
PAMEKASAN, CAKRAWARTA.com – Penutupan sementara wisata pendakian Gunung Waru di Pamekasan, Madura, yang dilakukan oleh sejumlah tokoh masyarakat sekitar karena dianggap sebagai tempat “maksiat” dan penyebab perubahan moral pemuda, menuai tanggapan kritis dari kalangan pelaku pariwisata.
Ketua Umum Asosiasi Pariwisata Madura (ASPRIM), Mat Saleh, menyayangkan keputusan sepihak tersebut. Menurutnya, potensi wisata alam seperti Gunung Waru seharusnya tidak dimatikan, melainkan dikelola secara bijak dengan mengedepankan nilai-nilai lokal.
“Wisata pendakian itu umum dan justru banyak memberikan nilai edukatif serta spiritual. Jika memang ada kekhawatiran soal pergaulan bebas atau pakaian tak sopan, solusinya bukan penutupan, tapi pengelolaan yang terarah,” ujar Mat Saleh saat dikonfirmasi media ini, Minggu (1/6/2025).
Pendekatan Kolaboratif, Bukan Represif
Mat Saleh mengusulkan pendekatan kolaboratif yang melibatkan tokoh masyarakat setempat sebagai bagian dari pengelolaan wisata. Menurutnya, masyarakat bisa menempatkan panitia di titik-titik strategis seperti pintu masuk dan area puncak untuk melakukan pengawasan sekaligus edukasi kepada pengunjung.
“Kalau soal pakaian, sediakan saja kain penutup atau pakaian sopan yang bisa disewakan. Jadi tetap sesuai norma lokal, wisata tetap jalan, masyarakat juga dapat manfaat ekonomi,” tambahnya.
Ia juga menekankan perlunya papan informasi yang jelas di pintu masuk tentang Do’s and Don’ts bagi para pendaki, sebagai bentuk sosialisasi nilai-nilai budaya dan etika lokal. Sehingga jelas apa yang boleh dilakukan (Do) dan apa yang tidak boleh dilakukan (Don’ts), sesuai kesepakatan bersama.
Wisata Alam: Ruang Edukasi, Bukan Stigma
Menurut Mat Saleh, wisata alam seperti pendakian memiliki dimensi lebih dari sekadar hiburan. Gunung, hutan, dan alam terbuka adalah ruang refleksi, pembelajaran, bahkan bisa menjadi media dakwah kebajikan.
“Rasulullah Muhammad SAW sendiri naik ke gunung atau bukit untuk bertafakur. Jadi kalau ada perilaku menyimpang, itu bukan salah gunungnya. Yang salah adalah ketiadaan manajemen dan edukasi,” ujarnya.
ASPRIM Ajak Semua Pihak Duduk Bersama
ASPRIM mendorong pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh adat, serta komunitas pecinta alam untuk duduk bersama merumuskan tata kelola Gunung Waru secara partisipatif. Bagi ASPRIM, lanjut Mat Saleh, harmoni antara kearifan lokal dan pengembangan wisata adalah kunci agar tidak terjadi benturan antara budaya dan ekonomi.
“Penutupan sementara atau bahkan permanen bukan solusi. Justru akan mematikan potensi lokal dan menjauhkan pemuda dari alam yang seharusnya mendidik. Mari kelola bersama, bukan saling menyalahkan,” pungkasnya.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi