“Dua hal memenuhi jiwa dengan kekaguman dan hormat yang terus bertambah, semakin sering dan mendalam aku memikirkannya: langit berbintang di atas diriku dan hukum moral di dalam diriku.”
(Immanuel Kant dalam Kritik der praktischen Vernunft (Kritik atas Akal Praktis, 2006)
Di era digital yang melaju tanpa rem, masyarakat global termasuk Indonesia, dihantam oleh gelombang informasi yang tak terbendung.
Media sosial, mesin pencari, dan algoritme pengetahuan digital telah menjadi trend setter utama tempat manusia mencari makna, membentuk opini, dan menentukan sikap.
Namun, alih-alih mencerdaskan, arus informasi ini justru menciptakan limbah pengetahuan yang membusuk di ruang publik.
Kita hidup dalam infodemik yaitu epidemi informasi yang tidak hanya berlebihan, tetapi juga beracun. Digenangi toksit pengetahuan “post truth”.
Polusi informasi ini menumbuhkan krisis nalar publik, di mana kemampuan untuk memilah, menimbang, dan memahami pengetahuan menjadi lumpuh.
Nalar publik kehilangan daya kritisnya, terperangkap dalam pusaran emosi, sensasi, dan algoritme yang hanya mengulang apa yang ingin didengar, bukan apa yang perlu dipahami.
Mari simak sejenak perkara krisis nalar publik dari dua pejabat kita. Pertama, ketika Ketua Dewan Ekonomi Nasional(DEN), Luhut Binsar Panjaitan(78) menyatakan, “Menteri Keuangan tidak perlu nanti ngambil-ngambil anggaran yang tidak terserap”. Muncul tafsir mencerminkan kekhawatiran Luhut terhadap pendekatan fiskal yang terlalu teknokratis dan kurang mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi di lapangan.
Ia menilai bahwa penyerapan anggaran MBG sudah membaik dan berdampak langsung pada ekonomi rakyat, sehingga penarikan dana justru menunjukkan kegagalan memahami konteks kebijakan secara holistik, sebuah bentuk krisis nalar publik dalam pengelolaan kebijakan sosial.
Sebaliknya, Purbaya Yudhi Sadewa (63), Menkeu menanggapi dengan tegas bahwa, “kalau tidak menyerap, ya kita akan potong juga.”
Pernyataan ini menunjukkan pendekatan fiskal yang berbasis efisiensi dan akuntabilitas, namun juga membuka ruang debat tentang bagaimana negara seharusnya menilai keberhasilan program sosial, apakah semata dari angka penyerapan, atau dari dampak sosial yang lebih luas.
Polemik ini memperlihatkan ketegangan antara logika teknokratis dan logika sosial dalam kebijakan publik.
Ketika nalar publik hanya digerakkan oleh angka dan prosedur, tanpa mempertimbangkan realitas masyarakat, maka yang terjadi adalah dislokasi antara kebijakan dan kebutuhan rakyat, itulah bentuk krisis nalar publik yang sedang berlangsung.
Alvin Toffler (1928-2016), jauh pada perempat akhir abad-20, dalam Future Shock (1970) telah mengantisipasi fenomena ini.
Ia menyebut saat itu bahwa masyarakat akan mengalami “kejutan masa depan” yaitu berupa kegagapan eksistensial akibat perubahan yang terlalu cepat dan informasi yang terlalu banyak dengan deras membanjiri tiap-tiap kepala publik, yang surplus maupun yang defisit.
Dalam dunia yang bergerak lebih cepat daripada kemampuan manusia untuk beradaptasi, nalar publik menjadi korban pertama dari kecepatan “kriminalisasi“ komunikasi publik.
Ketika informasi datang tanpa konteks, tanpa kerangka pengetahuan, dan tanpa waktu untuk refleksi, maka yang lahir bukanlah pemahaman, melainkan kebingungan.
Kutipannya adalah, “kejutan masa depan (Future Shock) adalah disorientasi yang memusingkan (dizzying) yang disebabkan oleh kedatangan masa depan yang terlalu dini.”
Toffler menyebut ini sebagai bentuk disorientasi budaya, di mana manusia kehilangan pegangan dalam memahami realitas yang terus berubah secara cepat. Dromologi, kata Paul Virilio.
Manuel Castells (83), sosiolog dan pakar komunikasi asal Spanyol, dalam The Information Age: The Rise of the Network Society (1996) mengungkapkan, “Ledakan informasi belum tentu berarti perluasan pengetahuan. Ini mungkin berarti penyebaran kebisingan.”
Castells menunjukkan bahwa kekuasaan di era digital bukan lagi berada di tangan negara atau korporasi semata, tetapi di tangan mereka yang mampu mengendalikan aliran informasi.
Ia juga menyoroti bahwa ledakan informasi digital tidak selalu menghasilkan pemahaman, melainkan bisa menciptakan kebisingan epistemik yakni limbah informasi yang membingungkan, menyesatkan, dan merusak nalar publik.
Lanjut, ia mengingatkan bahwa dalam masyarakat jaringan, kekuasaan bukan hanya soal siapa yang memiliki informasi, tetapi siapa yang mampu menyaring dan mengarahkan informasi ke dalam struktur makna yang relevan.
Algoritme menjadi aktor baru dalam politik pengetahuan. Ia tidak hanya menyaring informasi, tetapi juga membentuk cara berpikir publik. Dalam konteks ini, nalar publik bukan hanya terancam, tetapi sedang direkayasa.
Castells menyebut bahwa informasi telah menjadi “struktur dominan” dalam membentuk identitas, opini, dan bahkan tindakan politik.
Ketika algoritme lebih tahu apa yang kita pikirkan daripada kita sendiri, maka nalar bukan lagi milik individu, tetapi milik sistem.
Krisis nalar publik adalah krisis epistemik dan etis sekaligus. Ia bukan sekadar soal kebodohan atau kurangnya pendidikan, tetapi soal kerusakan struktur berpikir yang dibentuk oleh sistem informasi yang tidak netral.
Kita menyaksikan bagaimana hoaks, teori konspirasi, dan propaganda identitas menyebar lebih cepat daripada fakta. Kita melihat bagaimana masyarakat lebih percaya pada narasi yang emosional daripada data yang rasional.
Dalam situasi ini, nalar publik menjadi rapuh, mudah dimanipulasi, dan kehilangan daya reflektifnya.
Ini adalah apa yang bisa disebut sebagai virus akal yaitu kerusakan sistem berpikir yang menyebar melalui media digital, menular dari satu individu ke individu lain, dan menginfeksi ruang publik dengan kebingungan dan kebencian.
Tantangan terbesar hari ini bukan hanya melawan kebohongan, tetapi membangun kembali kapasitas nalar publik.
Kita membutuhkan ekosistem pengetahuan yang sehat, yang tidak hanya menyajikan informasi, tetapi juga mengajarkan cara berpikir.
Pendidikan kritis, literasi digital, dan etika informasi harus menjadi agenda utama negara dan masyarakat sipil.
Tanpa itu, kita akan terus tenggelam dalam limbah informasi, dan nalar publik akan menjadi korban yang tak pernah diselamatkan.
Dalam dunia yang dibanjiri data, kemampuan untuk berpikir jernih adalah bentuk keberanian tertinggi. Meski kemampuan dan keberanian ini jarang dipilih oleh mereka yang diasuh keterbatasan membaca.
#coversongs: “Freethinkers” adalah album dari band punk-rock asal Spanyol, True Mountains, yang dirilis pada tahun 2015 melalui label Fragment Music dan Onp Crew.
Album ini memuat lagu-lagu dengan semangat perlawanan, kebebasan berpikir, dan kritik sosial yang kuat, termasuk lagu utama berjudul “Freethinkers.”
Lagu ini mengusung semangat anti konformitas dan kemandirian berpikir, menolak tunduk pada sistem yang menekan kebebasan individu.
ReO FIKSIWAN
Penulis dan Sastrawan Senior