
Di sebuah sudut kota Yogyakarta pada 2018, berdiri sebuah kedai kopi kecil bernama sederhana namun penuh janji, Janji Jiwa. Kedainya tak lebih besar dari sebuah garasi, dengan lampu temaram dan aroma kopi susu gula aren yang menggoda pejalan kaki. Di balik meja kasir yang sempit itu, tersimpan mimpi besar. Dengan modal hanya Rp 50 juta, sang pemilik berikhtiar sederhana: agar kopi lokal mendapat tempat di hati generasi muda. Tak ada yang menyangka, beberapa tahun kemudian Janji Jiwa menjelma menjadi jaringan kopi raksasa dengan lebih dari tiga ribu gerai di seluruh Indonesia dan valuasi mencapai Rp 5 triliun (Dailysocial, 2023). Kisah ini bukan sekadar cerita bisnis sukses, melainkan bukti bahwa mimpi kecil bisa tumbuh menjadi kekuatan ekonomi bila mendapat kesempatan dan ekosistem yang tepat.
Janji Jiwa hanyalah satu contoh dari ribuan UMKM kreatif di Indonesia. Di balik setiap gerobak batik di Pekalongan, rumah tenun di Sumba, atau studio desain kecil di Bandung, tersimpan potensi luar biasa. Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM, yang menyumbang lebih dari 61% Produk Domestik Bruto (Kemenkop UKM, 2023). Namun, meski jumlahnya besar dan perannya vital, hanya sedikit yang benar-benar mampu bersaing di level global. Bank Dunia (2022) mencatat, hanya sekitar 15% UMKM kreatif Indonesia yang berhasil menembus pasar internasional. Artinya, terdapat jurang lebar antara potensi dan realitas. Banyak pelaku usaha yang gigih berjuang, tetapi terhenti oleh sistem seperti keterbatasan modal, rendahnya literasi digital, hingga lemahnya perlindungan hak kekayaan intelektual.
Akses pembiayaan, misalnya, masih menjadi kendala klasik. Otoritas Jasa Keuangan (2023) melaporkan hanya 25 persen UMKM kreatif yang berhasil memperoleh kredit dari bank atau lembaga keuangan formal. Padahal, riset Bank Indonesia (2023) menunjukkan setiap Rp1 miliar pembiayaan bagi UMKM berpotensi menciptakan hingga 10 lapangan kerja baru. Namun kenyataan di lapangan tak semudah itu. Banyak pelaku UMKM harus menjual aset pribadi, meminjam dari pinjaman daring, atau berutang demi bertahan. Belum lagi ancaman penjiplakan karya akibat rendahnya kesadaran pendaftaran merek atau hak cipta. Direktorat Jenderal HKI (2023) mencatat sekitar 30% produk kreatif di Indonesia masih rentan terhadap pembajakan. Bayangkan betapa hancurnya perasaan seorang perajin ketika motif batiknya tiba-tiba beredar luas di pasar dengan harga lebih murah, tanpa mencantumkan namanya.
Tantangan digitalisasi juga tak kalah pelik. Meski kerap disebut semua serba daring, faktanya sekitar 60% pelaku UMKM kreatif masih sebatas menggunakan fitur dasar marketplace, sekadar mengunggah foto atau membalas pesan (Kemenparekraf, 2023). Mereka belum sampai memahami strategi pemasaran digital seperti SEO, iklan tertarget, atau analisis perilaku konsumen. Akibatnya, hampir 70% transaksi e-commerce di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (BPS, 2023), sementara UMKM di luar Jawa kesulitan menjangkau pasar karena terbatas infrastruktur dan literasi digital.
Namun, di tengah berbagai keterbatasan, selalu ada harapan. Produk berbasis budaya justru memiliki nilai jual jauh lebih tinggi. LPEM UI (2023) mencatat, produk budaya seperti batik, wayang, atau kerajinan tradisional bisa bernilai tiga hingga lima kali lipat dibanding produk biasa. Ini membuktikan bahwa budaya bukan beban, melainkan peluang. Terlebih, UNESCO telah mengakui 12 warisan budaya Indonesia sebagai warisan tak benda dunia (UNESCO, 2023). Yang dibutuhkan adalah kreativitas baru untuk mengemas tradisi agar menjadi tren.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerataan pendidikan digital yang sederhana dan manusiawi. Tidak semua pelaku UMKM harus menjadi ahli teknologi, tetapi mereka perlu memahami dasar-dasar dunia digital. Program pelatihan digital berbasis blended learning yang pernah dijalankan Kemendikbud (2023) terbukti menjanjikan dimana 65% peserta mengalami peningkatan signifikan dalam pemahaman teknologi hanya dalam tiga bulan. Bayangkan bila pelatihan ini bisa menjangkau desa-desa atau kelompok usaha perempuan di daerah.
Kedua, kebijakan fiskal harus lebih berpihak pada UMKM kreatif. Thailand, misalnya, memberi tax holiday bagi UMKM berorientasi ekspor, dan terbukti meningkatkan daya saing hingga 40% (LPEM UI, 2023). Skema KUR (Kredit Usaha Rakyat) dengan bunga di bawah 5% juga dapat menjadi penopang banyak usaha kecil, asal prosedurnya dipermudah dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Ketiga, perlu diciptakan ruang kolaborasi. Bandung dan Yogyakarta sudah memulai dengan membangun Creative Hub seperti ruang bersama tempat pelaku usaha, seniman, pemuda, dan investor bertemu, bertukar ide, dan berkolaborasi. Kadin Indonesia (2023) mencatat keberadaan Creative Hub mampu meningkatkan kolaborasi bisnis hingga 50%. Jika setiap provinsi memiliki ruang serupa, bukan mustahil akan lahir ratusan Janji Jiwa baru dari berbagai daerah, tidak hanya kota besar.
UMKM kreatif bukan sekadar penggerak ekonomi lokal. Mereka adalah penjaga budaya, pencipta lapangan kerja, sekaligus penanda jati diri bangsa. Setiap pertumbuhan satu persen di sektor ekonomi kreatif mampu menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja baru (Kemenparekraf, 2023). Dalam dunia yang semakin cepat, global, dan kompetitif, justru kekuatan yang paling lokal seperti ide-ide kecil, keringat pengrajin, keberanian anak muda membuka warung di gang sempit adalah yang kita butuhkan.
Pemerintah boleh bermimpi ekonomi kreatif Indonesia bernilai Rp 1.200 triliun pada 2045. Namun, mimpi itu hanya akan menjadi kenyataan bila kita bergerak bersama mulai dari pemangku kebijakan, pelatih usaha, peneliti, hingga konsumen yang memilih membeli produk lokal. Karena di tangan-tangan yang selama ini tak terlihat seperti penjahit rumahan, pembatik di serambi, hingga editor video di kamar kos, masa depan ekonomi Indonesia sedang tumbuh, perlahan, namun pasti.
ARIMBI KANIASIH PUTRI
Mahasiswa Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Unair



