
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Sekretaris Jenderal Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, menilai Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat konsumsi rokok. Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 yang jatuh pada 31 Mei, hari ini, menjadi momentum untuk menyoroti bahaya laten industri tembakau dan lemahnya regulasi pengendalian rokok di tanah air.
“Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Ini menempatkan kita dalam posisi terisolasi dalam komitmen global pengendalian tembakau,” ujar Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima Cakrawarta.com, Sabtu (31/5/2025).
Tema HTTS 2025, yaitu “Unmasking Tobacco Industry” atau “Buka Topeng Industri Rokok”, dinilai relevan dengan kondisi di Indonesia. Tulus mengidentifikasi sedikitnya enam indikator darurat konsumsi rokok, yaitu dari sisi paradigma, sosial, ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan hukum.
Jumlah Perokok Tinggi, Termasuk Anak-Anak dan Remaja
Dari sisi sosiologis, Tulus mencatat bahwa perilaku merokok di Indonesia tergolong “ugal-ugalan”. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 32% populasi atau sekitar 73 juta orang, termasuk 7,4% perokok anak. Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan prevalensi perokok pria dewasa tertinggi di dunia, yakni 76%, menurut World Population Review tahun 2022.
“Normalisasi rokok di masyarakat sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan anak-anak menganggap merokok adalah hal yang biasa,” ungkapnya.
Penggunaan rokok elektronik juga meningkat tajam. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah pengguna rokok elektronik melonjak hingga 10 kali lipat, kini mencapai 6,9 juta pengguna, sebagian besar di antaranya adalah remaja.
Rokok Perparah Kemiskinan dan Bebani BPJS Kesehatan
Tulus menilai, perilaku merokok juga berkontribusi langsung terhadap kemiskinan dan beban ekonomi rumah tangga. Ia menyebut rumah tangga miskin di Indonesia mengalokasikan 10–11% dari pengeluarannya untuk membeli rokok, jauh lebih tinggi dibandingkan untuk pembelian lauk pauk yang hanya sekitar 3,5%.
Dari sisi kesehatan, lanjutnya, merokok menjadi faktor risiko utama penyakit tidak menular. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa pada 2023, anggaran untuk penanganan penyakit katastropik mencapai Rp 34,8 triliun, naik dari Rp 24 triliun pada 2022. Penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal mendominasi jumlah kasus.
“Meski bukan penyebab tunggal, kontribusi rokok terhadap penyakit-penyakit tersebut sangat besar,” ujar Tulus.
Lingkungan Tercemar dan Regulasi Lemah
Tulus juga menyoroti dampak lingkungan dari rokok, khususnya limbah puntung dan kemasan rokok yang tergolong limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Ocean Conservancy mencatat bahwa ada lebih dari 1,1 juta sampah puntung rokok di pesisir global pada 2021, dan Indonesia termasuk penyumbang besar.
Tulus menambahkan, dari aspek hukum, Indonesia dinilai gagal membentuk sistem regulasi pengendalian tembakau yang kuat. PP 28/2024 tentang Kesehatan, yang seharusnya menjadi payung hukum untuk mengendalikan konsumsi rokok, hingga kini dinilai belum berjalan optimal.
“Interferensi industri rokok terhadap regulasi sangat kuat, bahkan indeks interferensi Indonesia adalah yang tertinggi di Asia dan dunia, dengan skor 84 menurut survei SEATCA 2023,” tegasnya.
Dorongan untuk Reformasi Cukai dan Implementasi PP 28/2024
Sebagai langkah mitigasi, Tulus menyerukan kenaikan signifikan cukai rokok dan reformasi sistem cukai yang dinilai masih terlalu kompleks dan menguntungkan industri. Ia juga menyoroti maraknya rokok ilegal serta perlunya penegakan hukum melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT).
Di sisi non-fiskal, Tulus mendesak pemerintah agar segera mengimplementasikan PP 28/2024 secara menyeluruh, sebagai instrumen untuk mendenormalisasi perilaku merokok di masyarakat.
Ia menegaskan, tanpa tindakan serius, target pemerintah mencapai bonus demografi 2030 dan generasi emas 2045 hanya akan menjadi mimpi belaka.
“Ini bukan sekadar persoalan kesehatan, tetapi bencana buatan manusia (human-made disaster) yang perlu ditangani secara radikal,” tutup pria yang juga Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) itu.(*)
Editor: Abdel Rafi