
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Fenomena Rayyan Arkan Dhika, bocah penari Pacu Jalur asal Riau yang diangkat sebagai Duta Wisata Provinsi Riau, ramai menuai sorotan. Menanggapi hal itu, Bambang Suharto, Guru Besar Bidang Ilmu Industri Pariwisata dan Perhotelan Universitas Airlangga (Unair), mengingatkan bahwa penetapan duta wisata seharusnya tidak sekadar mengejar viralitas.
“Tradisi seperti Pacu Jalur itu luar biasa. Ini momentum untuk mengangkat kearifan lokal dari Sabang sampai Merauke. Tapi kita tidak cukup hanya mengejar viral. Yang kita perlukan adalah proses kaderisasi, pembekalan, pemahaman budaya, serta kemampuan komunikasi yang memadai,” ujarnya.
Menurutnya, viralitas memang bisa menjadi pemicu, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya alasan seseorang diangkat sebagai duta wisata. Sebab, tugas seorang duta jauh lebih besar daripada sekadar tampil di depan publik.
“Duta itu bukan simbol semata. Mereka harus mampu mempromosikan dan mengembangkan potensi pariwisata daerah secara konkret,” tegasnya.
Bambang menilai, pengangkatan duta wisata idealnya dilandasi sistem kaderisasi berjenjang yang jelas dan terukur. Ia mendorong pemerintah daerah untuk membangun ekosistem kelembagaan duta wisata, bukan berhenti pada satu sosok yang sedang viral.
“Dhika memang menarik. Tapi setelah ini, daerah harus melahirkan lebih banyak duta tematik di bidang seni, budaya, kuliner, hingga sport tourism. Bukan sekadar ‘duta dadakan’,” jelasnya.
Agar duta benar-benar menjadi representasi daerah, Bambang menyarankan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, disertai pelatihan dari para ahli.

“Dulu, saya pernah menjadi juri Putri Pariwisata Indonesia. Para finalis dibekali ilmu oleh para pakar seperti Rhenald Kasali. Pembekalan seperti itu penting agar duta mampu mempromosikan daerahnya dengan narasi yang benar dan menarik,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti aspek usia dalam pemilihan duta. “Boleh saja ada duta wisata usia dini seperti Dhika, tapi fungsinya harus jelas. Misalnya, untuk promosi wisata keluarga atau edukasi budaya bagi anak-anak. Tetap harus ada pembekalan, agar tidak hanya jadi ikon viral sesaat,” ujarnya.
Bambang pun menegaskan bahwa seorang duta wisata harus berperan sebagai promotor budaya, bukan sekadar simbol atau figur seremonial.
“Kalau semua potensi budaya kita dikemas secara profesional, dunia akan terperangah. Bukan hanya Pacu Jalur, tapi juga budaya Papua, Aceh, Labuan Bajo, semuanya punya potensi viral karena kekuatan identitasnya,” katanya.
Karena itu, ia mengingatkan agar duta wisata tidak menjadi sekadar perpanjangan tangan figur tertentu atau sekadar tren sesaat.
“Duta itu milik daerah. Mereka harus punya positioning pasar yang jelas, mampu mengemas pesan budaya, dan memahami perannya dalam ekosistem promosi pariwisata nasional,” tutupnya.(*)
Editor: Abdel Rafi