Saya menyayangkan sekali Jokowi telah mengecer murah pengertian Revolusi Mental menjadi hanya sekedar jargon politik gagah-gagahan. Padahal bangsa ini akan dan sedang sangat membutuhkan term tersebut. Jangankan mampu menurunkan definisi aksiologis dan sistem operasi dari Revolusi Mental dalam program pemerintah, bahkan bangunan ontologi dan epistema dari Revolusi Mental Jokowi pun mengambang tidak jelas.
Jokowi sendiri bahkan jelma dari produk anomali revolusi mental. Korupsi imajinasi publik oleh rekayasa citra media yang lalu melahirkan Jokowi sebagai pemimpin adalah bentuk nyata dari sakitnya mentalitas bangsa. Bangsa kita kehilangan akal sehat, lebih gandrung dengan yang maya dibandingkan yang asli dan nyata. Sakit mental kronis ini memang harus direvolusi. Untuk merevolusi maka kita harus memahami anatomi masalah mentalitas bangsa.
Mentalitas terkait dengan watak batin, mindset, dunia dalam dan cara pandang dunia yang tercermin dalam karakter kolektif kepribadian sebuah bangsa. Karakter kolektif ini terbentuk oleh endapan kesadaran massa atas bangun kultur yang terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang. Untuk itulah dibutuhkan revolusi untuk merubahnya. Revolusi adalah perubahan yang radikal dalam operasi cepat selesai ditengah perang tahan lama.
Untuk itu mari kita pecahkan anatomi masalah kulturalis yang telah lama menjadi penyakit yang mengidap tiap individu bangsa. Pertama, Bangsa kita selalu mengukur seseorang dengan ukuran sopan santun. Orang yang sopan disebut baik dan orang yang tidak sopan pasti tidak baik. Untuk itu tidak penting ide, isi dan substansi karena yang penting adalah sopan. Ide orang sopan pasti baik dan apapun ide orang yang tidak sopan dianggap tidak baik. Masyarakat kita sudah lama mengidap penyakit ini sehingga dalam memilih pemimpin, dia akan lebih memilih rupa daripada isi. Calon yang limbungpun akan dipilih yang penting terlihat kalem. Padahal dalam ilmu komunikasi, orang yang santun ini justru berbahaya. Orang Sumbawa menyebutnya dengan istilah ngenam bodok (seperti kucing yang kalem sebagai prakondisi akan menerkam). Secara sosiologis ini adalah penyakit masyarakat agraris yang hidup over value dalam hubungan patron klien dan anti egaliter.
Kedua, Kritik dianggap sebagai hinaan. Ini adalah jelma dari jiwa yang terlalu sentimentil, memandang sesuatu selalu dengan rasa sehingga kritik ditanggapi secara personal. Siapapun yang berani mengkritik sebuah sistem kerja maka bersiap untuk mendapat serangan balik berupa evaluasi terhadap perilaku. Sesuatu yang sangat tidak nyambung. Namun itulah karena sekali lagi kritik dianggap tidak sopan, sehingga dia tidak melihat substansi dari kritik, yang dia lihat adalah bahwa dirinya sebagai pribadi sedang dikritik, itulah kenapa kritik berakibat personal. Siapapun yang berani mengkritik maka bersiaplah perilaku, keperibadian dan moralnya yang akan di-challenge balik.
Ketiga, umur dan gelar menjadi standar komunikasi. Orang Indonesia paling sering mengawali pembicaraan dengan berapa umurmu, kamu lahir tahun berapa, kuliah dimana dan jurusan apa. Sesuatu yang tabu di Barat bertanya tentang usia. Dalam psikologi, orang yang memasang standar komunikasi berdasarkan ukuran usia dan gelar pasti bermasalah dengan self esteem-nya. Self esteem adalah cara pandang dan pengakuan seseorang terhadap dirinya sendiri dihadapan lingkungan. Pertanyaan berapa usia dan atau sarjana apa ini biasanya muncul diawal dan atau disaat seseorang kalah argumentasi dalam sebuah perdebatan.
Eksistensi menjadi pertaruhan mencari pengakuan. Kata kata “aku ini sarjana hukum lho” adalah escape way untuk mempertahankan eksistensi diri disaat tidak lagi memiliki argumentasi. Orang yang tidak kuliah hukum haram berbicara tentang hukum dan tak perlu didengar meski memiliki argumentasi yang kuat. Bisa pula jika seseorang sudah diketahui tahun lahirnya maka apapun kualitas argumentasi seseorang akan dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai anak kecil yang tidak sopan banyak bicara. Orang Indonesia selalu bertanya tentang umur seseorang untuk membuat standar komunikasi dan menempatkan seseorang setara, di atas atau dibawah dengan dirinya. Untuk itu jangan pernah beritahukan umurmu pada seseorang, karena jika kamu lebih muda darinya, maka nilaimu sampai kapanpun akan dipandang rendah. Jika umurmu di bawah maka dia akan hegemonik menggunakan kuasa kata yang disasarkan atas legitimasi usia. Di indonesia anak muda yang pintar dan banyak bicara masih belum mendapatkan tempat karena dianggap tidak sopan. Ini bukan hanya penyakit kulturalis namun lebih dari itu, ini adalah sindrom strukturalis yang menempatkan seseorang berdasarkan strata tua-muda atau junior-senior.
Demikianlah penyakit kulturalis kita sebagai bangsa yang harus segera direvolusi. Ini adalah mentalitet inlander namun juga hegemonik dan invansif bagi orang yang dianggap rendah. Menyadari penyakit inilah yang membuat banyak penyamun menjelma menjadi pemimpin. Masyarakat bangsa pun akan terus hanyut dalam memandang image sebagai sesuatu yang penting. Orang akan disibukkan dengan hal-hal yang bersifat permukaan semata daripada hal substantif. Jiwa-jiwa feodal, irasional dan sentimentil ini harus segera dibumihanguskan dari peradaban jiwa bangsa Indonesia. Untuk itu revolusi mental hanyalah bisa dilakukan mulai dari diri sendiri dengan mengubah cara pandang dunia kita masing-masing terhadap orang lain dan lingkungan. Unzur ma qola wala tanzur man qola, lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan lihat siapa yang berbicara.
POETRA ADI SOERJO
Peneliti Institut Paham Indonesia