
Surabaya, – Syarifuddin. Itulah nama lengkap ustadz muda asal Kebraon, Karangpilang ini. Sekilas tak ada yang istimewa dengan Syarif, begitu ia biasa dipanggil oleh santri dan jamaah masjid tempat ia mengabdikan dirinya pada dunia dakwah dan keumatan. Namun, setelah berdiskusi lebih dalam dengan pemuda kelahiran Gresik ini, nampak bahwa ia memiliki tidak hanya kecerdasan tinggi melainkan juga jiwa pengabdian terhadap masyarakat yang luar biasa.
Kota metropolis sebesar Surabaya dengan segala pernak-pernik kehidupannya yang telah ia tinggali sejak 14 tahun lalu itu pun menjadi bahan renungannya. Hal terpenting yang menjadi keresahannya adalah bagaimana anak-anak, remaja dan pemuda seusianya bahkan orang tua yang beragama Islam ternyata banyak yang tak memahami kitab sucinya, Al-Quran. Pemahaman masyarakat yang menjadi keresahannya terutama adalah hal paling mendasar bagi seorang pemeluk agama, kemampuan membaca yang minim kalau tidak mau dikatakan langka ada pada mereka.
Syarif, yang kini memiliki satu istri dengan empat orang anak-anak yang sholeh dan sholehah itu, mendedikasikan hidupnya sebagai pemuda Muslim untuk menjadi Pengasuh Kebraon Mengaji di Masjid tempat ia biasa sholat dekat rumahnya, Masjid Al-Muhajirin. Dengan ide besar yang merupakan resume gagasan dari tempat ia pernah menimba ilmu, Ponpes Tarbiyatut Tholabah Lamongan ia menjadikan Masjid Al-Muhajirin menjadi “Pesantren” bagi masyarakat Kebraon dan sekitarnya.

Masjid adalah Pesantren Masyarakat. Begitulah ide besar ustadz muda ini. Bukan sekedar ide. Ustad Syarif terjun langsung menjadi pengajar di Pesantren Subuh yang ada di Masjid Al-Muhajirin yang memiliki program TPQ dewasa, TPQ remaja, TPQ anak, Tahfidz Balita, Tahfidz remaja. Pesantren Subuh yang diasuhnya melakukan wisuda pertama pada Maret 2023 lalu dan mendapatkan apresiasi langsung dari Pangdam V/Brawijaya kala itu, Mayjen TNI Farid Makruf, M.A.
Ustadz yang merupakan alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya itu pun tak berhenti di sana. Kini, suami dari Diyah Aslamy Yamani itu juga aktif di Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kecamatan Karangpilang sebagai Kepala Departemen Pendidikan, IPTEK dan Kebudayaan serta aktif mengisi kajian dan pengajian di seantero Surabaya. Ia bercita-cita, masjid bisa menjadi rujukan dan tempat yang dicari oleh masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang tua dalam belajar agama dan mencari jawaban atas problematika kehidupan yang mereka hadapi.
“Saya ingin agar anak-anak dan remaja serta pemuda khususnya di Surabaya tak identik dengan kehidupan bebas yang jauh dari agama mereka sendiri. Tetapi mereka dan juga orang tuanya tak kesulitan mencari akses pendidikan dan pelajaran agama. Masjid harus mampu menjadi Pesantren bagi Masyarakat dan tempat mereka menemukan solusi atau jawaban atas permasalahan hidup mereka,” ujar Ustadz Syarif saat tim media ini menemuinya beberapa waktu lalu di kediamannya, Griya Kebraon Utara XI/AO-3.
Ustadz Syarif yang pernah menjadi Dai Griya Qur’an dan Imam serta Khatib Masjid Nasional di Timor Leste itu pun terus berinovasi agar masyarakat sekitar khususnya anak-anak serta remaja dan pemuda di lingkungannya, semakin cinta pada masjid. Karena itulah, pada Sabtu (27/7/2024) malam, ia dan DMI Karangpilang me-launching program “Kajian Rutin Remas Karangpilang Surabaya” yang dibuka langsung oleh Walikota Surabaya, Eri Cahyadi.

“Masjid ini menyediakan taklim agama untuk balita, anak anak, remaja, keluarga muda dan orang tua. Kami melihat kajian keIslaman di kalangan remaja usia SMP, SMA hingga mahasiswa hampir tidak ada. Apalagi yang berbasis masjid, sejak lulus TPQ mereka jauh dari masjid. Karena itulah kami launching kegiatan ini dan di Masjid Al-Muhajirin ini,” ujar pemuda yang pernah meraih prestasi sebagai Guru Teladan Griya Quran seluruh Indonesia pada media ini, Minggu (28/7/2024).
Ustadz Syarif memang bukan pendakwah dan “guru ngaji kampung” yang instan dan tiba-tiba seperti pada banyak pendakwah instan bermunculan saat ini di era media sosial. Pemuda kelahiran 16 Juli 1988 di Gresik itu telah berproses sejak kecil di lingkungan yang lekat dengan agama. Gresik adalah Kota Santri. Karena itulah, kedua orangtuanya menyekolahkan dirinya di MI Al-Hidayah di Desa Serah, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik. Seusai menamatkan pendidikan dasarnya di madrasah, kedua orangtua Syarif memondokkan putra tercintanya itu di Ponpes Tarbiyatut Tholabah Lamongan sehingga pendidikan menengah pertama dan atasnya dihabiskan di pondok pesantren tersebut.
Syarif pun melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang kala itu masih bernama IAIN Sunan Ampel. Pendidikan S1nya, Syarif mengambil jurusan Tafsir Hadis Kelas Internasional dan kemudian melanjutkan ke program pascasarjana Jurusan Ilmu Qur’an. Selama di kampusnya itulah beragam prestasi ia raih yang membuat kapasitas keilmuannya terus mumpuni dan kapabilitas dirinya semakin terasah. Syarif pernah Juara 3 Pidato Bahasa Arab se-Jawa Timur, lalu Juara 1 Lomba Terjemah Koran berbahasa Arab Al-Ahrom Pesantren Mahasiswa UINSA hingga menjadi Guru Teladan Griya Quran Seluruh Indonesia dan Peserta Terbaik Pelatihan Menejer Griya Quran seluruh Indonesia. Karena itulah, dirinya pernah dikirim ke luar negeri tepatnya Timor Leste untuk menjadi dai Griya Quran di sana termasuk menjadi Imam dan Khatib di Masjid Nasional Timor Leste.
Sejatinya, menjadi “guru ngaji kampung” yang lekat dengan Masjid dan “pesantren” di Kebraon Mengaji terlihat bukan hal baru baginya. Ustadz Syarif memang terlahir, besar dan hidup dengan Masjid dan Pesantren. Karena itulah, mengabdi pada dunia dakwah dan keumatan melalui Masjid dan “Pesantren” seperti jalan hidup dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT yang ia nikmati sepenuh hati tetapi tetap memiliki kualiti diri sehingga bisa fokus pada substansi bukan terjebak pada kontroversi apalagi sensasi.
“Belajar agama dasar, bahkan idealnya sampai level tinggipun tidak harus di Pesantren. Masjid harus bisa menyediakan fasilitasnya. Potensi masjid terlalu besar, jika hanya sebagai tempat sholat saja,” tegas Ustadz Syarif.
Awal mengawali program tentu tidak mudah, tapi Ustadz Syarif menegaskan sekali lagi bahwa tidak ada yang mudah. Semua butuh proses. Ketika mengawali dan respon belum terlalu bagus dan dirinya merasa down, dan hendak lari dari semuanya, ia merasa Allah SWT tidak meninggalkannya dan mengirim orang-orang baik yang menguatkan meskipun hanya lewat satu kalimat atau harapan atau bahkan bantuan.

“Pertolongan Allah SWT dan kehadiran orang-orang baik itu membuat saya malu untuk berhenti,” tukasnya sedikit flash back.
“Saya bercita-cita bahwa semua masjid kelak makin mampu menguatkan perannya di masyarakat khususnya anak muda dan remaja. Pun juga para Takmir Masjid mendapatkan pelatihan sehingga upaya penguatan peran Masjid sejalan dengan penguatan pengurus internal sehingga Masjid Peduli ataupun Masjid Pesantren Masyarakat kelak bukan hal langka tapi hal biasa dan bisa kita temui di hampir semua masjid dimanapun. Aamiin,” pungkas ayah dari Asma, Zakir, Shafiya dan Hana itu. (***)
Reporter: Abdel Rafi
Editor: Tommy
Foto: Istimewa