Dalam beberapa minggu terakhir, jalanan di berbagai kota dunia, mulai dari London (Inggris); Belfast (Irlandia Utara); Berlin (Jerman); Madrid (Spanyol), hingga New York (Amerika Serikat) dan Sydney (Australia) dipenuhi massa demonstran. Mereka turun ke jalan membawa spanduk bertuliskan “Protect Our Jobs” dan “Our Country First”. Suara yang sama menggema yakni menolak kehadiran imigran. Orang asing kembali dijadikan kambing hitam atas persoalan ekonomi dan sosial yang dihadapi masyarakat setempat.
Fenomena ini bukan sekadar kejadian sosial yang terpisah, melainkan cerminan dari perubahan besar dalam lanskap politik dan sosial global. Gelombang nasionalisme eksklusif tengah menguat di berbagai belahan dunia Barat. Ironisnya, negara-negara yang kini menutup pintu bagi imigran justru adalah pelaku utama kolonialisme dan globalisasi ekonomi di masa lalu.
Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat misalnya, yang dulu membawa modal dan pengaruh ke berbagai penjuru dunia, justru kini sibuk menolak kehadiran manusia dari luar. Mereka menutup pintu bagi orang, tetapi tetap membuka jalan bagi uang dan kepentingan. Inilah paradoks besar nasionalisme masa kini yakni menolak orang datang, tetapi tak sungkan mendatangi orang lain.
Di balik gelombang anti imigran itu, tampak jelas bagaimana populisme bekerja. Para politisi populis dengan lihai menciptakan dikotomi “kami” versus “mereka”. Dalam retorika yang sederhana tapi memikat, imigran dijadikan simbol ancaman terhadap identitas nasional. Frustrasi publik akibat stagnasi ekonomi, krisis perumahan, atau kesenjangan sosial dialihkan menjadi kemarahan terhadap orang luar. Seolah, dengan menolak imigran, semua masalah dalam negeri akan terselesaikan.
Kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Penolakan terhadap imigran kerap memperdalam perpecahan sosial dan menumbuhkan intoleransi. Sementara akar masalah seperti ketimpangan ekonomi dan kegagalan kebijakan redistribusi, tetap tidak tersentuh. Nasionalisme sempit semacam ini hanya memelihara ilusi keutuhan bangsa, tanpa benar-benar menghadirkan keadilan sosial.
Indonesia dan Jalan Keterbukaan
Berbeda dengan gelombang eksklusivisme di Barat, Indonesia justru berupaya meneguhkan diri sebagai bangsa yang terbuka. Pemerintah memperkenalkan program Golden Visa untuk menarik investor asing, memperluas kebijakan bebas visa bagi wisatawan mancanegara, serta terus mempromosikan citra “Wonderful Indonesia” sebagai negara ramah dan inklusif.
Langkah-langkah tersebut bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap sejarah panjang keterbukaan Nusantara. Sejak masa kejayaan Sriwijaya hingga era kolonial, kepulauan Indonesia tumbuh melalui pertemuan budaya dan arus perdagangan dari berbagai penjuru dunia. Pengaruh India, Arab, Tiongkok, dan Eropa saling berkelindan membentuk identitas nasional yang majemuk.
Keterbukaan terhadap dunia luar, karena itu, bukan ancaman bagi jati diri Indonesia. Justru sebaliknya, ia adalah bagian penting dari DNA kebangsaan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika lahir dari kesadaran bahwa perbedaan bukan untuk dihapuskan, melainkan untuk disatukan dalam ruang kebersamaan.
Namun, sikap terbuka ini tidak selalu diterima dengan lapang dada. Penelitian Kurniasih dan Suseno (2025) tentang sentimen publik terhadap isu pengungsi Rohingya di media sosial, misalnya, menunjukkan bahwa hampir separuh unggahan masyarakat bernada negatif. Di sisi lain, laporan Direktorat Jenderal Imigrasi (2024) mencatat peningkatan dua kali lipat pelanggaran izin tinggal oleh warga asing.
Kedua fakta ini memperlihatkan adanya ketegangan antara kebijakan keterbukaan dan persepsi publik yang masih rentan terhadap narasi anti asing. Dalam ruang yang rentan seperti ini, isu imigran bisa dengan mudah digeser menjadi alat politik. Populisme lokal berpotensi tumbuh dengan mengusung wacana “kedaulatan ekonomi” atau “perlindungan tenaga kerja” untuk menggiring opini publik bahwa keterbukaan adalah sumber masalah.
Jika tidak diantisipasi, narasi sempit semacam ini dapat menggoyahkan fondasi nilai kebangsaan yang selama ini kita banggakan yaitu nilai inklusivitas dan kemanusiaan.
Menjaga Identitas Inklusif
Gelombang anti-imigran di Barat seharusnya menjadi cermin reflektif bagi Indonesia. Nasionalisme tidaklah tunggal; ia bisa berkembang ke dua arah: menjadi eksklusif yang membangun tembok, atau inklusif yang membangun jembatan antaridentitas.
Indonesia masih memiliki peluang besar untuk meneguhkan jalur kedua. Selama kita tidak terjebak dalam ketakutan terhadap perbedaan, nasionalisme Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana rasa cinta tanah air justru berakar pada penghormatan terhadap keragaman.
Identitas nasional bukan sesuatu yang statis; ia selalu dinegosiasikan melalui kebijakan publik, pendidikan, dan wacana media. Maka, menjaga identitas inklusif berarti terus menanamkan nilai kemanusiaan dalam setiap kebijakan, baik terhadap warga negara sendiri maupun terhadap mereka yang datang mencari penghidupan di negeri ini.
Pertanyaan penting yang kini perlu diajukan adalah, apakah Indonesia akan terus memandang keterbukaan sebagai kekuatan strategis, atau justru tergoda mengikuti arus populisme sempit yang sedang melanda dunia?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan tidak hanya wajah politik Indonesia, tetapi juga arah moral bangsa di tengah krisis kemanusiaan global.
Di tengah pusaran ketegangan antara nasionalisme dan kemanusiaan, Indonesia memiliki kesempatan langka untuk menunjukkan bahwa identitas nasional yang kuat tidak harus dibangun dengan menolak yang berbeda. Ia justru tumbuh melalui penghormatan terhadap keberagaman, warisan sejarah yang menjadi kekuatan masa depan.
Gelombang anti imigran di Barat memperlihatkan ironi dari nasionalisme modern bahwa ketakutan terhadap yang asing justru lahir di tempat yang dulu paling agresif mengekspansi dunia. Indonesia, dengan sejarah panjang keterbukaan dan keberagamannya, memiliki peluang untuk menempuh jalan berbeda, membangun bangsa yang kuat bukan dengan menutup diri, tetapi dengan memelihara ruang perjumpaan.
Di saat dunia kian terpecah oleh tembok dan prasangka, bangsa ini bisa menunjukkan bahwa keterbukaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral. Bahwa menjadi Indonesia berarti terus belajar hidup bersama, dengan sesama warga, dengan sesama manusia.
FREDERIK MASRI GASA
Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga