Sejak marak gerakan dan pemberitaan mengenai ISIS banyak kalangan berpendapat dan tidak sedikit media mengekspos dan menyatakan bahwa ISIS sesungguhnya buatan Amerika Serikat (CIA). Jika demikian adanya maka peryataan Pemerintah yang membenarkan bahwa aksi teroris di Sarinah ialah keterlibatan ISIS berarti kedaulatan negara sedang terancam karena ISIS telah berhasil masuk dan menciptakan kecemasan (teror) dipusat ibu kota negara yang tergolong area ring satu yang radiusnya tidak jauh dari Istana Negara.
Luput dari pengawasan dan Badan Intelijen Negara (BIN) jelas kecolongan dalam hal ini. Kalau tidak kecolongan tentu saja sudah dapat diantisipasi sehingga tidak sampai terjadi. Akal sehat berkata berbekal semua statement itu, berarti sesungguhnya Amerika Serikat sudah menguasai Jakarta jika menggunakan logika yang disodorkan media-media selama ini bahwa ISIS buatan CIA seperti yang digemborkan Amerika Serikat sendiri yang dimuat di beberapa media internasional.
Namun anehnya, melalui siaran pers kemarin (14/1/2016) pemerintah menolak bahwa mereka kecolongan dan bahwa sudah mengantisipasi hal ini. Jika benar mengapa aksi teror tersebut tetap berlangsung dan semua mata dapat melihatnya dengan jelas. Jika demikian, semakin menguatkan pandangan bahwa telah terjadi pembiaran terhadap aksi teror tersebut dan adegan yang dipertontonkan ke publik kemarin hanyalah merupakan drama aksi heroik aparat yang sengaja dipertontonkan seolah-olah sangat serius memberantas aksi terorisme dan jika adanya seperti itu maka dapat dikatakan otaknya adalah pemerintah Amerika Serikat yang secara tidak langsung juga mungkin bekerjasama dengan modus operandi intelejen di dalam negeri dengan tujuan untuk mengaburkan isu-isu yang lebih krusial di dalam negeri.
Yang perlu dicermati dan diselidiki lagi adalah bisa jadi aksi teror kemarin adalah sekelompok gerakan radikal selain ISIS. Kelompok yang tidak menutup kemungkinan merupakan bentuk pengenjawantahan atas ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK hari ini. Kelompok ini lalu nekat berbuat teror dengan maksud dan tujuan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada pemerintah khususnya dan publik pada umumnya. Karena itulah saya mengatakan ISIS akan makin narsis kalau teryata pelakunya bukan dari kelompok ISIS.
Dalam kajian komunikasi media massa ada yang kemudian dimaksud dengan Penentuan Agenda (Agenda Setting), sebuah teori yang menjelaskan betapa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran melalui pengalihan dan penentuan isu-isu yang dimunculkan sebagai berita utama.
Ada dua elemen yang ditransfer ke dalam pikiran publik yaitu kesadaran dan informasi mengenai isu-isu yang dianggap penting dan “penting”. Teori ini berkembang sejak 1965, ketika Walter Lippman mengemukakannya pertama kali. Para penganut teori ini sependapat berada dalam satu kubu paradigma, yang menganggap bahwa media sangat kuat, dan publik lemah. Media mengendalikan apa-apa saja pesan dan informasi yang harus disampaikan, dan masyarakat berada pada posisi pasif.
Tentu saja bukan suatu yang dilarang bagi publik untuk bersikap kritis-analitis ketika mencermati sebuah peristiwa yang menggemparkan yang menjadi hot news. Hemat penulis, fakta di lapangan belum tentu merupakan realitas yang sesungguhnya. Tidak menutup kemungkinan ada agenda setting di balik layar dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti propaganda, pengalihan isu untuk menutupi sebuah skandal yang lebih berbahaya. Tujuannya jelas untuk mengerahkan opini publik agar tidak fokus pada isu tertentu atau membuat publik cukup dikonsenkan dengan salah satu isu saja termasuk isu terorisme. Misalnya untuk ‘menutupi’ kecurigaan publik betapa masifnya akhir-akhir ini mengenai isu-isu yang krusial dan menyangkut kewibaan kepemimpinan Presiden Jokowi-JK yang selama satu tahun terakhir ini kerap menuai kritik ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Kita bisa lihat mulai dari kegaduhan politik, melonjaknya harga bahan pokok, nilai tukar rupiah yang jatuh, kasus Freeport hingga banyaknya oknum di partai penguasa yang terlibat skandal korupsi. Maka untuk membuat kabur pemberitaan-pemberitaan di media massa terkait hal tersebut, lagi-lagi publik dihadapkan pada berita-berita terorisme.
Ada banyak kejanggalan dibalik tragedi Bom Sarinah kemarin. Mari kita sama-sama cermat melihat dan menganalisisnya. Pertama, mengapa terjadinya sangat bertepatan dengan tenggat deviasi kontrak emas Freeport (perusahaan asal Amerika Serikat) di Papua, 14 Januari 2016. Ini jelas bukan kebetulan. Emas Papua akan “dirampok” lagi oleh Amerika Serikat. Padahal publik selama beberapa bulan terakhir ini dihebohkan dengan kasus “Papa Minta Saham”, dimana banyak aktivis yang menuntut segera dihentikannya kontrak dan menasionalisasi aset Freeport, serta pembentukan hak angket DPR terkait kasus ini.
Kedua, baru beberapa hari sebelum Bom Sarinah publik dihebohkan dengan tertangkap tangannya anggota DPR RI Komisi 5 asal fraksi PDIP oleh Komisi antirasuah KPK. belum lagi Wapres JK jadi saksi sidang tipikor untuk mantan Menteri ESDM Jero Wacik, adanya pemanggilan dan pemeriksaan Setya Novanto sebagai terduga pidana “Papa Minta Saham” dan isu korupsi yang diduga melibatkan Ahok (Gubernur DKI Jakarta) pada penjualan aset Pemda DKI (RS Sumber Waras) yang merugikan negara 800 miliar Rupiah dan banyak lagi problematika kebangsaan lainnya.
Ketiga, jika kita cermati secara seksama dan melihat video amatir yang banyak beredar ke publik, para pelaku teror membawa pistol, granat asli dan bom, namun tidak menembaki massa. Sasarannya hanya polisi di pos jaga dan satu korban warga asing asal Kanada yang terkena tembakan. Pelaku teror tersebut ternyata enggan untuk menembaki para penonton aksi tersebut yang ramai di sekitar kejadian peristiwa. Yang jika itu dilakukan, tentu saja banyak masyarakat sipil yang jadi korban. Para pelaku teror nampaknya begitu selektif jelas saarannya tidak memburu sembarang orang. Pelaku teror nampaknya tidak ingin menembak rakyat yang menonton, karena dianggap bukan musuh. Pelaku teror terlalu toleran kepada rakyat di sekitarnya yang lalu lalang sangat dekat.
Namun bolehlah kita apresiasi aksi heroik Polri kemarin dalam memburu para teroris, bahkan diantara ramai masyarakat yang menyaksikan aksi tersebut ada polisi yang begitu hati-hati sembunyi di belakang mobil keamanan untuk melindungi diri. Namun yang ingin penulis sampaikan adalah mari kita cermat dan teliti menyimak dan menyimpulkan serta untuk tidak tergersa-gesa menyimpulkan sebuah peristiwa terjadi secara kebetulan begitu saja. Sebab tidak menutup kemungkinan adanya agenda setting dari media atau suprastruktur lainnya. Di tengah problematika kebangsaan yang lebih krusial yang tengah terjadi, kita harus waspada pada pemberitaan di media massa. Tidak menelan mentah-mentah pemberitaan media massa tanpa ada kajian yang mendalam agar tidak termakan isu propaganda dari pihak-pihak tertentu yang bermufakat jahat. Sebuah teori komunikasi massa lainnya yaitu Cultural Norms, bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga memengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat.
Ya. Kita jangan takut terhadap teror, kita harus melawannya, bahkan melawan teror dari ulah-ulah elit negeri ini sendiri. Penulis berpendapat tragedi kemarin merepakan bukti kegagalan pemerintahan Jokowi-JK dalam memberikan rasa (ny)aman bagi rakyatnya. Pemerintah bisa dikatakan tidak mampu menjaga kedaulatan bangsa dari kepentingan dan keserakahan asing.
Tentu saja kita semua mengutuk segala bentuk terorisme, apapun modus operandi, target dan dengan alasan apapun. Tidak dibenarkan oleh agama manapun apalagi mengaitkannya dengan salah satu agama yang selama ini kerap didiskreditkan sebagai lumbung teroris.
Kalaupun benar yang melakukan aksi teror tersebut adalah seorang atau kelompok agama tertentu yang ingin menegakkan keyakinan atas tafsirnya terhadap agamanya, inipun tidak dapat dibenarkan. Dalam konsep “jihad qital” misalnya perang hanya boleh dilakukan untuk melindungi diri. Jika kita yang lebih dulu diserang, baru boleh dilakukan. Jika kita yang memulai terlebih dahulu, itu jelas dilarang dalam agama.
Kalau ingin “jihad qital” di Indonesia sepertinya tidak tepat, lebih tepat jika berjihad perang di Palestina, yang jelas-jelas saudara kita ditindas oleh Israel. Itu jauh lebih presisi untuk diperjuangkan.
BENI PRAMULA
Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah