
Malam tadi, suasana Masjidil Haram kembali menyimpan haru yang dalam. Jamaah haji asal Indonesia, khususnya dari Kloter 92 Nurul Hayat, melaksanakan thawaf wada sebagai penanda akhir perjalanan ibadah di Tanah Haram. Karena jumlahnya cukup besar, rombongan dibagi dua: kelompok pertama dipimpin oleh Ustadz Molik, dan kelompok kedua oleh Ustadz Heri.
Setelah thawaf selesai, seluruh jamaah menghadap Ka’bah, melantunkan doa terakhir. Sebelum doa pribadi, doa dipimpin oleh pembimbing. Tidak ada yang bisa menahan tangis. Isak haru, syukur, dan rindu bercampur menjadi satu dalam suasana yang terasa seperti majelis hidup, bukan majelis biasa. Semua memohon kepada Allah: semoga bisa diundang kembali, bersama keluarga, anak, dan cucu. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.
Tulisan ini adalah bagian dari rangkaian refleksi perjalanan haji, dan kali ini kita berada di ujung perjalanan: thawaf wada. Sebuah thawaf terakhir, tanda bahwa waktu di Tanah Haram sudah habis. Tapi seperti semua perpisahan yang Allah perintahkan, ada kebaikan besar di baliknya.
Seperti Hijrah Nabi: Dari Mekah ke Madinah
Thawaf wada adalah momen pamit. Dan seperti hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, perpisahan ini tidak berarti menjauh dari keberkahan, justru sebaliknya, menjadi awal kematangan iman.
Nabi SAW pun berat meninggalkan Mekah. Beliau lahir di sana, dibesarkan di sana, bahkan Ka’bah sebagai pusat tauhid ada di sana. Namun perintah hijrah bukan tentang perasaan pribadi. Ini tentang misi ilahi. Dan benar, di Madinah-lah Islam tumbuh menjadi peradaban.
Demikian pula kita, para tamu Allah. Saat thawaf wada, tubuh ingin tetap di sini. Tapi hati belajar. Perpisahan ini bukan kehilangan, tapi bekal untuk menebar cahaya di kampung halaman.
Seperti Ibrahim: Tinggalkan yang Dicintai Demi Taat
Thawaf wada juga mengingatkan pada perpisahan agung Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar dan Ismail. Di lembah gersang, Ibrahim diminta meninggalkan istri dan anaknya. Bukan karena tak cinta, tapi karena lebih cinta pada perintah Allah.
Apakah Ibrahim tahu hasilnya? Tidak. Tapi ia yakin, perintah Allah pasti untuk kebaikan.
Kini, kita yang ber-thawaf wada pun begitu. Kita meninggalkan Baitullah dengan berat hati, tapi kita bawa keyakinan: Allah tak akan meninggalkan kita. Bahkan, Dia sedang membuka fase baru hidup kita, seperti Hajar yang akhirnya menemukan zamzam dan keberkahan.
Dalam Bahasa Teknik: Seperti Saklar, Perjalanan Harus Ada Titik Putus
Dalam teknik elektro, arus tak akan terputus jika saklar tak dimatikan. Tapi justru karena ada titik “putus” itulah, kita bisa mengatur energi, mengontrol beban, dan menyusun ulang sirkuit.
Thawaf wada adalah saklar itu. Ia memutus rutinitas ibadah harian kita di Tanah Haram agar bisa disambung ulang di tanah air. Tapi jangan khawatir, ini bukan pemutusan permanen. Ini seperti “saklar pintar” yang tahu kapan harus ON dan OFF demi keberlanjutan energi yang lebih stabil. Bismillah, kita selalu berdoa, tuk diundang lagi oleh Allah ke tanah suci ini.
Dalam Ilmu Sosial: Perpisahan Itu Perlu Agar Tumbuh
Dalam relasi sosial, perpisahan itu tidak selalu buruk. Anak-anak perlu “berpisah” dari orang tuanya untuk dewasa. Murid perlu “lulus” dari sekolah untuk berkarya. Bahkan seseorang yang “dipecat” bisa jadi menemukan jalan baru yang lebih berkah.
Thawaf wada adalah momen sosial dan spiritual yang mengajarkan detachment. Kemampuan melepaskan bukan karena tidak cinta, tapi karena cinta yang lebih besar. Cinta pada tugas atau “jabatan” baru, pada misi baru, dan pada Allah yang tak pernah jauh.
Maka, Jangan Tangisi Thawaf Ini
Jika hari ini engkau thawaf wada, jangan hanya menangis karena akan berpisah. Tanyakanlah: apa yang kubawa pulang dari rumah Allah ini?
Apakah sekadar foto di depan Ka’bah? Atau nilai-nilai yang bisa ditanamkan di rumah, kantor, kampus, dan lingkungan sekitar?
Jika thawaf awal adalah tanda “datang dengan niat”, maka thawaf wada adalah “pulang dengan misi”.
Perpisahan ini bukanlah akhir. Ia adalah titik awal pengabdian. Seperti Nabi yang hijrah bukan untuk lari, tapi untuk membangun. Seperti Ibrahim yang meninggalkan bukan untuk menghindar atau berlepas dari amanah, tapi untuk “menyerah” pada-Nya.
Pulang Membawa Arah
Kita telah berputar mengelilingi Ka’bah, pusat arah. Maka pulanglah membawa arah. Jangan pulang kehilangan arah.
Biarlah thawaf wada menjadi pelajaran bahwa semua perpisahan yang diperintahkan Allah, adalah bentuk sayang-Nya. Agar kita tidak stagnan. Agar kita kembali ke masyarakat, menjadi cahaya dan rahmat, bukan hanya nostalgia.
“Kami pamit, tapi jangan cabut rindu kami.” Karena thawaf ini bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari misi yang harus dijalani. Bukan lagi di depan Ka’bah, melainkan di tengah masyarakat.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS dan jamaah haji 2025 kloter 92 Nurul Hayat



