Bapak Mahfud MD yang saya hormati….
Saya makin kenal Bapak sejak diangkat sebagai Menteri Pertahanan di era Gus Dur. Sejak saat itu, meski Gus Dur dijatuhkan tidak menjadikan Gus Dur jatuh, termasuk orang yang dipromosikan oleh Gus Dur seperti Bapak juga tidak jatuh. Bapak justru makin moncer. Jabatan tertinggi Bapak sebelum pensiun, sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Bapak tentu tidak mengenal saya. Karena saya memang bukan siapa-siapa. Satu-satunya alasan saya memberanikan diri karena saya orang Madura, seetnis dengan Bapak. Orang Madura menyebut taretan dhibi’, saudara sendiri. Kalau Bapak lahir Sampang dan besar di Pamekasan, saya justru lahir dan besar di Sumenep yang orang luar bilang sebagai “Solonya Madura”. Oh ya Bapak, meski saya tidak kenal bapak, tapi alhamdullillah Sri Sultan Hamengku Buwono X merujuk buku saya Rahasia Perempuan Madura, ketika menulis tentang panjenengan di buku Sahabat Mahfud Bicara, walaupun yang dikutip sebenarnya tulisan pengantar Jamal D. Rahman..he..he..
Bapak Mahfud yang mulia, saya lanjutkan ya..
Sampai hari ini jagat media ramai oleh jurus “celurit” yang dimainkan panjenengan di acara Indonesia Lawyer Club (ILC). Secara terbuka di ILC, jenengan mengungkap pihak yang “menjegal” pencawapresan jenengan justru ketika diyakini sudah di genggaman. Jenengan mengerahkan “celuritnya” ke beberapa politisi partai dan pengurus teras Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Banyak orang (Madura) yang bilang bahwa Bapak bersuara kencang terhadap pihak yang dianggap “menjegalnya” sebagai cerminan dari falsafah orang Madura. Saya sebagai orang Madura (sebagaimana orang Madura lainnya) memahami betul bagaimana suasana batin Bapak ketika batal jadi cawapres, justru di detik-detik terakhir. Padahal di TV, Bapak sudah begitu optimis terpilih. Jika Bapak begitu emosional di ILC ya wajar, karena pembatalannya telah membuat “malo“, sebab menyangkut harga diri yang dijunjung tinggi dalam tradisi Madura.
Bagi orang Madura jika harga diri dijatuhkan pilihannya ango’ poteah tolang etembang pote mata. Inilah yang kemudian memicu carok. Atau dalam konteks Bapak, inilah yang memicu Bapak begitu tegas dan keras di ILC (setidaknya di media ada yang menulis begitu Bapak). Meski saya tegaskan, carok tidak hidup di kultur santri. Carok biasanya hidup di wilayah yang saya sebut saja “abu-abu”.
Apalagi Bapak juga mengalami “luka” lagi, narasi bahwa jenengan bukan kader NU tentu sulit Bapak terima. Dalam kearifan orang Madura bapak ibaratnya, sala e tapok, ekala’ odengnga (Sudah ditempeleng, blangkon diambil). Ini gambaran bagi orang sial dua kali. Nah, falsafah yang tertancap di alam bawah sadar ini oleh banyak orang dianggap mendorong Bapak demikian keras di ILC ketika menyinggung pengurus PBNU.
Saya sepakat pendekatan budaya Madura digunakan untuk membaca Bapak, terutama pernyataan Bapak di ILC. Tapi pendekatan ini jangan sampai menggeser bahwa arena yang sedang dimainkan Bapak adalah arena politik yang punya logika sendiri. Nah, istiqomahnya politik itu kan justru sikap berubahnya, yang oleh para politisi disebut sebagai dinamika. Sayangnya, sebelum waktu berakhir, Bapak sudah men-declaire bahwa Bapak adalah cawapres, dan sayangnya lagi di ‘last minutes‘, pencalonan Bapak justru dibatalkan.
Nah, jika isu Bapak dilokalisir di arena politik, maka pembatalan Bapak dianggap sebagai kasus biasa. Yang tidak biasa kemudian tafsirnya, bisa kita lihat lagi rekaman ulangnya, misalnya soal “memaksa” dan seterusnya. Lebih tidak biasa lagi adalah tafsir atas tafsir Bapak. Makin meluas dan liarlah pernyataan Bapak di ILC tersebut.
Dunia politik kalau meminjam kearifan Madura, dimaknai seperti nete e salambar obu’ (meniti di selembar rambut). Dibutuhkan kehati-hatian dalam melakoninya. Karena sifatnya yang tidak hitam-putih maka cenderung berubah-ubah. Penuh warna. Meski mungkin dari satu partai yang sama, ideologi sama, dan kultur sama pun kadang tetap penuh warna. Sebagaimana kearifan lokal Madura menyebut, tellor sapatarangan, bile teddas warna budu’na acem-macem (ayam yang mengerami telur di satu tempat eraman, warna anaknya ketika menetas bermacam-macam). Maaf, saya tidak bermaksud menceramahi Bapak.
Tetapi jika pandangan budaya atau kearifan Madura mau dipakai untuk membaca Bapak, ada kearifan yang justru menyentil Bapak. Bapak dalam kearifan lokal Madura disebut parcaje gallu’ (percaya tanpa reserve). Padahal kearifan lokal Madura juga mengingatkan, mon bhede barang manis ja’ laju ontal pola teppa’ ka racon, mon bhede barang pae’ ja’ laju palowa, mi’ teppa’ ka jamu (kalau ada makanan manis jangan langsung ditelan, siapa tahu adalah racun dan sebaliknya, yang pahit jangan langsung dimuntahkan siapa tahu adalah jamu).
Soal lain, menyangkut pernyataan Bapak berkaitan dengan NU. Saya paham yang dipersoalkan bapak adalah personal. Tapi coba sekarang lihat Bapak, pernyataan Bapak diolah sedemikian rupa untuk dihantamkan balik secara lebih keras kepada NU. Saya yakin (termasuk orang Madura) ikut menyayangkan Bapak bukan karena mereka sepakat sama pikiran Bapak atau seideologi menyangkut bangsa ini dengan Bapak. Tidak Bapak. Mereka sebagian adalah supporter kubu sebelah yang sering menggunakan isu SARA yang kemudian memanfaatkan nama Bapak.
Saya membayangkan seandainya soal “panas” menyangkut personal di tuhuh NU dilakukan dengan senyap dan tidak dibuka di ruang publik ceritanya akan lain. Toh, sebagimana kata sahabat saya kemarin, kalau pun Bapak mengungkap secara telanjang tak akan menambah kemuliaan Bapak?
Saya cinta Bapak, tapi saya juga cinta NU. Saya tentu lebih cinta NU, karena NU bukan sekedar personal. NU adalah ‘jalan hidup’ yang saya peroleh dari para guru, gurunya guru dan begitu seterusnya, termasuk Syaikhona Kholil Bangkalan. Nah, orang NU Madura memiliki tangung jawab yang lebih besar. Karena dari tanah Madura NU lahir.
Kearifan lokal Madura ada falsafah bapa’, babhu’, guru, rato, dimana guru ditempatkan sebagai sosok yang paling dimuliakan. Ini tidak berarti orang Madura berada dalam hegemoni berlapis-lapis, sebagaimana pernah dinyatakan oleh intelektual Madura, seolah orang Madura tidak akan maju. Terlalu naif, kemajuan seseorang diukur karena sikap ta’dzimnya kepada guru.
Apakah kemudian orang Madura tidak bisa berbeda dengan guru? Sangat bisa. Dalam tradisi Madura ada tradisi abhek-rembak (berembuk) yang biasa dilakukan, termasuk dalam lingkungan guru-murid. Tentu penyampaiannya tetap dengan cara andhap ashor. Bukan malah diumbar ke ruang publik.
NU adalah totalitas sistem dan struktur (termasuk orang/pengurus). Bagi saya NU secara kelembagaan adalah juga guru. Makanya anekdot orang Madura bilang, KH. Hasyim Asy’ari tetap yang memimpin NU, setelahnya cuma penggantinya (termasuk KMA dan KSAI). Makanya, pernyataan menyangkut NU (meski sekali lagi sasarannya misalnya person), ya tetap harus hati-hati karena soal ini akan mengimbas sama NU. Itulah kenapa soal panas (apalagi memang dikipasi supaya lebih panas) dilakukan dengan akompol sambi ngopi (kumpul-kumpul sambil minum kopi).
Pak Mahfud yang saya muliakan…
Terakhir saya mendorong agar Pak Mahfud tetap fight. Biarlah yang lalu, berlalu. Saya ingin sekali Pak Mahfud berembuk dengan NU , terkait “bagaimana bangsa ini” –di samping soal-soal yang selama ini diperjuangkan oleh Pak Mahfud seperti Pancasila dan NKRI final, korupsi, hukum yang berkeadilan– keluar dari belenggu sistem ekonomi l;iberal, pro pasar, pro pemodal dll. Kedaulatan soal ini tak bisa ditunda Bapak. Dan soal ini tak bisa juga dititipkan sama Capres-Cawapres, termasuk calon yang selalu ngomong kemiskinan, pada hal cawapresnya salah satu pemilik saham PT Bumi Suksesindo yang menambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi, yang oleh masyarakatnya justru ditolak.
Bapak, mohon maaf tulisan ini tidak ada maksud menambah kusut isu tentang Bapak. Mungkin amatan saya banyak salah, jadi maafkan saya. Aksi Bapak terhadap saran saya di akhir paragraf tulisan ini, saya tunggu.
Salam Taretan Dhibi’
ADZ
A. Dardiri Zubairi
Wakil Ketua PCNU Sumenep