Jakarta, – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyampaikan diskusi hangat pimpinan MPR RI dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono terkait agenda kebangsaan ke depan termasuk sistem politik dan kondisi demokrasi. Perlu evaluasi dan koreksi sepanjang untuk memperbaiki masa depan Indonesia. Termasuk, apakah kehidupan demokrasi Indonesia saat ini sudah berada di dalam track yang benar atau sebaliknya.
“Salah satu hasil silaturahmi kebangsaan yang dilakukan pimpinan MPR kepada para tokoh bangsa dan ketua partai politik, semuanya mengeluhkan pelaksanaan pemilu yang sangat sarat money politic dan berbiaya sangat tinggi. Bahkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menilai biaya politik semakin mahal. Karena itulah perlu dilakukan perbaikan,” ujar Bamsoet pada awak media seusai Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR dengan Pengurus DPP Partai Demokrat di Jakarta, pada Selasa (16/7/2024).
Bamsoet menjelaskan bahwa perbaikan sistem Pemilu diharapkan bisa dilaksanakan dan diselesaikan pada awal pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Beberapa perbaikan dan penyempurnaan tersebut selain mengenai sistem Pemilu juga sebaiknya pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) dilaksanakan secara terpisah.
“Mas AHY tadi mengusulkan agar pelaksanaan Pileg dan Pilpres jangan dilakukan serentak. Pelaksanan Pileg harus dilakukan sebelum Pilpres. Sehingga yang dijadikan acuan dalam mengajukan pasangan Capres adalah hasil Pileg terbaru dengan mengikuti dinamika politik yang ada. Pada Pilres 2024 yang baru kita lalui bersama, acuan pengajuan pasangan Capres adalah hasil Pileg lima tahun sebelumnya, yaitu tahun 2019, sehingga dinilai sudah tidak up to date,” katanya.
Bamsoet menerangkan bahwa sistem demokrasi pemilihan langsung yang mengakibatkan maraknya politik uang juga perlu dievaluasi kembali. Negara harus menilai apakah demokrasi saat ini lebih banyak manfaat atau malah mudarat bagi masyarakat.
“Sistem demokrasi langsung yang saat ini berlaku sudah memungkinkan terjadinya demokrasi transaksional dan salah satu faktor terpilihnya seorang pemimpin justru berdasarkan modal biaya dibandingkan dengan faktor lainnya. Harapan saya agar pemimpin kita lahir karena integritas dan kapasitas. Bukan karena ‘isi tas’nya,” urai Bamsoet.
Bamsoet menambahkan bahwa pemerintah juga perlu hadir untuk memberikan pendanaan yang layak bagi partai politik. Pendanaan negara kepada parpol penting karena parpol merupakan salah satu institusi demokrasi yang penting dan strategis, karena memiliki fungsi, tugas dan tanggungjawab melakukan rekrutmen politik.
Saat ini berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2018, negara hanya bisa memberikan bantuan pendanaan kepada partai politik sebesar Rp 1.000 per suara sah. Jumlah tersebut sangat kecil untuk pendanaan partai politik. Menurut hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan LIPI beberapa waktu lalu, idealnya negara membiayai partai politik sebesar Rp 10.000 per suara sah.
“Hasil kajian KPK dan LIPI tersebut sangat menarik untuk dielaborasi lebih jauh, sehingga partai politik tidak lagi terjebak dalam oligarki. Membersihkan partai politik dari torpedo oligarki kekuatan uang akan berefek pada kualitas pengambilan keputusan politik dalam melayani kepentingan rakyat yang lebih besar,” pungkas pria yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut yaitu Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid, Syarifuddin Hasan, Hidayat Nur Wahid dan Amir Uskara. Sementara dari pihak pengurus Partai Demokrat selain Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono juga hadir Sekjen Teuku Riefky Harsya, Bendahara Umum Renville Antonio, Waketum Benny K Harman, Wasekjen Jovan Latuconsina dan Kepala BPOKK Herman Khaeron.
(reza/rafel)