Pada saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK memberi janji tertulis khusus, dapat ditemukan pada dokumen di KPU dan juga lisan di forum kampanye. Orang tidak menepati janji, dosanya berlipat-lipat. Janji merupakan amanah, bahkan juga perintah Allah SWT termaktub dalam Al Quran. Janji tidak boleh main-main atau hanya sekedar pencitraan diri. Pada Junuari 2015 MUI mengeluarkan fatwa tentang kedudukan seorang pemimpin ingkar janji. Dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa boleh tidak menaati pemimpin diman memerintahkan sesuatu yang dilarang agama.
Pemimpin publik tidak melaksanakan janji kampanye berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali. Pemimpin publik melanggar sumpah dan atau tidak melakukan tugas harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembaga DPR dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masalahnya, hampir semua janji kampanye Jokowi tidak ditepati. Jokowi tidak layak menjadi pemimpin apalagi Presiden, karena tidak melaksanakan amanah, kewajiban, melalaikan janji kampanye.
Berdasarkan data dan fakta ingkar ini dan mengacu pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 dan juga fatwa MUI tentang ingkar janji pemimpin publik. Dari segi integritas Jokowi sangat tidak kompeten sebagai Presiden RI. Satu contoh ingkar janji Jokowi adalah mengenai Tol Laut.
Tindak lanjut janji ditemukan di dalam RPJMN 2015-2019, akan dikembangkan 24 pelabuhan, akan selesai di tahun 2019; 210 pelabuhan penyeberangan; pembangunan/penyelesaian 48 pelabuhan baru di tahun 2016, dan direncanakan total 270 pelabuhan selesai di tahun 2019; pembangunan kapal perintis 50 unit, 60 unit dan 104 unit; pengembangan 21 pelabuhan perikanan, direncanakan 22 unit di tahun 2016 dan 24 unit di tahun 2019.
Telah muncul kritik dari tokoh nasional sekelas Emil Salim dan Sultan Hamangkubuwono. Emil Salim mempertanyakan darimana dana untuk membiayai “Tol Laut” padahal Indonesia masih negara miskin. Selanjutnya tercatat suara kritis datang dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Menurut Sultan, gagasan Tol Laut Jokowi hampir sama dengan Tol Laut milik China. Bedanya Tol Laut dikembangkan China bertujuan melakukan ekspansi pasar produk mereka ke global, sementara Tol Laut Jokowi hanya untuk mempermudah distribusi dan perjalanan antar pulau di Indonesia. Dia pun memperingatkan jika jalur Tol Laut Indonesia nantinya berkolaborasi dengan China maka Indonesia hanya membuka pintu lebar bagi China untuk memasarkan produknya di Indonesia.
Direktur Indonesia Maritime Institute, Dr. Yulian Paonganan menegaskan, untuk dipahami, sejak zaman dahulu, perairan nusantara sudah menjadi poros maritim dunia, di mana kapal-kapal dagang dunia melintasinya. Ini artinya, konsep poros maritim didengungkan Jokowi menunjukkan ketidakpahaman atas substansi dan kondisi realistik geostrategis, geopolitik dan geoekonomi Indonesia. Selain masalah suplai kapal laut, Indonesia juga masih dihadapkan dengan ketersediaan pelabuhan dengan infrastruktur baik. Pasalnya, dari banyak pelabuhan ada di Indonesia, sebagian besar belum memiliki infrastruktur penunjang baik.
Di lain fihak, suara kritis juga datang dari Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (FAKSI) Petrus Selestinus (RMOL, 18 Maret 2015), bermula dari suara kritis tentang sembilan program dijanjikan Presiden Jokowi dalam Nawacita, dianggap belum satupun dilaksanakan. Bahkan, setiap program minim gebrakan. Baginya, Presiden Jokowi tidak sadar kalau pemerintahannya sudah melenceng jauh dari janji-janji yang pernah diumbarnya saat kampanye. “Sampai saat ini, tidak ada bunyi dan tidak kelihatan. Presiden Jokowi enggak nyadar itu. Enggak nyadar bahwa tidak terjadi apa-apa merupakan wujud janji-janjinya kepada masyarakat,” ujar Petrus.
Menurut Petrus, Jokowi tidak berkomitmen terhadap janjinya termuat sebagaimana termuat dalam Nawacita. Hal itu terlihat dari sejumlah kebijakan kontraproduktif dilakukan oleh Sang Presiden beserta jajaran kabinetnya. “Coba katakan, gagasan Tol Laut dijanjikannya mana? Gagasan akan membangun Indonesia dari pinggiran juga tidak ada. Janji kehadiran negara dan pemerintah dalam kehidupan masyarakat aman, demokratis adil, mana?
Selanjutnya, Darmaningtyas, Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) mempermasalahkan, sampai sekarang belum ada tanda-tanda mewujudkannya. Beberapa pihak seharusnya paham mengenai konsep Tol Laut tersebut sekarang ini bila ditanya mengenai perkembangan Tol Laut menjadi seperti glagapan (kebingungan), mengingat konsep maupun anggaran belum jelas. Salah satu masalah bagi Darmaningtyas adalah alokasi anggaran, baik untuk membangun atau mengembangkan pelabuhan, membeli kapal baru, serta subsidi operasionalnya. Hingga kini publik juga masih awam: berapa anggaran APBN dialokasikan untuk mewujudkan Tol Laut selama lima tahun? Menurut Darmaningtyas, mengenai anggaran ini memerlukan kepastian (komitmen) dan transparansi (pengelolaan) agar masyarakat dapat turut serta mengontrolnya. Jangan sampai anggaran besar tapi pemanfaatannya tidak efisien atau sebaliknya, justru tidak dianggarkan sama sekali pada APBN 2015 ini sehingga belum dapat dimulai prosesnya.
Terkait soal anggaran, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Firdausi Manti menyatakan (Beritasatu), untuk memenuhi Tol Laut, dibutuhkan belanja modal Rp 101,7 triliun untuk membeli kapal kontainer, kapal barang perintis, tanker, kargo hingga kapal rakyat. Namun, Firdausi mengakui, anggaran tersebut tidak bisa sepenuhnya dipenuhi pemerintah khususnya dari pengurangan subsidi BBM. “Belanja infrastruktur Tol Laut ini akan dipenuhi dari APBN, BUMN, dan swasta dalam bentuk kerja sama pemerintah swasta (KPS),” ujar Firdausi.
Pada tingkat kelompok, suara kritis datang antara lain dari mahasiswa. Belasan mahasiswa tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar aksi di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Senin (9/3). Pada aksi ini mahasiswa ingin membangunkan Jokowi dari tidurnya, karena banyak janji-janjinya belum direaliasikan untuk Aceh. Selain itu, mahasiswa juga meminta pada Jokowi dengan janjinya membangun Tol Laut dari Aceh sampai Papua. Menurut mereka sampai saat ini jangankan untuk memabangunnya, cikal bakal pun belum terlihat sama sekali. “Segera bangun tol dari Aceh hingga Papua sebagaimana pernah dijanjikan dulu,” tutupnya.
Jika dari 24 pelabuhan baru, dibangun setahun 6 pelabuhan , maka setahun Jokowi berkuasa setidaknya sudah terbangun 6 pelabuhan. Tapi, apa kenyataan, satu pelabuhan pun belum ada, tak usahkan konstruksi, perencanaan teknis saja belum ada. Masih jauh dan gelap, hanya janji belaka.
Muchtar Effendi Harahap
Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS)