
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Aksi unjuk rasa di penghujung Agustus 2025 menyisakan fakta mengejutkan: ratusan pelajar SMA/SMK ikut turun ke jalan. Banyak dari mereka bahkan diamankan aparat kepolisian di berbagai titik Jabodetabek.
Di depan kompleks DPR/MPR RI pada 25 Agustus, misalnya, polisi mengamankan 351 orang, dan 196 di antaranya tercatat sebagai pelajar. Fenomena serupa juga merebak di daerah penyangga ibu kota: Polres Bogor menggagalkan keberangkatan 171 pelajar ke Jakarta, Polres Karawang menangkap 49 pelajar SMK, sementara razia serupa berlangsung di Bekasi, Ciputat, hingga Tangerang.
Fenomena ini mengingatkan pada aksi-aksi sebelumnya, ketika pelajar kerap disebut sebagai “massa tambahan” dalam demonstrasi besar. Namun, skala tahun ini dianggap berbeda.
Agung Nugroho, peneliti Jakarta Institut, menegaskan keterlibatan pelajar kali ini adalah tanda bahaya serius.
“Ratusan pelajar yang turun ke jalan adalah alarm sosial. Ada ruang kosong dalam pembinaan generasi muda kita. Jika dibiarkan, pola ini akan terus berulang,” ujarnya, Selasa (2/9/2025).
Agung menyebut ada tiga faktor utama yang mendorong pelajar ikut aksi. Pertama, pengaruh media sosial. Ajakan lewat TikTok, Instagram, hingga grup WhatsApp menjadi pemicu utama. Kedua, budaya FOMO. Banyak pelajar merasa ‘keren’ bila ikut demo, apalagi bisa direkam lalu diunggah ke media sosial. Dan terakhir, keresahan sosial-ekonomi. Kenaikan harga kebutuhan, kondisi keluarga yang sulit, hingga minimnya ruang berekspresi di sekolah membuat pelajar mencari pelampiasan.
“Anak-anak ini sedang mencari ruang untuk didengar. Sayangnya, jalanan yang mereka pilih, karena sekolah tidak menyediakan forum aspirasi yang sehat,” tambah Agung.
Jangan Kriminalisasi, Tapi Bina
Jakarta Institut mengingatkan aparat dan pemerintah agar tidak hanya mengandalkan langkah represif.
“Kalau hanya ditangkap, ditakut-takuti, bahkan dikriminalisasi, yang lahir adalah trauma, bukan kesadaran. Pelajar harus dipandang sebagai aset bangsa, bukan sekadar objek pengendalian,” tegas Agung.
Beberapa langkah solutif, lanjutnya, yang disarankan untuk dilakukan antara lain:
- Penguatan literasi digital di sekolah.
- Revitalisasi OSIS sebagai wadah aspirasi.
- Dialog generasi muda yang melibatkan pemerintah, sekolah, dan komunitas.
Keterlibatan pelajar dalam aksi massa sebetulnya bukan hal baru. Sejak 2019, pelajar kerap hadir dalam gelombang protes. Namun, masifnya keikutsertaan mereka pada Agustus 2025 menunjukkan ada masalah struktural yang belum terselesaikan.
“Ini bukan hanya soal keamanan, tapi juga pendidikan, kesejahteraan, dan masa depan bangsa. Kalau ratusan pelajar bisa dengan mudah turun ke jalan, berarti ada sesuatu yang salah dalam ekosistem kita,” tutup Agung. (*)
Editor: Umar Faruq dan Abdel Rafi