Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanSpirit JHT Dalam UU SJSN

Spirit JHT Dalam UU SJSN

Spirit disebut juga roh atau jiwa yang ada dalam suatu tata kelola kehidupan. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan tata kelola kehidupan manusia untuk terjaminnya kesejahteraan sosial (social welfare) suatu masyarakat dalam suatu bangsa yang bernama negara.

Kesejahteraan sosial yang begitu luas spektrumnya, diklasifikasi dalam 2 dimensi yaitu dimensi Jaminan Sosial dan Bantuan Sosial dalam kerangka besar diatasnya yaitu Perlindungan sosial.

SJSN dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004, mengidentifikasikan 5 program Jaminan Sosial, yaitu Program Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jasminan Pensiun dan Jaminan Kematian.

Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ketentuan Umum poin 1 (UU 40/2004) berbunyi: “Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”.

Kelima program Jaminan Sosial dimaksud, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, yang bermakna sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Kebutuhan dasar hidupnya yang layak harus dijamin negara sepanjang siklus kehidupan warga masyarakat. Program Jaminan Kesehatan adalah bagi seluruh penduduk wajib menjadi peserta. Pada saat masuk lapangan kerja dalam usia produktif, juga harus mendapat jaminan sosial berupa perlindungan Kecelakaan Kerja dan kematian.

Jika sudah usia lansia (non prduktif), dan mengakhiri masa kerjanya, mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT) yang diberikan sekaligus sejumlah tabungan dari iuran yang dipotong setiap bulan dari upah/gaji pekerja beserta pengembangannya. Uang tersebut relatif besar jika masa kerjanya panjang, dan dana dalam tabungan JHT tidak diambil sampai usia pensiun.

Dana JHT yang diperoleh tentu dapat digunakan berbagai macam keperluan sesuai kebutuhan. Bisa bersifat produktif maupun konsumtif. Itu semua keputusan pekerja itu sendiri. Jika masih ingin melakukan usaha produktif, dana JHT dapat menjadi modal kerja yang jika dikelola dengan baik dapat meningkatkan produktivitas ekonomi keluarga.

Jaminan Pensiun, yang diberikan berkala setiap bulan dalam jumlah tertentu seumur hidup, tentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Biasanya masa pensiun sudah tidak ada tanggungan keluarga kecuali istri atau suami.

Roh atau jiwa yang saya uraikan diatas yang ingin diwujudkan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sepanjang semua skenario yang diatur dalam norma UU SJSN dipatuhi dan dilaksanakan dengan konsisten oleh pemerintah.

UU SJSN bersifat lex spesialis, tentu hanya mengatur secara khusus terkait 5 program dalam UU SJSN. Hal-hal lain diluar 5 program yang bertujuan untuk social welfare tentu diatur dalam UU lain, seperti UU tentang Ketenagakerjaan. Seperti Hak untuk mendapatkan pesangon jika di PHK, hak untuk mendapatkan Perlindungan kehilangan pekerjaan semasa produktif, dan skema banuan sosial dalam keadaan tertentu yang mengakibatkan pekerja kehilangan penghasilannya.

Skema program diluar kelima program SJSN, tetap menjadi tanggung jawab negara, dan secara simultan harus dilakukan melalui regulasi yang ada dimasing – masing kementerian sebagai sektor yang menangani para pekerja.

Jika negara hanya mengandalkan 5 program SJSN, tetapi tidak melaksanakan amanat social welfare dalam skema perlindungan sosial, disitulah persoalan hubungan masyarakat dan pekerja dengan negara (baca pemerintah) mengalami gesekan dan konflik yang sifatnya vertikal.

Prinsipnya UU SJSN tidak dapat menyelesaikan persoalan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan. Itu hanya sebagian, sebagian lagi harus ditangani kementerian terkait sesuai dengan UU tentang Ketenagakerjaan. Dan harus dilakukan secara simultan.

Pemerintah tidak boleh berasumsi, UU SJSN dapat menyelesaikan semua persoalan perlindungan sosial bagi pekerja, sedangkan kewajiban perlindungan sosial lainnya dalam keadaan tertentu (PHK, sulitnya lapangan pekerjaan) diabaikan.

Bahkan lebih tidak fair lagi, pemerintah mengambil sebagian dana jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan ( JKK dan JKM) digunakan untuk Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Kebijakan itu menabrak UU SJSN, karena DJS JKK dan JKM menurut UU SJSN digunakan sepenuhnya untuk manfaat sebesar-besarnya bagi peserta yang mengalami kecelakaan kerja atau kematian, supaya keluarga yang ditinggalkan dapat meneruskan kehidupan yang layak. Ingat! UU melarang penggunaan DJS diluar program yang telah ditetapkan dalam UU SJSN. itu harga mati.

Implikasi dari tidak komprehensifnya pemerintah menangani kesejahteran sosial pekerja, maka persoalan hubungan pemerintah dengan pekerja / buruh tidak pernah selesai. Melalui organisasi buruh yang dijamin UU, para buruh terus melakukan demonstrasi dijalanan menuntut hak normatifnya.

Persoalan ini juga tidak terlepas terkait dengan bargaining politik buruh yang lemah, tidak seperti di Jerman, dan negara eropah lainnya. Sehingga produk politik di parlemen, tidak seimbang antara kepentingan kapital/pemberi kerja, dengan pekerja. Cenderung kepentingan pekerja dikalahkan oleh parlemen. Hal tersebut terlihat dalam produk UU Ciptakerja (omnibus law) yang menyisakan persoalan hukum negara.

Tarik Ulur Dana JHT

Program JHT adalah program SJSN yang saat ini menghimpun Dana Jaminan Sosial (DJS) oleh BPJS Ketenagakerjaan yang cukup besar (Rp 400 triliun). Dana ini ditempatkan dalam pola investasi yang diamanatkan oleh UU yang secure, dan prudent. Sebagian besar DJS JHT digunakan untuk penyelenggaraan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah berkepentingan untuk dana JHT dapat digunakan pemerintah dalam jangka panjang. Hal itu boleh saja, karena memang dana JHT untuk kepentingan hari tua di usia pensiun. Jadi jangka panjang dan harus diinvestasikan supaya ada pengembangannya untuk kepentingan pekerja.

Perintah UU SJSN Pasal 37 ayat(1) menyebutkan; “Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap”.

Pasal 37 ayat (1) itu membatasi penggunaan dana JHT untuk tiga keadaan saja yakni pensiun, meninggal dunia dan mengalami cacat total tetap. Tidak ada kaitannya dengan pekerja yang di PHK.

Ketentuan JHT itu diatur lebih lanjut dalam PP 46/2015 terkait penyelenggaraan JHT. Pekerja tidak terima pada saat PP tersebut berlaku. Karena selama ini jika PHK , dana JHT menjadi bantalan menyambung nafas kehidupan mereka.

Kenapa jadi bantalan hidup? Karena pemerintah tidak dapat memaksa pemberi kerja untuk memberikan pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Juga tidak ada skema pengganti kehilangan pekerjaan dalam bentuk penyediaan dana sebagai bantalan hidup selama mereka belum mendapatkan pekerjaan.

Tidak dapat dihindari pekerja nekad mengadakan demo besar-besaran tahun 2015, pemerintah tertekan dan khawatir akan menimbulkan unjuk rasa yang meluas, maka dicabut PP 46/2015 dan diganti dengan PP 60/2015, yang memberikan wewenang kepada Menaker untuk menerbitkan Permenaker (Nomor 19/2015) yang membolehkan dana JHT dapat diambil dalam waktu 1 bulan sejak pekerja terkena PHK. Dan PP 60/2015 itu menabrak UU SJSN, tetapi ditempuh pemerintah, dari pada berhadapan dengan pekerja.

Penyimpangan regulasi yang dilakukan pemerintah ini juga membuat pemerintah tidak tenang dalam melaksanakan tugas kepemerintahan. Maka diaturlah strategi kebijakan baru dengan menumpang UU Cipta Kerja (omnibus law), menyelipkan dalam salah satu PP nya memunculkan Program Jaminan Kehilangan Pekerja.

Dalam JKP itu, bagi pekerja yang mengalami PHK akan mendapatkan sejumlah dana untuk kebutuhan hidup untuk 6 bulan. Sumber dananya dari mana? Sebagian dair APBN dari Sektor Kemenaker, dan sebagian lagi dari surplus DJS JKK, dan JKm. PP itu jelas melanggar UU SJSN. Karena dana JKK dan JKm tidak boleh digunakan selain kepentingan JKK dan JKm pekerja.

Pemerintah optimis, JKP akan dapat menjadi obat mujarab untuk tidak mengambil JHT jika terkena PHK. Diterbitkan Kepmenaker Nomor 2/2022, yang mencabut Kepmenaker No.19/2015. Intinya dana JHT hanya dapat diambil sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN. Saat yang sama diluncurkan program JKP.

Pekerja alias buruh tidak terima. Mereka mengancam akan melakukan unjuk rasa besar-besaran dan meluas diseluruh propinsi. Beberapa tokoh buruh datang ke istana Presiden bertemu dengan Presiden untuk mencabut Permenaker Nomor 2/2022. Presiden Jokowi menyerah dengan “tekanan” pekerja, dan lebih mengorbankan kebijakan Menaker.

Menaker akhirnya “menyerah” dan menerbitkan Permenaker Nomor 4/2022, yang isinya mencabut Kepmenaker Nomor 2/2022. Akhirnya pekerja diperbolehkan lagi mengambil dana JHT, sebulan sesudah terkena PHK.

Ada manfaatnya bagi pekerja demo kali ini. Yakni mendapatkan JKP untuk 6 bulan, walaupun sebagian sumber dananya milik pekerja.

Dana JHT Dua Akun

Sepertinya tidak habis-habisnya keinginan pemerintah untuk berniat menggunakan dana JHT yang saat ini jumlahnya Rp. 400 triliun. Walaupun penarikan dana JHT bagi PHK meningkat, tetapi penambahan premi JHT lebih besar. Sehingga dana JHT terus bertambah. Hal ini mungkin menyebabkan Menkeu dan anggota Baleg DPR tidak bisa “tidur nyenyak”, memikirkan bagaimana caranya Program JHT di blended dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).

Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas RUU P2SK, dengan menggunakan metode omnibus law. Salah satu UU yang disasar adalah UU SJSN yaitu terkait program JHT.

Pasal 185 RUU P2SK merevisi Pasal 36 UU SJSN dengan menempatkan iuran JHT pada dua akun, yaitu Akun Utama (AU) dan Akun Tambahan (AT), dengan ketentuan iuran JHT yang ditempatkan di AU harus lebih besar daripada iuran yang ditempatkan di AT.

RUU P2SK yang merevisi UU SJSN pasal 36 dan 38 tidaklah tepat. Sebab UU SJSN adalah bersifat Lex spesialis. Tidak bisa RUU P2SK begitu saja mengobok-ngobok UU SJSN. kalau ingin ada perubahan kebijakan negara, UU SJSN nya saja yang di revisi secara komprehensif.

Apalagi kalau kita cermati, dalam pasal 185 RUU P2SK, berpotensi untuk menyelamatkan kepentingan pemerintah dengan mendapatkan dana segar JHT dalam jangka panjang, tanpa diganggu dengan “kebisingan” pekerja.

Dimana kepentingan pemerintah soal akun ini? Dapat diduga bahwa AU dimaksud untuk menampung dana 3,7% yang berasal dari pemberi kerja, dan AT untuk menampung dana 2% yang berasal dari pekerja.

Jika pekerja di PHK, ingin ambil JHT ya ambilah dari yang 2% saja. Tentu jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan jika didapat dari 5,7% upah/gaji pekerja. Dugaan saya pekerja menolak. Kompensasi JKP saja, pekerja tidak mau JHT nya ditahan. Apalagi hanya diberikan dengan plafon 2% dari upah di AT.

Pasal 185 RUU P2SK akan memicu lagi “kemarahan” pekerja. Seolah Pemerintah dan DPR kehilangan inovasi untuk menyelesaikan persoalan JHT.

Demikian juga halnya, Pasal 185 RUU P2SK, yang mengubah Pasal 38 Ayat (1) UU SJSN, membatasi nilai upah sebagai basis perhitungan iuran JHT, justru akan menjadi masalah bagi pekerja mendapatkan manfaat JHT lebih besar lagi. Pembatasan itu mengesankan memberikan perlindungan kepada pemberi kerja yang kontribusi premi JHT lebih besar yaitu 3,7% dari upah/gaji pekerja.

Rekomendasi

Dengan landasan berpikir yang telah diuraikan diatas, dengan memotret kondisi objektif dikalangan pekerja yang memerlukan waktu untuk terbangunnya maturitas sesuai dengan amanat UU SJSN, maka untuk kepentingan yang lebih besar dan mengedepankan Keadilan Sosial dan Perlindungan Sosial bagi pekerja, direkomendasikan sebagai berikut:

  1. Mencabut Pasal 185 dari RUU P2SK, karena ada persoalan konflik kepentingan antara Pemerintah dengan pekerja, serta komplikasi hukum karena merubah Pasal-Pasal JHT dalam UU SJSN yang bersifat Lex spesialis.
  2. Jika Program JHT ingin diterapkan sesuai dengan UU SJSN, Pemerintah harus membuat skema Perlindungan Sosial bagi pekerja yang di PHK dengan kompensasi dana yang sepadan, merata dan sesuai dengan kebutuhan hidup yang layak, sampai dengan pekerja kembali masuk kedalam lapangan pekerjaan atau hidup secara mandiri.
  3. Mengupayakan agar pengusaha/pemberi kerja menghindari PHK, dengan berbagai insentif dan kemudahan dalam menjalankan usahanya. Sehingga dana JHT tetap terjaga, dan dapat digunakan untuk investasi jangka panjang.
  4. Program JHT bersifat tabungan wajib. Maka setiap pekerja mendapatkan personal account ( cukup satu akun), agar memudahkan pembukuan dan akuntabilitas pengelolaan dananya.
  5. Skema JHT dapat bersifat Top up bagi pekerja, dengan menambahkan persentase dari upah melebihi kewajibannya, agar pekerja mendapatkan dana JHT yang lebih besar pada saat hari tua (pensiun), meninggal dunia atau cacat total tepat.
  6. Terkait dengan poin 5, maka PP yang mengatur tentang JHT, dengan mengacu Pasal 38 UU SJSN ayat (1) “Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja”, dapat dibunyikan bahwa persentase tertentu itu untuk pekerja disebutkan “ sekurang-kurangnya 2% dari upah/gaji”. Dengan demikian pekerja dapat membayarkan premi JHT nya melebihi 2%, dan bisa ditambahkan secara periodik. Demikian juga kewajiban pemberi kerja sekurang-kurangnya 3,7% dari upah/gaji. Jika ingin menambahkannya juga memungknkan.

Dengan keenam rekomendasi itu, maka berbagai persoalan yang menyangkut hak-hak normatif pekerja dapat diselesaikan. Pemerintah akan mendapatkan dukungan pekerja dan pemberi kerja dalam melaksanakana berbagai kebijakan pembangunan yang mengedepankan Keadilan Sosial. Keadilan Sosial merupakan jembatan emas menuju Kesejahteraan Sosial masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam UU Dasar 1945.

 

Dr. Drs. Apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc

Ketua DJSN 2010-2015 dan Dosen FISIP UNAS

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular