Wednesday, October 8, 2025
spot_img
HomeGagasanKepakaran dan Jabatan Publik

Kepakaran dan Jabatan Publik

Program makan siang gratis (MBG) menyisakan cerita tentang para orang tua dengan tangisan histeris karena anaknya keracunan makanan. Menurut rilis pers Kepala Badan Gizi Nasional setidaknya terdata 6.457 anak yang mengalami keracunan. Program ini lantas menimbulkan kritik sekaligus polemik yang menjadi konsumsi harian media massa nasional. Secara teknis, problem keracunan pada program MBG ini bermasalah karena kualitas bahan, sanitasi dapur, distribusi dan pengawasan yang lemah. Program prioritas pemerintah ini selanjutnya menjadi sebuah masalah serius dan krusial yang berkaitan dengan meritokrasi ketika Badan Gizi Nasional yang menaungi program ini stakeholder-nya tidak seorangpun diisi oleh pakar gizi.

Program MBG hanya salah satu contoh dari sekian banyak program pemerintah yang alpa menempatkan kepakaran pada setiap pucuk pengambil kebijakan yang terkaitan kebijakan publik. Kealpaan tersebut menimbulkan huru-hara dan kerugian jangka panjang yang jauh lebih besar bagi rakyat yang dilayani. Kealpaan kehadiran para pakar dalam setiap program strategis pemerintah boleh jadi karena faktor politik yang berusaha merangkul kawan sealiran dalam lingkaran kekuasaan. Dalam praktik demokrasi di Indonesia, mulai pemilihan menteri, kepala daerah bahkan komisaris BUMN sering didasari oleh loyalitas politik atau bahkan popularitas bukan pada kompetensi teknis yang dimiliki seseorang. Politik transaksional yang telah mengabaikan dimensi kapasitas akademik ini membuat bangsa berjalan pada rel yang tidak seharusnya.

Pengetahuan Palsu

Fenomena pengabaian kepakaran ini sejatinya telah dibaca oleh Tom Nichols melalui karyanya The Dead of Expertise (2021). Bagi Nichols, pengabaikan kepakaran terjadi karena demokratisasi informasi yang melahirkan ‘pengetahuan palsu’ bagi seseorang. Opini pribadi dari figur ataupun tokoh yang kerap tampil di media massa dan ‘dibesarkan’ media sosial dianggap memiliki posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan fakta yang berbasis riset. Hal ini melahirkan kesetaraan dan pengetahuan palsu yang bertendensi menempatkan seseorang sebagai sumber pengetahuan. Media massa pun media sosial arus utama yang kerap memberi panggung kepada tokoh non pakar dengan alasan ratting adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam distribusi pengetahuan semu ini.

Dalam bidang politik, figur yang berpengalaman dipanggung politik bahkan influencer lebih dipercaya memegang jabatan publik strategis ketimbang manajemen korporasi. Dalam politik balas budi, mungkin ini dianggap lumrah, namun pada akhirnya rakyat sebagai subjek pembangunan yang akan menanggung akibat dari setiap kebijakan yang lahir dari keputusan kompromistis ini.

Pengabaian pada kepakaran dalam jabatan publik akan mengakibatkan misinformasi sekaligus menghasilkan kebijakan yang dipengaruhi oleh emosi dan populisme. Mengarusutamakan kepakaran dalam jabatan publik tidak berarti bebas dari kesalahan tetapi pejabat publik yang ditempatkan sesuai dengan bidang kepakarannya akan bertindak pada pijakan dan fondasi pengetahuan yang telah digelutinya. Ini berarti data, riset dan pengalaman akan menjadi penuntun bagi pengambilan keputusan publik yang terukur dan terarah.

Menjembatani Politik dan Kepakaran

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilihan pejabat atau pemimpin yang mengisi jabatan publik menjadi hak pemerintah bahkan prerogatif presiden. Sebagai pemenang pemilu demokratis partai koalisi berhak mengusulkan figur yang dipandang layak sesuai kebutuhan. Meski demikian ini tidak berarti bahwa keputusan politis yang berdampak pada peminggiran kepakaran menjadi pemenang tunggal. Masih ada ruang untuk menjembatani ruang politis dan akademik dalam jabatan publik.

Setidaknya terdapat tiga langkah strategis untuk memberikan ruang pada kepakaran. Pertama, reformasi rekruitmen. Pola anti kepakaran berikut anti meritokrasi di Indonesia hampir terjadi di segala lini mulai dari pusat hingga daerah. Banyak kebijakan kurang berbasis data dan ilmu sehingga tata kelola menjadi rusak dan rawan terjadi praktik korupsi kolusi dan nepotisme. Reformasi rekruitmen pada hakikatnya terarah pada seleksi pejabat publik yang kompeten dan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Perlu adanya tim seleksi independen yang terlepas dari kepentingan politik agar menghasilkan keputusan yang tepat dan terhindar dari politisasi birokrasi. Reformasi rekruitmen memberikan kesempatan pada orang yang tepat pada posisi yang tepat (the right man on the right place). Kedua, kolaborasi pakar dan politisi. Proses demokrasi memberikan akses dan kesempatan pada semua orang dalam menata dan mengelola pemerintahan. Pengambilan keputusan dalam menentukan pejabat publik yang bermotifkan kompromi politik bukanlah sebuah blunder melainkan konsekuensi dari demokrasi. Batu uji yang membuat pendulum menjadi seimbang adalah keterlibatan pakar dalam kolaborasi dengan politisi. Tugas pakar adalah merancang opsi kebijakan berbasis bukti yakni mengukur manfaat, risiko dan dampak jangka pendek maupun panjang. Pada sisi lain kehadiran politisi adalah memastikan legitimasi dan proses, memastikan anggaran dan mengawasi jalannya setiap keputusan yang menyangkut tata hidup bersama. Ketiga,  transparansi publik. Keterbukaan akses informasi harus memastikan kepada rakyat bahwa setiap kebijakan yang diambil diketahui dan bisa diakses kapan dan dimana saja oleh publik. Keterbukaan ini sekaligus memberikan tugas kepada khalayak untuk mengawasi pelaksanaan setiap kebijakan.

Keterlibatan teknokrat (pakar), politisi dan masyarakat umum/profesional dalam jabatan publik pun pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan tersebut menjadi penentu arah bagi pembangunan. Legitimasi sosial dalam mengemban jabatan publik tidak lahir dari keputusan politis atau para teknokrat tetapi dari diskusi terbuka tanpa adanya dominasi (Habermas, The Theory of Communicative Action, 1981).

Kemauan Politik

Indonesia tidak kekurangan para pakar yang mampu menduduki jabatan publik sekaligus perancang kebijakan yang menentukan arah dan masa depan bangsa. Namun manakala dominasi para politisi menempati posisi strategis maka tidak heran bangsa ini kehilangan kompas karena intuisi politik seringkali rapuh dan mudah terbawa arus populisme yang memberikan dampak sesaat. Maka dalam setiap program strategis pemerintahnya dampaknya seperti obat pereda rasa sakit yang sesat menghilangkan gejala namun akan selalu muncul ketika kehabisan. Dalam setiap kebijakan strategis yang sering salah arah seperti dalam kasus keracunan MBG, food estate, pemberian stimulus ekonomi, dan sederet polemik lainnya kehadiran para pakar sangat penting. Hanya rasa nasionalisme dan kecintaan akan masa depan bangsa yang menjadikan kepakaran sebagai syarat utama menduduki jabatan publik. Ini hanya akan terjadi jika didorong oleh kemauan politik yang membuat para pakar bersama para politisi menduduki jabatan yang strategis dan tepat. Demokrasi dalam arti etimologisnya sebagai pemerintahan oleh rakyat akan menjadi sehat ketika ego sektoral dikurangi dan kemauan politik untuk melibatkan pakar diperluas. Biarkan meritokrasi menjadi pertimbangan dalam penentuan pejabat publik agar tidak ada lagi orang tua yang mengusap air matanya karena anaknya yang keracunan makanan dari program yang tidak diurus dengan baik. Di balik jabatan yang diemban dan keputusan yang diambil sejatinya sedang dipertaruhkan masa depan rakyat!

P.H. CANDRA 

Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga Surabaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular