SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Cinta terhadap tim sepak bola bisa menyatukan jutaan orang. Namun ketika cinta itu meluap tanpa kendali, dampaknya bisa sangat merusak. Mulai dari hujatan di media sosial, konvoi brutal di jalanan, hingga tragedi kemanusiaan di stadion.
Fenomena ini menjadi perhatian serius akademisi Universitas Airlangga (Unair). Melalui riset multidisipliner yang melibatkan tiga program studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), para peneliti mengungkap bagaimana hyper nationalism, nasionalisme yang berlebihan, di kalangan suporter Indonesia berdampak pada perilaku destruktif, baik di dunia maya maupun nyata.
“Indonesia termasuk dalam 20 besar negara dengan basis penggemar sepak bola terbesar di dunia, bahkan nomor dua di Asia. Tapi semangat yang besar ini, kalau tidak dikelola dengan baik, bisa berubah menjadi sesuatu yang destruktif,” ujar Rizky Sugianto Putri, dosen Antropologi FISIP Unair sekaligus ketua tim peneliti dalam keterangannya, Senin (7/7/2025).
Dari Cyberbullying hingga Tragedi Stadion Kanjuruhan
Salah satu temuan penting dalam riset ini adalah maraknya cyberbullying setelah tim kesayangan kalah. Alih-alih menerima hasil pertandingan dengan sportivitas, sebagian suporter justru meluapkan kemarahan mereka dengan menyerang pemain, wasit, bahkan pendukung tim lawan di media sosial.
“Ini bukan hanya soal sportivitas yang hilang, tapi juga berisiko menimbulkan trauma psikologis yang berkepanjangan,” jelas Rizky.
Di dunia nyata, euforia kemenangan pun seringkali berubah jadi kekacauan. Konvoi liar, bentrok antar suporter, hingga insiden tragis seperti Tragedi Kanjuruhan di Malang yang merenggut lebih dari 130 nyawa menjadi bukti betapa tipisnya batas antara dukungan fanatik dan kehancuran massal.
“Tragedi itu menyisakan luka tak hanya bagi suporter, tetapi juga warga sekitar, pedagang kecil, dan keluarga korban. Ini bentuk kegagalan dalam mengelola semangat kolektif,” tegasnya.
Suporter sebagai Komunitas Raksasa
Riset ini dilakukan bersama para akademisi lintas bidang yaitu Citra Hennida (Ilmu Hubungan Internasional), Irfan Wahyudi, Ph.D. (Ilmu Komunikasi), serta tenaga kependidikan dan mahasiswa seperti Rachmad Kuncoro, Salma, Putra, dan Dani.
Lebih dari sekadar menyoroti sisi negatif, penelitian ini juga mengangkat potensi luar biasa komunitas suporter sebagai kekuatan sosial yang inklusif dan transformatif.
“Suporter sepak bola adalah komunitas raksasa yang bisa digerakkan untuk banyak hal, bahkan memiliki potensi mobilitas politik,” ujar Rizky.
Namun sayangnya, banyak stadion di Indonesia masih belum menjadi ruang aman. Anak-anak, perempuan, hingga lansia kerap merasa enggan datang karena suasana yang dianggap tidak ramah dan eksklusif bagi kelompok tertentu.
“Kita perlu mendorong stadion menjadi ruang publik yang inklusif dan berkelanjutan, sesuai dengan poin-poin Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin 10 dan 11,” tambahnya.
Rekomendasi untuk Masa Depan Sepakbola yang Lebih Sehat
Dari hasil penelitian ini, tim Unair berharap muncul kebijakan konkret dari pihak-pihak terkait seperti PSSI, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta pengelola klub.
“Ketika kita paham karakter dan pola perilaku suporter, pendekatannya pun bisa lebih tepat. Kita tidak ingin mematikan semangat mereka, tapi mengarahkannya agar tetap positif dan produktif,” tegas Rizky.
Sepak bola, katanya, seharusnya menjadi ruang yang menyatukan, bukan memecah belah. Menjadi tempat tumbuhnya kebanggaan, bukan dendam. Dan menjadi cermin kedewasaan berbangsa, bukan bara perpecahan.
“Cinta terhadap tim sepak bola itu wajar. Tapi kalau cinta itu sudah menyakiti orang lain, saatnya kita bertanya: masihkah itu cinta, atau sudah jadi bumerang?” pungkasnya.(*)
Editor: Tommy dan Rafel