksekusi, diantara, pertama, pemerintah harus mengambil langkah untuk upaya antisipasi peningkatan kasus dengan memperbaiki risk communication yang selama ini terlihat lemah dengan cara menetapkan kanal resmi sebagai sumber informasi, edukasi dan solusi bagi baik pemerintah, swasta maupun masyarakat dan tak membiarkan banyak pihak mengeluarkan pernyataan yang ternyata tidak sinergis seperti ada larangan mudik tapi disaat bersamaan tempat wisata dibuka. Belum lagi pemahaman mengenai kondisi sosial budaya dalam penanganan juga penting sehingga kasus seperti di Jembatan Suramadu terkait warga Madura tidak perlu terulang. Kedua, surveilans kesehatan lebih diperkuat terutama juga dengan pemeriksaan whole genome sequence (WGS) dan tentunya juga mengoptimalisasi kapasitas pemeriksaan dan tracing yang ada. Ketiga, Pengawasan ketat harus dilakukan oleh pemerintah terutama di pintu-pintu masuk perbatasan baik bandara, pelabuhan dan lainnya. Keempat, adanya tindakan tegas dan adil bagi pelanggar aturan atau oknum yang memang memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi/kelompok. Karena adanya perbedaan penyikapan terhadap pelanggaran protokol kesehatan akan membuat tingkat distrust masyarakat meningkat yang akhirnya membuat tingkat kepatuhan mereka kepada pemerintah menurun. Kelima, perbaikan data yang real time dan akurat sehingga bisa digunakan dalam pengambilan keputusan yang tepat serta pentingnya mitigasi yang cepat dan cermat sebagai langkah antisipatif. Ini sangat penting terutama dalam kaitannya mengantisipasi bed occupancy rate (BOR) yang saat ini di hamper semua daerah sudah melebihi standar badan kesehatan dunia, WHO.

Kita tentu tidak ingin terpuruk dalam kondisi pandemi COVID-19, karenanya baik pemerintah, swasta dan masyarakat harus bahu-membahu dalam meningkatkan dan menguatkan strategi perang melawan COVID-19 demi perbaikan kesehatan, ekonomi, sosial dan mental. Kekuatan setiap negara tentukan akan berbeda-beda, ini yang menentukan strategi “perang” apa yang kuat yang dimilikinya. Amerika Serikat sebagai negara super power saat ini telah berhasil melakukan strategi “perang” dengan vaksinasi yang sudah memenuhi target capaian herd immunity di hampir seluruh negara bagiannya. Di beberapa negara Asia Timur pun demikian, 3M telah menjadi budaya mereka jauh sebelum pandemi COVID-19, sehingga cepat diterapkan. Bagaimana dengan kita?

Indonesia adalah negara dengan populasi yang besar dan kekuatan kita adalah pada budaya gotong-royong. Sudah seharusnya masyarakat kita bergotong-royong dalam menguatkan strategi “perang” yang sedang dijalankan dan dilakukan oleh pemerintah yaitu 3T, 3M/5M dan vaksinasi dengan berpartisipasi aktif sebagai bentuk perlawanan terhadap COVID-19.

Apapun bentuk musuh kita, COVID-19 dengan varian ataupun tidak maka 3T, 3M/5M dan vaksinasi masih sangat efektif untuk digunakan. Terutama 3M/5M menjadi jurus yang paling ampuh saat ini ditengah-tengah keterbatasan yang dimiliki oleh Indonesia. Ini sebagai bentuk ikhtiar kita bersama demi keluar dari pandemi COVID-19. Semoga.

LAURA NAVIKA YAMANI

Dosen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair dan Peneliti Institute of Tropical Disease (ITD) Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular