Kota-kota di Jawa Timur tengah berdentum, bukan hanya oleh geliat industri atau riuhnya pasar demokrasi, melainkan oleh satu gejala budaya baru yakni sound horeg, ledakan suara dari pengeras dengan dentuman musik yang mengguncang ruang, tubuh, dan jiwa.
Di tengah sukacita pesta rakyat, terselip keresahan yang kian menguat. Apakah ini bagian dari ekspresi budaya, atau justru bentuk baru dari kegaduhan yang memekakkan nalar dan mengancam tatanan sosial?
Secara antropologis, sound horeg adalah cermin dari pergeseran nilai dalam praktik budaya populer. Dulu, pengeras suara berfungsi sebagai alat berbagi hikmah atau menandai syukur atas peristiwa penting. Kini, ia bertransformasi menjadi senjata adu gengsi. Bukan lagi siapa yang punya niat tulus merayakan, melainkan siapa yang punya daya beli lebih besar untuk menghentak bumi dengan 135 desibel suara.
Kesenian kehilangan rohnya. Kebersamaan tereduksi menjadi kompetisi volume. Bahkan menurut standar Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), intensitas suara di atas 85 dB sudah masuk zona bahaya. Maka apa yang kita hadapi hari ini bukan sekadar kebisingan, melainkan ancaman kesehatan publik.
Dilema Sosial: Antara Ekspresi dan Hak atas Ketenteraman
Masyarakat berada di tengah tarik menarik dua kutub ekstrem: satu sisi ingin bebas mengekspresikan kegembiraan dengan gegap gempita, di sisi lain ada hak dasar warga atas lingkungan yang tenang dan sehat.
Di titik inilah Fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 hadir, bukan sebagai larangan kaku, melainkan sebagai kompas moral. Fatwa ini tidak serta-merta mengharamkan sound horeg, melainkan mendorong penataan dengan mempertimbangkan nilai syariat, kemaslahatan, dan keadaban ruang publik.
Fatwa tersebut berdiri di atas dua prinsip fikih penting:
- Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kemanfaatan),
- La dharara wa la dhirar (tidak boleh saling membahayakan).
Dengan pendekatan ini, MUI mengingatkan bahwa suara yang terlalu keras bukan cuma mengganggu telinga, tapi bisa menyakiti hati, merusak bangunan, bahkan mengoyak harmoni sosial. Maka kegiatan yang menggunakan sound horeg untuk resepsi, hajatan, atau pengajian tetap mubah (baca: boleh), asal dilakukan dalam batas kewajaran dan steril dari kemungkaran.
Yang menarik, fatwa ini tidak berdiri sendiri. Ia selaras dengan Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Di sini jelas, kebebasan berekspresi tetap dijunjung, namun harus ditautkan dengan asas manfaat dan kerukunan.
Fatwa ini menjadi penterjemah dari ketegangan antara hak individu dan kepentingan kolektif, dari kebebasan dan ketertiban, dari ekspresi dan empati. Ia menjembatani ruang publik yang makin bising, agar tak menjadi arena konflik, tapi taman harmoni.
Dari Fatwa ke Aksi: Tugas Bersama Menata Suara
Tantangan ke depan bukan hanya berhenti pada ranah normatif. Kita butuh langkah konkret dan kolaboratif. Pemerintah daerah mesti menjabarkan fatwa ini ke dalam regulasi teknis yakni standar izin, waktu penggunaan, batas volume, hingga sanksi jika dilanggar.
Para tokoh agama harus hadir untuk menyampaikan pesan fatwa dengan kearifan dan kesejukan. Pelaku usaha hiburan dan EO perlu menyesuaikan diri dengan etika baru ini. Dan masyarakat, menjadi kontrol sosial sekaligus penjaga rasa, bahwa perayaan boleh meriah, asal tak melukai.
Kita tidak sedang memerangi suara, tetapi ingin mengembalikan maknanya. Suara adalah anugerah, alat berbagi sukacita, bukan senjata yang menyingkirkan yang lain. Kita ingin budaya tetap tumbuh, tapi bukan dalam kebisingan yang menelan akal sehat.
Fatwa ini bukan bentuk represi terhadap budaya. Ia adalah rem moral yang menghindarkan kita dari jurang egoisme sosial. Ia adalah upaya menyelaraskan tradisi dengan kehidupan modern, dengan semangat syariah yang menjaga jiwa (hifdzun nafs), ruang hidup (hifdzul bi’ah), dan harmoni sosial.
Maka jika kita ingin kebudayaan kita tetap hidup dan dihormati, jangan biarkan ia kehilangan adab. Karena sesungguhnya, yang paling nyaring tak selalu yang paling benar. Dan suara yang paling indah adalah yang mengandung hikmah, bukan yang sekadar menggelegar. Semoga.
ACHMAD MUZAKKY
Aktivis Budaya Nahdlatul Ulama