Saturday, May 24, 2025
spot_img
HomeGagasanReformasi Mei 1998: Antara Mimpi dan Kenyataan

Reformasi Mei 1998: Antara Mimpi dan Kenyataan

Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak gerakan mahasiswa dan rakyat menyatu dalam gelombang perubahan yang mengguncang fondasi kekuasaan Orde Baru. Lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998 menjadi penanda lahirnya era Reformasi -sebuah titik balik sejarah yang membawa harapan besar bagi demokrasi, keadilan, dan kehidupan bernegara yang lebih bermartabat.

Namun setelah lebih dari seperempat abad, pertanyaan fundamental tak bisa lagi ditunda: apakah Reformasi telah berhasil mewujudkan cita-citanya?

Reformasi bukan sekadar pergantian rezim. Ia hadir dengan mimpi besar: menghapus otoritarianisme, memberantas korupsi, menegakkan hukum dan HAM, mewujudkan keadilan sosial, dan membebaskan masyarakat dari ketakutan struktural. Lima tuntutan utama yang diusung kala itu -mulai dari pengunduran diri Soeharto hingga penghentian Dwi Fungsi ABRI -adalah refleksi dari kesadaran kolektif akan perlunya perubahan sistemik.

Gerakan itu tumbuh dari krisis ekonomi 1997-1998 dan stagnasi politik yang akut. Dalam perspektif Charles Tilly, ini adalah momentum contentious politics –saat ruang demokrasi tertutup dan konfrontasi menjadi satu-satunya saluran artikulasi kehendak rakyat.

Setelah Reformasi, pintu demokrasi memang terbuka. Pemilu bebas kembali digelar, partai politik menjamur, dan kebebasan pers tumbuh. Namun, ruang yang terbuka itu lebih banyak diisi oleh elite lama dengan wajah baru. Demokrasi yang hadir lebih menyerupai demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif yang mengakar dalam keadilan sosial dan partisipasi bermakna.

Dalam kerangka yang dikemukakan Larry Diamond, Indonesia masih berada dalam tahapan electoral democracy –di mana demokrasi berhenti pada praktik pemilihan, namun belum menjelma menjadi sistem yang menjamin kesejahteraan dan keadilan.

Sayangnya, tidak semua elemen gerakan rakyat siap menghadapi transisi ini. Bukannya membentuk institusi tandingan atau kekuatan alternatif, banyak aktivis justru larut dalam euforia sistem yang sebelumnya mereka lawan. Alih-alih merancang strategi jangka panjang, banyak energi terkuras untuk mempertahankan idealisme moral tanpa kejelasan arah.

Antonio Gramsci menyebut kegagalan semacam ini sebagai kegagalan membangun hegemoni kultural -ketika kekuatan baru gagal menciptakan wacana dan struktur alternatif yang mampu menyaingi status quo.

Apakah kehidupan rakyat hari ini lebih baik? Secara statistik, memang terjadi penurunan angka kemiskinan. Namun, ketimpangan masih nyata. Gini Ratio Indonesia per Maret 2024 berada di angka 0,379 -dengan ketimpangan lebih tajam di perkotaan (0,399). Dunia kerja masih didominasi sektor informal dan upah rendah.

Artinya, keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan para reformis masih jauh dari terwujud. Peningkatan akses tidak selalu berarti peningkatan kualitas hidup, terlebih jika sistem ekonomi tetap berpihak pada kelompok yang sudah mapan.

Korupsi tetap menjadi paradoks Reformasi. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia Corruption Watch mencatat ribuan kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai lebih dari seribu triliun rupiah. Indeks Persepsi Korupsi stagnan, sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dahulu menjadi simbol harapan, kini justru dilemahkan.

Kondisi ini menandai kemunduran serius. Harapan pemberantasan korupsi yang sistemik kini terganjal oleh kepentingan politik dan pembusukan institusional. Di sini kita menyaksikan ironi: gerakan yang dahulu menyerukan transparansi kini harus berhadapan dengan realitas kekuasaan yang mengaburkan batas antara idealisme dan pragmatisme.

Salah satu gejala menarik adalah transformasi sejumlah aktivis menjadi bagian dari elite politik. Tidak sedikit yang memanfaatkan rekam jejak sebagai aktivis sebagai modal legitimasi, namun terjebak dalam kultur kekuasaan yang justru pernah mereka kritik.

Fenomena ini menggambarkan proses co-optation, seperti dijelaskan Frances Fox Piven -di mana gerakan rakyat diserap ke dalam sistem hingga kehilangan daya kritisnya. Dalam situasi ini, demokrasi menjelma menjadi arena eksklusif yang dikuasai segelintir elite dalam apa yang disebut Jeffrey Winters sebagai oligarki elektoral.

Militerisme yang dahulu dilawan kini kembali hadir, meski lewat jalur berbeda. Keterlibatan militer dalam program-program sipil dan isu keamanan domestik menunjukkan kecenderungan military embeddedness –ketika peran militer meluas ke ranah sipil dan menciptakan ambiguitas dalam relasi sipil-militer.

Undang-undang TNI membuka ruang bagi peran militer di luar fungsi pertahanan. Ini perlu menjadi perhatian serius dalam menjaga kemurnian prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Pertanyaan besar yang perlu direnungkan adalah: mengapa tidak lahir kekuatan politik alternatif dari gerakan rakyat pasca Reformasi? Mengapa buruh, petani, dan mahasiswa tidak mampu membentuk institusi tandingan yang kuat?

Jawabannya tidak sederhana. Regulasi politik yang berat, sistem elektoral yang mahal, serta fragmentasi internal gerakan menjadi hambatan serius. Namun kita juga harus jujur bahwa gerakan sosial belum membangun war of position yang kuat -yakni proses panjang membangun basis kultural, organisasi, dan kepemimpinan politik yang tahan uji.

Reformasi telah membuka pintu sejarah, namun tidak menjamin siapa yang akan masuk. Charles Tilly mengingatkan bahwa gerakan sosial hanyalah pembuka ruang. Jika ruang itu tidak diisi oleh rakyat, maka ia akan diambil alih oleh elite yang sama, dengan strategi yang lebih canggih.

Tugas kita hari ini bukan sekadar mengenang atau merayakan Reformasi, tetapi merefleksikan capaian dan kekurangannya secara jujur. Lebih dari itu, kita perlu membangun kembali gerakan rakyat yang solid, berpijak pada nilai, namun juga cakap dalam strategi dan manuver politik.

Reformasi mungkin belum sepenuhnya gagal. Tapi juga jelas, belum berhasil. Dan sejarah belum selesai -ia masih menanti kita semua untuk menulis babak berikutnya, dengan lebih bijak dan berdaya. Semoga.

 

AGUNG WIBOWO HADI

Presedium Perhimpunan Aktivis 98

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular