Setiap kali mendapat undangan berbicara soal literasi di sekolah, saya selalu mengajak siswa untuk membaca buku selama lima menit. Praktiknya sederhana yakni membaca buku secara nyaring bersama-sama. Karena itu, setiap kali hadir sebagai narasumber, saya meminta para siswa membawa buku bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi. Hasilnya? Ruangan penuh suara bising yang justru menyejukkan hati karena ratusan anak membaca dalam satu waktu.
Seperti kemarin di SMK Negeri 26 Jakarta (11/9/2025). Saat memberi workshop menulis resensi sebagai bagian dari pengembangan literasi sekolah, saya mengajak 400 siswa membaca buku yang mereka bawa. Saya pun duduk di tengah-tengah mereka, ikut membaca. Pemandangan itu indah sekaligus menggetarkan: membaca bukan teori, melainkan tindakan nyata. Membaca butuh keberanian, bukan sekadar slogan.
Baru setelah itu saya menyampaikan materi resensi. Dalam 15 menit, setiap siswa berhasil menulis ulasan dari buku masing-masing. Kumpulan karya mereka siap dipublikasikan di majalah dinding, situs sekolah, atau bahkan buku antologi. Publikasi tentu menjadi ranah sekolah, bukan lagi saya sebagai narasumber.
Apa pesan yang ingin saya sampaikan? Sederhana saja bahwasanya saya tidak ingin mengulang pola seminar atau workshop literasi yang hanya berisi ceramah. Literasi tidak boleh berhenti pada narasi indah, melainkan harus membuka jalan baru di tengah gelapnya kebingungan. Kita sering mendengar ajakan membaca buku, tetapi mengapa yang benar-benar membaca masih sedikit?
Di tengah masyarakat yang dibanjiri hoaks dan informasi kabur tanpa sumber jelas, pegiat literasi harus hadir sebagai penyuluh, bukan sekadar penyiar. Ia dituntut menghadirkan praktik nyata, gagasan kritis, dan arah yang jelas, bukan hanya mengulang suara mayoritas yang nyaman didengar. Jika tidak, literasi hanya akan jalan di tempat.
Literasi sejatinya adalah obor. Ia harus berani menyalakan cahaya, meski penuh risiko. Risiko tidak populer, tidak disukai, bahkan disingkirkan dari komunitas “mainstream”. Tanpa keberanian, ilmu hanya jadi hiasan di rak buku; literasi hanya jadi bahan diskusi di hotel-hotel, tanpa daya untuk membebaskan. Pegiat literasi harus berani mengguncang kebiasaan lama, mempertanyakan yang dianggap wajar, dan menolak kemapanan demi terus mencari cara baru menyuarakan buku.
Bagi saya, literasi tidak bisa dibesarkan dengan cara ikut-ikutan, apalagi dengan sikap eksklusif. Literasi sejati harus egaliter, memandang semua orang sama dan sederajat. Jangan sampai diskusinya berbicara inklusi, tapi praktiknya justru eksklusif. Tidak ada teori paling benar soal literasi, tidak ada pula orang paling “jago” literasi. Apalagi fakta menunjukkan: tingkat kegemaran membaca di Indonesia masih rendah, akses bacaan di pelosok pun masih terbatas. Maka literasi adalah proses, membaca adalah praktik. Itu saja.
Karena itu, titik penting literasi adalah keberanian, berani menempuh cara berbeda demi menjadikannya alat pencerahan. Literasi hadir bukan untuk mencari tepuk tangan, melainkan memastikan masyarakat tercerahkan, tidak lagi berjalan dalam gelap. Sebab jika obor literasi padam, yang tersisa hanyalah kegelapan panjang. Saat itu, yang berkuasa hanyalah manipulasi dari segelintir orang berkepentingan, sementara akar rumput kembali ditinggalkan.
Hati-hati, siapa pun bisa mengaku berada di jalan literasi, tapi pada saat yang sama bisa tumbuh tirani literasi yang leluasa.
Tugas literasi sejati adalah menyalakan obor dalam kegelapan, bukan sekadar meniru cahaya yang sudah ada.
Sebuah renungan yang semestinya kita cermati bersama. Salam literasi!
SYARIFUDIN YUNUS
Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka