
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Setelah puluhan tahun menanti kejelasan hak atas tanah, jutaan warga transmigran akhirnya mulai melihat harapan baru. Tumpang tindih status lahan antara kawasan transmigrasi dan kawasan hutan kini tengah diupayakan penyelesaiannya secara serius oleh pemerintah dan DPR RI.
Kementerian Transmigrasi dan Komisi V DPR menggelar Rapat Kerja (Raker) penting pada Senin (30/6/2025) kemarin di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta. Agenda tunggal rapat: “Pengelolaan dan Status Kawasan Transmigrasi yang Masuk Kawasan Hutan.”
Raker yang dipimpin Wakil Ketua Komisi V DPR, Ridwan Bae, itu dihadiri langsung oleh Menteri Transmigrasi M. Iftitah Sulaiman Suryanagara, Wakil Menteri Viva Yoga Mauladi, serta jajaran pejabat eselon Kementerian Transmigrasi.
Dalam pernyataannya kepada pers, Viva Yoga menyampaikan apresiasi atas kekompakan anggota Komisi V yang mendesak agar seluruh kawasan transmigrasi yang masuk dalam status kawasan hutan segera dikeluarkan dari status tersebut.
“Jika kawasan transmigrasi tidak lagi berstatus kawasan hutan, maka lahan yang sudah puluhan tahun dihuni warga bisa disertifikasi sebagai Hak Milik. Inilah bentuk keberpihakan nyata DPR kepada rakyat,” tegasnya.
Data Kementerian Transmigrasi mencatat, dari total Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seluas 3,1 juta hektare, terdapat 129.553 bidang tanah transmigrasi yang menjadi target Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun 17.655 bidang di antaranya (13,63%) masih masuk dalam kawasan hutan — tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan NTB.
Viva Yoga menegaskan bahwa DPR juga mendorong Kementerian untuk segera menyusun regulasi teknis yang lebih rinci terkait penyediaan tanah bagi transmigran sebagai bagian dari pembangunan untuk kepentingan umum.
“Komisi V juga meminta peningkatan koordinasi lintas kementerian, lembaga, pemerintah daerah, hingga masyarakat adat agar sinkronisasi data dan percepatan legalisasi tanah benar-benar terjadi,” jelasnya.
Ia mencontohkan keberhasilan pemberian SHM kepada transmigran lokal di Sukabumi sebagai model yang bisa direplikasi. “Para transmigran ini telah mengabdi dan mengelola lahan selama puluhan tahun. Mereka layak mendapatkan hak atas tanah mereka,” tegas Viva.
Lebih dari sekadar legalitas, pemberian SHM dinilai sebagai wujud penghargaan atas kontribusi transmigran terhadap pembangunan bangsa.
“Mereka telah mengubah kawasan kosong menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru dan sentra produksi pangan. Itu bukan jasa kecil. Itu pengabdian,” pungkasnya.(*)
(Ardi Winangun/Abdel Rafi)



