Thursday, September 18, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaBrave Pink vs Hero Green, Warna Baru Perlawanan di Jalanan Indonesia

Brave Pink vs Hero Green, Warna Baru Perlawanan di Jalanan Indonesia

Ilustrasi. (Gambar: Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di balik lautan massa yang memenuhi jalanan kota, dua warna kini mencuri perhatian: brave pink dan hero green. Keduanya bukan sekadar nuansa visual, melainkan bahasa perlawanan baru yang sarat makna kultural, gender, hingga politis.

Diah Ariani Arimbi, guru besar Kajian Budaya dan Gender Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga menyebut warna sebagai “teks yang selalu berbicara dalam konteks. Ia menegaskan, warna mampu menjadi senjata simbolik yang menggerakkan emosi sekaligus legitimasi sebuah gerakan sosial.

Diah menuturkan, warna pink awalnya dilekatkan pada istilah pink job atau pekerjaan tradisional perempuan seperti guru, sekretaris, perawat, atau pekerja sosial. Posisi yang sering dianggap “kurang strategis” dibanding dominasi laki-laki di ranah pengambil keputusan.

Namun, makna itu kini bergeser tajam. Di tengah gelombang aksi sosial, pink justru tampil sebagai simbol keberanian. “Brave pink lahir dari apropriasi. Warna yang dulu dilekatkan pada kelemahan kini menjadi tanda resistensi, terutama lewat kehadiran para ibu dalam demonstrasi,” kata Diah beberapa waktu saat ditemui tim media ini.

Pink tak lagi, lanjutnya, sekadar feminim. Ia berubah menjadi wajah baru politik jalanan: lembut tapi tegas, penuh kasih namun berani melawan.

Hijau: Dari Alam ke Heroisme

Berbeda dengan pink yang banyak diasosiasikan dari Barat, hijau berakar kuat di tradisi lokal. Dalam folklor Jawa, hijau identik dengan kesuburan, kekuatan, dan mitologi laut selatan bersama figur Nyi Roro Kidul.

Kini, warna itu mengalami transformasi serupa. “Dalam konteks aksi sosial, hijau muncul sebagai hero green. Kehadiran para driver ojek online berseragam hijau, hingga tragedi salah satu pengemudi yang terlindas kendaraan taktis, memperkuat makna hijau sebagai simbol solidaritas rakyat kecil dan keberanian kolektif,” jelas Diah Arimbi.

Pakar Kajian Budaya dan Gender sekaligus guru besar FIB Unair, Diah Arimbi. (foto: dokumen pribadi)

Hijau tak lagi sekadar melambangkan alam. Ia menjelma simbol heroisme rakyat, perlawanan, sekaligus penyelamatan.

Menurut Diah, masyarakat saat ini hidup di era visual. Warna bekerja lebih cepat dan lebih universal daripada kata-kata. Fenomena Instagram “Add Yours” dengan nuansa brave pink dan hero green, serta tuntutan 17+8, menunjukkan bagaimana generasi digital native menjadikan ruang daring sebagai panggung politik alternatif.

“Fenomena ini merefleksikan lahirnya praktik baru demokrasi digital,” ujar Diah.

Bukan kali ini saja warna jadi bahasa gerakan. Kita pernah mengenal #IndonesiaGelap dengan resistance blue, hingga bendera One Piece yang sempat jadi simbol populer. Polanya sama: setiap perlawanan membutuhkan ikon visual yang mudah dikenali dan menggerakkan massa.

Namun, efektivitas simbol warna bergantung pada daya tahan publik merawatnya. “Jika publik konsisten, brave pink dan hero green bisa menjadi simbol abadi. Jika tidak, ia akan cepat tergantikan,” tegas Diah.

Ia menutup dengan refleksi tajam bahwa “Brave pink dan hero green membuktikan bahwa makna budaya selalu dinamis. Warna yang dulu lekat pada kelemahan, kini menjadi bahasa resistensi. Secara semiotik, warna tidak pernah sekadar warna, ia adalah komunikasi, politik, dan perlawanan.” (*)

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular