Thursday, April 25, 2024
HomePendidikanTingginya Angka Perceraian Di Ponorogo, Pakar: Faktor Finansial Yang Belum Stabil!

Tingginya Angka Perceraian Di Ponorogo, Pakar: Faktor Finansial Yang Belum Stabil!

ilustrasi. (foto: istimewa)

SURABAYA – Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mencatat sebanyak 1.982 sidang sengketa perkara perceraian sepanjang tahun 2022. Alasan terjadinya perceraian didominasi oleh faktor ekonomi dan faktor usia yang belum matang.

Pengamat sosiologi keluarga Siti Mas’udah mengatakan bahwa penyebab perceraian sangat kompleks.

“Namun, tingginya perceraian di Ponorogo yang terjadi disebabkan oleh finansial keluarga yang belum stabil,” ujarnya pada media ini, Selasa (18/1/2023) malam.

Menurutnya, melihat data dominasi pasangan muda yang bercerai, ia melihat belum ada kesiapan yang matang secara ekonomi dari pasangan muda tersebut. Karenanya, pernikahan dini bisa memutus akses untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

“Akibatnya, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak relatif cukup kecil,” imbuhnya.

Selain itu, menurut dosen FISIP Unair itu, usia yang relatif muda juga berpengaruh pada kesiapan mental yang masih labil dalam menghadapi masalah rumah tangga. Sehingga ketidaksiapan dan ketidakmampuan menyelesaikan masalah keluarga itu bisa memicu terjadinya perceraian.

“Pilihan menikah oleh pasangan muda bisa saja karena hanya luapan emosi sesaat, romantisme cinta. Wacana masyarakat daerah pedesaan juga menganggap bahwa pernikahan dianggap sebagai cara melanjutkan hidup dan menghindari perilaku menyimpang. Apalagi para wanita desa yang sudah memasuki usia matang dan belum menikah akan mendapatkan cap sebagai perawan tua,” terangnya.

Ia melanjutkan bahwa pernikahan menjadi salah satu pintu sakral dalam menjadi bagian kelompok sosial yaitu keluarga. Sehingga proses perceraian sebisa mungkin akan dihindari oleh kalangan masyarakat.

“Memasuki kehidupan modern saat ini, perempuan juga mendapatkan beban ganda sebagai pekerja dan mengurus rumah tangga. Berkembangnya kebudayaan materi juga membuat perempuan memiliki kuasa untuk memutuskan pilihan hidup,” paparnya.

Hal itu, menurut wanita yang kerap disapa Bu Uud itu memberikan perempuan kesempatan untuk melakukan gugatan cerai apabila sudah dirasa tidak bisa meneruskan bahtera rumah tangga yang dijalani. Dilihat dari kasus perceraian yang ada di Ponorogo menyebutkan bahwa laporan didominasi oleh gugatan cerai dari pihak istri.

“Bergesernya makna perceraian di masyarakat sekarang bukan dianggap tabu. Hal ini menunjukkan adanya perubahan sosial di masyarakat yang awalnya menganggap perceraian sebagai kegagalan dalam pernikahan namun juga bisa menjadi penyelesaian dalam konflik rumah tangga yang dialami,” jelasnya.

Oleh karena itu, menurutnya, pernikahan tidak hanya membutuhkan perasaan cinta saja. Karena pernikahan merupakan langkah untuk memasuki fase kehidupan baru bersama pasangan sehingga membutuhkan komitmen yang kuat dari kedua belah pihak.

“Menikah bukan selalu tentang cinta, tapi kemampuan untuk saling memahami, saling mengenali dan berkomitmen untuk hidup bersama. Menikah tidak selayaknya dijadikan solusi dari masalah, namun menikah adalah pondasi awal memasuki kehidupan dewasa,” tandasnya mengakhiri keterangannya.

(mar/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular