Saturday, June 14, 2025
spot_img
HomeEkonomikaPetani Miskin di Negeri Pangan Berlimpah, Ada yang Salah?

Petani Miskin di Negeri Pangan Berlimpah, Ada yang Salah?

 

ilustrasi. (Gambar: Tim Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Indonesia dikenal sebagai salah satu lumbung pangan dunia, khususnya untuk komoditas beras. Namun di balik sawah yang hijau dan panen yang melimpah, masih banyak petani kecil yang hidup dalam kemiskinan. Sebuah ironi yang disorot dalam orasi ilmiah Prof. Drs. (Ec) Tri Haryanto, MP, PhD, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair), Rabu (28/5/2025), di Surabaya.

Dalam orasinya berjudul “Pembangunan Pertanian Padi untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional: Tinjauan Ekonomi Pertanian”, Prof Tri memaparkan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan, melainkan juga soal akses, kualitas gizi, dan keberlanjutan.

“Ketahanan pangan harus dilihat secara menyeluruh. Tidak hanya ada beras di pasar, tapi apakah masyarakat bisa membelinya? Apakah petani yang menanamnya bisa hidup layak?” ujar Prof Tri.

Indonesia memang mencatatkan tren membaik dalam indeks ketahanan pangan. Namun, data menunjukkan 4,5% penduduk masih mengalami kerawanan pangan sedang hingga berat, dan prevalensi kekurangan gizi masih di angka 8,5%.

“Dua indikator ini menunjukkan bahwa ketersediaan pangan saja belum cukup. Kita harus bicara soal akses yang adil dan keberlanjutan sistem pangan,” katanya.

Ironisnya, petani—produsen utama pangan nasional—justru menjadi kelompok paling rentan terhadap kemiskinan dan kelaparan. Sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia tinggal di wilayah penghasil pangan, terutama petani kecil dan buruh tani.

Prof Tri menyebut bahwa meningkatkan produktivitas pertanian padi menjadi langkah penting, tidak hanya untuk mencukupi stok pangan, tetapi juga untuk mengangkat kesejahteraan petani dan memutus lingkaran kemiskinan.

“Pertanian harus berpihak pada petani. Jangan sampai mereka terus terjebak dalam sistem yang membuat mereka terus miskin, padahal mereka memberi makan bangsa,” ujarnya.

Swasembada Belum Tuntas

Indonesia menempati posisi keempat sebagai konsumen dan produsen beras terbesar di dunia, dengan konsumsi mencapai 95 kilogram per kapita per tahun. Tingkat kemandirian pangan sudah mencapai 90%, namun Prof Tri mengingatkan bahwa ketergantungan impor masih mengintai.

“Peningkatan produksi nasional adalah keharusan. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana sistem ini memberi manfaat langsung bagi petani, bukan hanya untuk angka statistik,” tuturnya.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang adil dan merata, Prof Tri menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak kepada petani: mulai dari harga jual yang adil, subsidi yang tepat sasaran, hingga akses teknologi, pelatihan, dan infrastruktur yang memadai.

Ia juga menekankan perlunya menggeser paradigma pembangunan pertanian dari sekadar mengejar kuantitas menuju pendekatan yang berkelanjutan dan inklusif -termasuk peran perempuan, konservasi lingkungan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

“Petani jangan hanya dilihat sebagai alat produksi, tapi sebagai subjek utama pembangunan ekonomi desa dan pangan nasional,” tegas Prof Tri.

Di akhir orasinya, Prof Tri menyampaikan bahwa pertanian padi dapat menjadi pilar utama dalam membangun Indonesia yang mandiri dan berdaulat pangan.

“Ketahanan pangan yang sesungguhnya hanya bisa dicapai jika kita membangun sistem yang adil—bagi konsumen, dan terutama bagi petani. Di tengah tantangan global, padi tetap fondasi paling dasar untuk kedaulatan bangsa,” pungkasnya.(*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular