Fenomena ketidaksukaan aparatur sipil negara (ASN) DKI Jakarta terhadap pemimpin berlatar Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tak bisa dilepaskan dari aroma politik kekuasaan yang makin kental setiap menjelang Pilgub DKI. Dalam birokrasi, setiap penempatan pejabat tinggi selalu dibaca bukan sekadar rotasi administrasi, tetapi juga sinyal politik. Maka ketika beredar kabar bahwa sejumlah figur potensial di lingkar kekuasaan nasional, tentu termasuk yang berlatar STPDN, tengah disiapkan menempati posisi strategis di Pemprov DKI Jakarta, wajar bila muncul kegelisahan di kalangan aparatur. Mereka khawatir Jakarta akan kembali dikelola dengan gaya komando yang tak cocok dengan kultur birokrasi urban.
Bagi banyak ASN DKI, STPDN identik dengan pola kepemimpinan yang dibentuk dari sistem komando, loyalitas mutlak, dan pendekatan hierarkis yang kuat. Itu cocok untuk birokrasi di daerah konservatif atau wilayah dengan kontrol sosial tinggi, tapi terasa canggung di Jakarta, kota yang hidup dari improvisasi, negosiasi, dan kerja cepat. Gaya “komando vertikal” yang terbiasa menunggu perintah dari atas sering kali dianggap memperlambat roda birokrasi kota yang dinamis. Maka, di benak ASN DKI, muncul semacam kekhawatiran yaitu kalau pemimpinnya STPDN, jangan-jangan Jakarta akan kembali ke gaya “satu perintah satu arah, tanpa diskusi.”
Situasi ini juga terkait dengan pertarungan simbolik antara dua model birokrasi yaitu teknokrat kota versus birokrat komando. DKI Jakarta selama ini menjadi etalase reformasi birokrasi nasional dimana sistemnya paling transparan, teknologinya paling maju, dan pengawasan publiknya paling ketat. Di sisi lain, figur berlatar STPDN sering diasosiasikan dengan jaringan politik yang kuat di pusat kekuasaan. Bila figur seperti ini menempati posisi kunci di DKI, sebagian ASN menilai akan ada arus balik dimana birokrasi yang tadinya merit-based bisa tergantikan oleh sistem patronase berbasis loyalitas.
Karena itu, resistensi ASN sebenarnya bukan semata soal asal sekolah, tapi soal ketakutan akan “sentralisasi gaya baru” di tubuh birokrasi Jakarta. Sebab DKI bukan sekadar provinsi; ia adalah panggung politik nasional. Siapa pun yang memimpin birokrasi di sini otomatis menjadi bagian dari skenario kekuasaan yang lebih besar. Dan ASN yang sudah terbiasa hidup di bawah sorotan media paham betul, di balik setiap penempatan pejabat pasti ada kalkulasi politik. Maka sikap mereka yang tampak “dingin” terhadap figur berlatar STPDN bisa dibaca sebagai bentuk kewaspadaan terhadap potensi politisasi birokrasi oleh kekuatan di luar Balai Kota.
Jakarta, bagi ASN-nya, adalah simbol otonomi profesional. Mereka ingin tetap dipimpin oleh sosok yang paham dinamika perkotaan, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pusat. Itulah mengapa ketidaksukaan terhadap figur STPDN muncul bukan karena sentimen pribadi, tapi karena kekhawatiran bahwa birokrasi DKI akan kembali dijadikan alat mobilisasi politik, bukan mesin pelayanan publik.
Pada akhirnya, siapa pun yang maju ke DKI nanti, entah dari jalur teknokrat, politikus, atau STPDN, akan dihadapkan pada satu kenyataan bahwa Jakarta bukan daerah biasa, dan ASN-nya bukan bawahan yang mudah diarahkan tanpa logika. Mereka terbiasa berpikir, bukan sekadar melaksanakan. Bila pemimpin datang dengan gaya komando, mereka akan diam tapi tak benar-benar berjalan. Tapi bila datang dengan gaya kolaboratif, mereka akan bekerja tanpa harus diperintah. Dan di situlah perbedaan besar antara memimpin daerah dan memimpin Jakarta.
Birokrasi Jakarta tak butuh pemimpin yang gagah dalam apel pagi, tapi yang mampu menyalakan semangat dalam forum diskusi. ASN DKI tidak menolak STPDN, mereka hanya menolak jika Jakarta dijadikan barak. Semoga.
AGUNG NUGROHO
Direktur Jakarta Institute