
SURABAYA– Polusi udara di kota-kota besar seperti DKI Jakarta hingga kini masih belum terselesaikan. Pemprov DKI Jakarta pun akhirnya mengambil langkah konkret berupa kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Terhitung sejak Senin (21/8/2023) lalu, kebijakan itu telah diterapkan pada 50% aparatur sipil negara (ASN) Jakarta.
Penerapan kebijakan itupun diklaim dapat menjadi langkah efektif untuk menangani masalah polusi udara di DKI Jakarta. Benarkah demikian?
Menurut Pakar Kesehatan Lingkungan Corie Indria Prasasti, sebelum menerapkan kebijakan penanganan polusi udara, pemerintah perlu mengetahui secara pasti sumber dan penyebab polusi udara di DKI Jakarta. Ia menilai, penting memastikan akar utama dari permasalahan sehingga kebijakan yang diterapkan juga dapat lebih optimal.
“Harus diketahui secara pasti sumber-sumber yang menyumbangkan peningkatan pencemaran udara di suatu wilayah. Apakah benar dari transportasi? Atau bisa jadi dari industri atau bahkan sumber lain dari luar wilayah tersebut,” papar Corie pada media ini.
Selain itu, pemerintah bersama pihak-pihak terkait harus mengetahui jenis-jenis polutan yang menghinggapi Jakarta seperti partikulat, gas, atau bentuk lainnya. Tak hanya jenisnya, kadar dan batas normal polutan juga sangat penting untuk diperhatikan.
“Harus diketahui pula jenis polutan apa yang sudah melebihi batas seharusnya, apakah yang berbentuk partikulat seperti PM 2.5 atau PM 10, gas seperti SOx, NOx, CO, atau justru dalam bentuk yang lain,” imbuhnya.
Pada dasarnya, lanjut Corie, polusi udara ini merupakan persoalan yang begitu kompleks. Untuk itu, mendeteksi akar permasalahan utama tentu akan lebih meringankan dalam melakukan mitigasinya.
Corie mengatakan bahwa apabila pemerintah telah benar-benar mengetahui akar dan sumber penyebab polusi udara, maka mengembalikan kualitas udara bersih di Jakarta bukanlah hal yang mustahil.
Terdapat dua kondisi khusus untuk menilai efektivitas kebijakan WFH yang diambil Pemprov DKI Jakarta. Menurut Corie, jika memang penyebab polusi udara di Jakarta adalah akibat sektor transportasi, maka keputusan WFH bagi para ASN akan sangat membantu dalam menurunkan polusi udara.
“Berdasarkan hal-hal utama tadi, maka ketika pencemaran udara di Jakarta memang sebabnya dari sektor transportasi, maka keputusan untuk menerapkan WFH bagi ASN akan sangat berdampak terhadap penurunan pencemaran udara,” tukasnya.
Namun, kondisi tidak efektif terjadi ketika sumber polusi yang sebenarnya bukanlah berasal dari sektor transportasi. Jika hal itu terjadi, kata Corie, pemerintah perlu menambahkan kebijakan lain yang tentunya menyesuaikan dengan pemicu utama polusi udara tersebut.
“Tetapi jika ternyata yang lebih dominan dari sumber lain di luar transportasi maka tentunya harus ditambahkan kebijakan lain yang dapat menekan pencemaran tersebut,” pungkas wanita yang juga dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga tersebut.
(pkip/mar/bti)