Di zaman modern seperti sekarang ini, kita sering membaca di media sosial, upaya orang-orang untuk menghadap-hadapkan antara sains atau IPTEK dan dogma atau agama. Mereka berkata bahwa dogma menghambat kemajuan sains, dan kemajuan sains mewajibkan meninggalkan dogma. Buku kalkulus dan ilmu penyakit dalam bikinan manusia lebih mulia dan berguna daripada kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kemajuan IPTEK dan kekuatan ideologi seharusnya tidak berlawanan. Sebagaimana untuk membangkitkan semangat pengorbanan tentara tidak bisa dengan Kalkulus, dan sebagaimana upaya membebaskan Palestina tidak bisa semata-mata dengan doa. IPTEK adalah alat, sementara ideologi adalah bahan bakar. Semakin baik sebuah alat, maka semakin baik pula pekerjaan yang dilakukan. Tapi tidak akan berfungsi alat sebaik apapun, apabila habis bahan bakarnya. Kemajuan IPTEK sebuah bangsa mempercepat perbaikan taraf hidup manusianya. Tapi apabila ideologi sebagai bahan bakarnya rusak, dioplos, atau memang tidak cocok; barangkali akan muncul asap beracun, kerusakan alat, yang pada akhirnya dalam balapan kemajuan bangsa, malah menguntungkan orang lain.
Kemajuan sains atau IPTEK tidak menjamin kesejahteraan manusia. Sains hanyalah alat; ibarat paku yang dapat digunakan untuk membangun atau malah menghancurkan. Contohnya kemajuan peradaban penjajah dibangun di atas tumpah darah rakyat jajahannya. Berapa juta nyawa melayang hanya karena satu bangsa lebih canggih daripada bangsa yang lain. Dan korbannya bukan hanya bangsa lain, bisa pula bangsa sendiri; misal menurut buku “Death by Government”, USSR era Stalin membunuh 62 juta bangsanya sendiri, PRC era Mao membunuh 35 juta bangsanya sendiri, dan Nazi Jerman.
Begitu pula ideologi atau akidah yang cacat, sangat berbahaya. Betapa banyak pengkhianat bangsa sebelum kemerdekaan Indonesia, karena tidak merasa senasib sepenanggungan dengan bangsanya. Salah satu kisah penghianatan paling populer adalah Yudas Iskariot yang meninggalkan “dogma agama” Yesus hanya demi tiga puluh keping perak. Di Indonesia, ada yang korupsi 300 triliun, ada yang memagar laut, ada menjual Indonesia; tidak perlu saling tunjuk, kita cukup tahu kejadiannya ada. Di negara maju pun, ada yang menjadi “Bos Perdagangan Manusia” kemudian ketika hendak membocorkan siapa klien beliau, dirinya dibunuh. Ada penguasa yang membebaskan anaknya dari jeratan hukum, ada pengusaha yang telah membunuh banyak bayi di dunia tapi hanya dihukum dengan denda, ada mereka yang telah dihukumi Peradilan Internasional melakukan Kejahatan Kemanusiaan, tapi tetap langgeng berlenggang.
Alat yang baik adalah alat yang mempermudah pekerjaan, sedangkan alat yang buruk tidak mempengaruhi pekerjaan atau malah menghambatnya. Sains atau IPTEK, pendapatan, infrastruktur serta fasilitas, mempercepat peningkatan kesejahteraan manusia. Data saintifik tentang kebahagiaan, kekayaan, dan kesejahteraan negara yang beredar; menilai kemajuan bangsa dari poin-poin tersebut dan yang berkaitan. Tapi data hanyalah apa yang dapat ditulis dengan angka, menilai dari apa-apa yang materialistik. Dan kelemahan sains modern yang materialistik, menurut ahli seperti Roger S. Jones dan David Chalmers, ada dalam bahasan Kesadaran (Consciousness). Maka data saintifik tidak dapat mengukur apa yang timbul dari kesadaran misalnya kebahagiaan, kekayaan hati, perasaan sejahtera. Tidak berguna data kebahagiaan, kekayaan, dan kesejahteraan suatu negeri; jika masyarakatnya sendiri tidak menemukan kebahagiaan, kekayaan hati, dan perasaan sejahtera. Seorang pengamat mungkin memuji-muji kemajuan Tiongkok sambil minum kopi buatan istri di siang bolong, sementara di waktu yang sama orang-orang Tiongkok harus bekerja sehari 12 jam di seberang kota.
Memang tidak dapat dibantah bahwa sains atau IPTEK, pendapatan, infrastruktur serta fasilitas dapat menjadi bekal kesejahteraan manusia. Peningkatan sains atau IPTEK, pendapatan, infrastruktur serta fasilitas adalah ibarat ban, badan, rangka, transmisi dan setir dalam balapan kemajuan bangsa. Kita harus yakin bahwa kita punya mesin (otak) yang bersaing, kita punya bahan mentah (sumber daya alam) yang bersaing pula, serta kemauan dan kemampuan untuk belajar dan bahkan menjiplak cara-cara sukses bangsa lain. Amerika Serikat yang dulu memimpin ekonomi dunia sejak perang dunia kedua, telah disusul Tiongkok. Kalau kita amati sebab kemajuan ekonomi Tiongkok, ia dimulai pada 1979 ketika Tiongkok memurnikan bahan bakar (ideologi), mengejawantahkannya dalam peraturan, dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bisa kita tiru.
Sebagaimana Tiongkok dapat menyusul Amerika Serikat yang alatnya (IPTEK) lebih baik, kita seharusnya juga dapat menyusul mereka. Jika alat dapat ditiru, berarti kuncinya dalam balapan kemajuan bangsa ini adalah bahan bakar. Sebagaimana Amerika Serikat dan Tiongkok adalah Ferrari dan Lamborghini yang diberi bahan bakar Pertamax oplosan, keunggulan kita selain Mobil Esemka adalah bahan bakar ideologi yang lebih superior. Jangan berhati lemah dalam mengejar mereka, jika kita kehabisan bahan bakar maka mereka pun kehabisan bahan bakar, sedang kita masih dapat mengharapkan bahan bakar kita lebih awet dan lebih bagus daripada bahan bakar mereka.
Bahan bakar, ideologi yang baik adalah ia yang dimurnikan, tanpa cemaran, yang cocok dengan pribadi bangsa. Para Bapak Bangsa telah merangkumnya dalam Pancasila. Tapi sebagaimana dalam minyak mentah ada yang merupakan bahan bakar, dan ada yang bukan bahan bakar; apakah Pancasila itu seluruhnya bahan bakar, atau hanya beberapa daripadanya yang merupakan bahan bakar? Apakah bahan bakar Bangsa Indonesia itu ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? ” Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”? “Persatuan Indonesia”? “Kemanusiaan yang adil dan beradab”? atau “Ketuhanan yang Maha Esa”? Ideologi mana yang perlu dimurnikan, diejawantahkan, dan diterapkan sehingga melejit kemajuan bangsa? Penulis serahkan kesimpulannya pada pembaca!
HAFIDZ ZULKARNAEN
Dokter Hewan, Alumnus Universitas Airlangga