JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Pengamat ekonomi Salamuddin Daeng melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan pemerintah dalam menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ia menyebut, banyak masyarakat terpaksa tinggal di kamar kontrakan sempit berukuran 2×3 meter bersama tiga hingga lima orang, demi sekadar bisa hidup dekat dengan tempat kerja.
“Bayangkan, tinggal bertiga di kamar 2,5×3 meter dan bayar sewa Rp2,5 juta per bulan. Ini nyata terjadi di daerah seperti Cikini, yang notabene jantung ibu kota,” ujar Salamuddin dalam keterangannya, Sabtu (7/6/2025).
Menurutnya, fakta tersebut menunjukkan betapa jauhnya realitas lapangan dari perdebatan elite soal rumah subsidi ukuran kecil yang disebut “kandang ayam”. Justru, kata Salamuddin, rumah mungil di lokasi strategis sangat dibutuhkan dan akan cepat terserap pasar.
“Kalau ada rumah 30 meter persegi di Cikini atau dekat Sarinah seharga Rp160 juta, pasti langsung diserbu pembeli. Sekarang, harga segitu jangankan beli rumah, beli tanah 10 meter pun tidak bisa di Jakarta,” jelasnya.
Namun solusi yang selama ini ditawarkan pemerintah, yakni membangun rumah susun atau apartemen, dinilai gagal menjawab kebutuhan masyarakat. Ia menyebut, banyak warga kota enggan tinggal di bangunan bertingkat karena merasa tidak aman.
“Buktinya, 75% apartemen dan rumah susun di Jakarta kosong. Masyarakat takut tinggal di ketinggian, takut gempa, takut kebakaran. Mereka merasa tinggal di apartemen itu seperti masuk peti mati,” tegasnya.
Salamuddin mendorong pemerintah berpikir lebih realistis. Ia menyarankan pembangunan rumah tapak berukuran kecil dengan harga terjangkau, kredit bersubsidi, dan cicilan ringan. Skema ini, menurutnya, lebih diminati oleh masyarakat kelas pekerja.
“Bangun rumah dua atau tiga lantai di atas tanah 20 meter persegi, dengan cicilan di bawah Rp1 juta, pasti laku keras. Jangan paksakan rakyat tinggal di apartemen yang tidak mereka percaya,” katanya.
Sebagai opsi lain, ia juga mengusulkan program transmigrasi sebagai solusi struktural.
“Kalau tidak bisa punya rumah di kota, ya buka peluang transmigrasi. Di daerah bisa punya rumah besar, pekarangan luas, dan sawah seribu meter. Sekalian hidup lebih manusiawi,” pungkasnya.
Salamuddin menegaskan, selama pemerintah tidak mau keluar dari pola pikir lama, krisis hunian rakyat kecil akan terus berlanjut.
“Sekarang tinggal pilih: bangun rumah yang benar, atau terus sediakan peti mati bernama apartemen kosong,” sindirnya tajam.(*)
Editor: Abdel Rafi