Istilah bodyguard mengingatkan kita pada film The Bodyguard dengan soundtrack “I Have Nothing” (1992) yang diperankan Kevin Costner yang berperan sebagai Frank Farmer sang bodyguard yang mengawal dan melindungi seorang penyanyi sukses, Rachel Marron, yang diperankan dengan sangat apik oleh Whitney Houston.
Bodyguard dalam defenisi dan praktek adalah “someone who escorts and protects a prominent person” (seseorang atau sekelompok orang yang dibayar untuk mengawal dan melindungi orang terkemuka). Sedangkan Marsose atau korps Marechaussee te Voet, yang dikenal dengan sebutan “londo ireng” atau “belanda hitam” adalah pasukan taktis yang dibentuk oleh KNIL Belanda yang direkrut dari rakyat jelata yang berasal dari kaum pribumi untuk menjadi tentara bayaran di kemiliteran Belanda. Marsose ditugaskan untuk memerangi pemimpin dan pejuang kaum pribumi yang berjuang untuk membela hak-haknya.
Dalam prakteknya, dapat kita katakan Marsose adalah satuan bodyguard yang direkrut dan dibayar oleh pemerintahan Belanda untuk mengamankan dan melindungi (secara fisik) kepentingan kolonialisme Belanda di tanah jajahan dengan memerangi pejuang dan pemimpin kaum pribumi yang memberontak menegakkan haknya.
Tentang peran para bodyguard dan marsose di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini dapat digambarkan melalui dua masalah yang sedang menjadi polemik, yaitu pertama, kasus asap akibat pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan yang merusak lingkungan, merusak kesehatan masyarakat dan telah memakan korban jiwa. Kedua, kasus perpanjangan kontrak karya Freeport yang dilakukan oleh Menteri Energi dan Summber Daya Mineral (ESDM) atas arahan Presiden Joko Widodo.
Dalam dua kasus tersebut terlihat jelas peran para Marsose dan Bodyguard dalam mengamankan kepentingan perusahaan tuannya dari ganguan politik, hukum dan legislasi. Para bodyguard atau marsose modern adalah mereka yang mempunyai tugas-tugas eksklusif untuk mengamankan dan melindungi perusahaan yang menjadi majikannya, terutama dari ancaman dan ganguan politik, hukum dan legislasi. Berbeda dengan marsose era kolonialisme Belanda yang direkrut dari rakyat jelata dan berfungsi menjadi tentara bayaran untuk melakukan pengamanan dari segi fisik.
Bodyguard dan marsose modern tersebut direkrut dari mereka yang berposisi sebagai elite dalam sebuah masyarakat yang berprofesi sebagai pengacara hebat, beredar bisikan bahwa sejumlah Jenderal purnawirawan (TNI dan Polri) juga dipasang sebagai bodyguard, para pejabat penegak hukum yang masih aktif baik di Kejaksaan Agung, Polri, Mahkamah Agung hingga di Kehakiman, para legislator di parlemen, para jurnalis dan aktivis juga menjadi sasaran direkrut untuk menjadi bodyguard.
Bahkan yang membuat dada kita perih dan sesak, karena diduga kuat, baik Presiden, sejumlah Menteri hingga Kepala Daerah menjual dirinya dan dibayar sebagai bodyguard atau marsose oleh para saudagar dan taipan nasional (Perusahaan Perkebunan Grup Sinar Mas, Group Surya Dumai, dll.) maupun oleh perusahaan Multi National Corporation (MNC) seperti Freeport, Newmont, dan lainnya sebagai majikannya.
Keadaan tersebut yang menjadi alasan tentang betapa sulitnya menjerat dari sisi hukum kepada perusahaan perkebunan dan pemilik lahan yang telah membakar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Sebagai contoh, pada tahun 2013, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah terjadi pembakaran hutan sangat masif, walaupun berhasil dipadamkan, namun perusahaan raksasa dibalik pembakaran lahan tersebut lolos dari jeratan hukum. Banyak yang menduga, Presiden SBY saat itu menjadi bodyguard atau marsose dari sejumlah perusahaan milik para taipan yang telah membiayai terpilihnya SBY sebagai Presiden.
Lantaran tidak tegasnya penegakan hukum di era Presiden SBY terhadap para pembakar lahan dan hutan tahun 2013, maka keadaan tersebut terulang kembali di era Presiden Joko Widodo. Pembakaran hutan dan lahan dilakukan secara masif dan telah memakan korban jiwa, puluhan ribu jiwa menjadi korban dari keserakahan para perusahaan perkebunan yang di-back up oleh para bodyguard atau marsose yang dibayar secara murah (bila dibandingkan dengan perampokan yang dilakukan oleh perusahaan majikannya).
Kita menanti tindakan tegas Presiden Joko Widodo dan penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) untuk memenjarakan seluruh perusahaan dan pemiliknya atas kejahatan lingkungan dan kemanusian yang telah dilakukan dengan membakar lahan dan hutan. Jika tidak ada tindakan tegas baik hukum maupun administratif, termasuk mencabut izin AMDAL dari perusahaan tersebut, maka patut diduga Presiden Joko Widodo telah menjadi bodyguard atau marsose dari sejumlah perusahaan seperti Group Sinar Mas, Group Surya Dumai, Group Dulta Palma, Group RAPP, dan lainnya.
Demikian juga dalam kasus rencana perpanjangan kontrak Freeport sangat terkait dengan mentalitas bodyguard dan marsose yang meracuni perilaku baik Presiden maupun para Menterinya. Tidak ada keberanian untuk berpikir dan bertindak dalam jiwa dan spirit kedaulatan, kemandirian dan kepribadian nasional.
Terakhir, ingat selalu bahwa penjajahan atas sebuah bangsa itu pasti menggunakan tangan tangan kaum pribumi dari bangsa tersebut yang dibayar secara murah menjadi satuan bayaran, untuk mengamankan kepentingan baik politik (kebijakan), hukum dan legislasi dari sang penjajah. Penjajahan makin kokoh mencengkeram lantaran di-back up oleh para marsose dan bodyguard yang mengkhianati bangsa dan rakyatnya. Sungguh ironis.
HARIS RUSLY
Aktivis Petisi 28