Wednesday, December 17, 2025
spot_img
HomeGagasanParadoksal Institusi Moralis Bernama Perguruan Tinggi

Paradoksal Institusi Moralis Bernama Perguruan Tinggi

Beberapa waktu yang lalu cukup ramai di media sosial perihal pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair). Pada 25 Oktober 2024 kemarin, BEM FISIP Unair mendapatkan surat elektronik dari pihak dekanat FISIP Unair yang menyatakan bahwa BEM FISIP Unair dibekukan. Pembekuan tersebut dikarenakan diksi dan kata-kata yang kasar dari BEM FISIP Unair pada karangan bunga yang dipasang di samping gedung FISIP Unair pada 22 Oktober 2024. Pada karangan bunga tersebut terdapat tulisan satir yang menyindir Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka atas pelantikan mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Nah, atas karangan bunga satir dan sarkas inilah BEM FISIP Unair dirasa tidak beretika oleh pimpinan dekanat FISIP Unair sehingga dinyatakan dibekukan.

Bagong Suyanto, Dekan FISIP Unair, kemudian menulis opini di Media Indonesia pada 29 Oktober 2024 kemarin dengan judul “Gerakan dan Idealisme Mahasiswa”. Pada opini tersebut, Bagong selaku akademisi sekaligus Dekan FISIP Unair menyampaikan bahwa menurut dia ada pergeseran gerakan kolektif mahasiswa dalam memperjuangkan idealisme. Beliau menyoroti bahwa mahasiswa sekarang ini tidak hanya berfokus pada mekanisme kontrol dan perjuangan turun ke jalan. Beliau juga menyoroti bahwa tidak sedikit juga sekarang ini mahasiswa yang enggan masuk dalam organisasi massa. Beliau juga menuliskan bahwa mahasiswa sekarang ini lebih punya kecenderungan untuk berjarak dengan aktivitas politik dan menyibukkan diri pada kegiatan keseharian yang berbasis hobi, seni, dan kepentingan sosial masing-masing. Oleh sebabnya, demonstrasi mahasiswa dikatakan cenderung menurun. Beliau menutup opininya tentang menulis, mahasiswa yang “seharusnya” menulis, dan rujukan dari Gramsci yang mencontohkan bagaimana tulisan dapat mengubah pemikiran manusia.

Pada sebuah artikel tanggapan di harian Disway tanggal 29 Oktober 2024, Ghulam Pasha Pambayung, Pemimpin Umum LPM Retorika FISIP Unair 2023, mengritik apa yang ditulis Bagong Suyanto di hari yang sama. Menurutnya ada pengaruh “McDonaldisasi Perguruan Tinggi” yang berperan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang kemudian bersekat dengan kehidupan politik, sebagaimana diterangkan lebih dulu oleh Heru Nugroho (2002). Mungkin istilah yang lebih popular adalah “liberalisasi pendidikan tinggi”. Jadi intinya, beberapa kalangan mahasiswa tidak sadar bahwa mereka mirip menu ayam goreng McDonald, “dipesan, diproses, dimakan”. Itulah industrialisasi pendidikan tinggi, mahasiswa diproduksi dalam jumlah yang banyak, menekan karyawan/pekerja (baca: pekerja kampus) yang membantu produksi, sang pemesan (baca: pemilik modal) tinggal menikmati komoditas manusia “terpelajar” itu. Konsekuensinya adalah sebuah massa dalam generasi yang industrialis, hidupnya terpola, dan sulit menemukan jati diri. Ghulam juga mempertanyakan “demokrasi sopan” yang diinginkan oleh Bagong Suyanto. Menurut Ghulam, kritik BEM FISIP Unair tidak relevan jika dibahas dalam koridor etiket (kesopanan). Bagaimana menempatkan kritik dalam koridor kesopanan jika selama ini yang lebih tidak sopan adalah pemerintah itu sendiri?

Satu lagi artikel terpisah yang ditulis oleh Alvin Halashon Sianipar, mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unair, pada media Koran Tempo yang menyayangkan peran minim kampus, baik dekanat, rektorat, maupun entitas struktural yang lebih berkuasa daripada struktur dibawahnya, dalam mengapresiasi, mendukung, dan melindungi kebebasan berekspresi. Menurutnya, dosen seringkali berkata bahwa mahasiswa bukan lagi anak kecil dan sudah dewasa. Asumsinya, jika sudah dewasa maka mahasiswa memiliki kesadaran yang tidak seperti anak kecil lagi. Namun, kesadaran yang dimiliki mahasiswa dan lalu dibentukkan dalam ekspresi berkata-kata maupun seni atau aksi lainnya malah seringkali tidak diapresiasi dan tidak didukung.

Nah, penulis mencoba menelaah pendapat ketiganya. Hemat penulis, pendapat Alvin adalah valid. Penulis pun kerap menemui paradoks perguruan tinggi di beberapa tempat, misalnya rektorat atau dekanat yang memajang prestasi mahasiswanya tapi susah memberikan dukungan pendanaan dan pendampingan saat mahasiswa mereka lomba; dosen bahasa, atau se-level profesor yang masih menggunakan diksi “absensi” untuk menghitung “kehadiran” mahasiswa; dekanat atau rektorat yang menginginkan tidak ada mahasiswa yang DO atau lulusnya lama tapi mempersulit syarat kelulusan; serta perkara paradoksal lainnya. Paling parah dari semuanya adalah pola pikir “likes & dislikes” oleh para dekanat, rektorat, atau dosen hanya karena subyektivitas terhadap seorang mahasiswa.

Pendapat Ghulam, menurut penulis sangat valid. Banyak yang lupa bahwa istilah “teror” berakar dari keserakahan Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette di Prancis yang melahirkan Revolusi Prancis. Bahkan kalau ditelaah lebih lanjut, teror lebih sering dilakukan oleh otoritas kenegaraan kepada masyarakat sipil ketimbang sebaliknya. Bukankah seperti itu Indonesia di zaman Soeharto, Filipina di zaman Ferdinand Marcos, atau negara Israel yang sekarang ini menyerang Palestina? Istilah popular “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” oleh Lord Acton sepertinya masih akan terus menemukan justifikasi empirisnya.

Bagaimana dengan pendapat Bagong Suyanto? Mohon maaf, tapi manakah yang lebih tidak sopan, mengangkangi aturan demi menaikkan anaknya menjadi Wakil Presiden, atau melabeli Gibran Rakabuming Raka sebagai anak haram konstitusi? Manakah yang lebih tidak beretiket, numpang jet pribadi orang karena relasi kuasa atau membuat karangan bunga berisi satir kepada yang berkuasa? Mana yang lebih beretika, berbagi kekuasaan dengan para oligarki atau berbagi penderitaan dengan masyarakat sipil? Kalau memang pemimpin negara ini tidak bisa menunjukkan etika dan etiket, bukankah akademisi dan ilmuwan-ilmuwan kampus moralis ini yang seharusnya “membekukan pemerintahan tanpa sopan santun”? Maaf, tapi pendapat Anda paradoksal, oleh sebabnya tidak valid.

 

PRAJA FIRDAUS NURYANANDA

Akademisi dan Pendiri Yayasan Abyakta Acitya Bhumi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular