JAKARTA – Menurut Korlantas Mabes Polri jumlah korban meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas (laka lantas) pada momen mudik lebaran tahun 2015 ini mencapai 628 orang, luka berat 1.028 orang, dan luka ringan 3.808 orang. Dengan korban masal seperti itu, sudah sangat pantas jika mudik lebaran tak ubahnya sebagai bencana nasional! Demikian disampaikan Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi di Jakarta, Minggu (26/7).
“Jadi sungguh aneh bin ajaib jika Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengklaim bahwa mudik Lebaran 2015 dinyatakan berhasil! Apakah menurunnya korban meninggal yang hanya 8% layak disebut berhasil?” kata Tulus dalam keterangan tertulisnya pada wartawan siang ini.
Oleh karena itu, YLKI mendesak Presiden Jokowi untuk memberikan respon konkrit terhadap korban masal mudik lebaran terutama korban meninggal dunia.
“Terhadap korban kecelakaan pesawat saja, yang jumlah korbannya lebih kecil, Presiden langsung menggelar jumpa pers, mengapa terhadap korban mudik lebaran yang korbannya jauh lebih besar , Presiden masih diam saja?” tanya Tulus dengan nada heran.
Tulus menambahkan, pemerintah wajib memperbaiki dan memperbanyak akses angkutan umum di sektor darat, khususnya perkeretaapian. Angkutan kereta api lebih efisien dan aman! Dirinya juga meminta pemerintah di daerah memperbaiki transportasi umum karena banyak dikeluhkan oleh konsumen pemudik sehingga mereka memakai sepeda motor dimana merupakan faktor tertinggi penyebab kecelakaan.
“Menurut data kami korban laka lantas lebih dari 75% adalah pengguna sepeda motor. Terutama sepeda motor dengan penumpang atau muatan berlebih (over capacity),” ujar Tulus.
Pihaknya meminta pemerintah meningkatkan angka santunan bagi korban meninggal dan luka berat, yang selama in hanya “dihargai” Rp 25 juta padahal di Malaysia saja bisa mencapai 3,1 miliar rupiah dan menemukan solusi konkrit lainnya guna meminimalisir korban laka lantas pada masa mendatang.
“Janganlah pemerintah hanya menjadikan tingginya korban masal selama mudik Lebaran hanya menjadi data statistik belaka, tanpa upaya serius untuk menguranginya hingga ke titik nol (zero accident),” pungkas Tulus.
(ta/bti)