Sebetulnya, saya ingin akhiri serial tulisan ini pada tulisan ketiga. Namun, terdapat sejumlah sahutan yang meminta saya meneruskan dengan nada “tambuah ciek”. Ya, sudah, saya tambahkan ciek alias sara alias satu artikel lagi. Sungguh, saya meresa ikut berbahagia ketika beberapa sahutan menyebut sebagai penggemar tulisan-tulisan saya. Padahal, saya merasa sudah veteran perang di halaman-halaman opini media massa. Veteran, dalam artian pernah menjadi juara kelas beberapa tahun sebagai kolomnis terlaris dan tentu paling banyak meraup rupiah.
Begini, sejak terjun ke dunia politik dalam usia sangat muda, yakni menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN) tahun 1999-2001, lalu terjemplung sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) selama hampir sembilan tahun, saya mencoba berpolitik berdasarkan science. Science dalam makna itu tentulah tak mudah mengubah-ubang statuta, program kerja, maupun langkah yang sudah disepakati bersama. Pun dalam membaca satu situasi, kondisi dan cuaca politik, tidak bisa mengandalkan selera satu orang atau sekelompok orang saja.
Pernah, dalam satu seri diskusi Kelas Indonesia Alternatif (KIA) yang diadakan di Yayasan Harkat Bangsa (YHB) yang terdiri dari sekitar 40 orang anak muda – ada Philips Jusario Vermonte, Bima Arya Sugiarto, Budiman Sudjatmiko, Zuhaeri Misrawi, Hanif Dhakiri, Coen Husain Pontoh dan lain-lain – terdapat perbedaan antara kawan-kawan yang berpandangan sosialis dan liberalis dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. Usulan yang muncul waktu itu terasa pragmatis: Si A yang pro sosialis diminta memimpin satu kabupaten selama satu periode dan Si B yang pro liberalis juga memimpin satu kabupaten dalam satu periode. Masing-masing kelompok membantu Si A dan Si B, lalu setelah lima tahun, satu lembaga independen dipersilakan mengukur keberhasilan atau kegagalan masing-masing dengan tolok ukur yang sama. Sayang, kami hanyalah satu kelas diskusi reboan yang sedang bernostalgia dengan studi-studi klub di kampus, lalu bertemu dengan kegairahan bangsa Indonesia menjalankan transisi demokratiknya. Tak ada yang membayangkan bahwa Hanif menjadi menteri, Budiman menjadi anggota DPR RI, atau Bima menjadi Walikota. Namun yang sudah agak pasti adalah seorang IJP pastilah menuliskan apapun dari pekerjaan teman-temannya itu.
Tak heran, kala saya sudah mulai melewati fase-fase terakhir dari pembreidelan sistem politik di bawah UUD 1945 versi asli; langkah pertama saya adalah maju menjadi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2007. Dan untuk pertama kalinya juga saya menggugat Presiden RI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) hingga Mahkamah Agung dengan 12 orang pengacara, seperti Firman Widjaja, Rikrik Rizkiana dan Suryanto Gultom. Saya kalah, tapi sudah merasa menjalankan seluruh proses yang saya anggap penting dan dewasa dalam kehidupan bernegara.
Pada saat bergabung dengan Partai Golkar, saya pun menjalankan apa yang saya anggap sebagai cara moderen dalam berpartai, yakni berbeda pendapat dengan argumen-argumen yang tersusun rapi dalam bentuk sikap, tulisan, hingga pokok-pokok pikiran. Baru belakangan saya tahu, via internet, betapa setiap kali pidato atau sidang atau rapat, DN Aidit dengan massa dan pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI)-nya ternyata selalu menyertakan tulisan-tulisan yang dijadikan sebagai bahan rapat. Barangkali karena itu juga sepak-terjang PKI dengan mudah bisa dilacak, bahkan oleh intelijen asing yang “mampu” menghitung jumlah anggota, pengurus, simpatisan, bahkan hingga massa dan pengikutnya.
Bayangkan, apabila absensi tidak ada, nama tidak ditulis, pendapat tak dicatat, barangkali PKI adalah hantu aru-aru saja di malam yang bergerimis, lolong anjing dan rembulan merah sepotong diterpa awan.
Tapi apalah daya, bermodalkan banyak sekali pelatihan, sertifikat, piagam, makalah hingga buku, ternyata kehidupan politik tak setertulis dan sebertulisan yang saya bayangkan itu. Bisik-bisik yang tak ada dalam catatan lebih laku, ketimbang dua atau tiga lembar catatan yang barangkali suatu saat tak perlu diulang lagi, karena sudah bisa dibaca saja. Saya ingat, dalam Rapimnas Partai Golkar tahun 2012 di Ancol, terdapat tiga orang yang saling berbagi tugas guna mengegolkan keputusan untuk tak ada sanksi bagi kandidat perseorangan asal Partai Golkar.Ya, saya, Tantowi Yahya dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang membagi badan untuk duduk disamping microphone untuk terus menyanggah dan berbantah.
Argumen kami tak diperhatikan, Ahok menyeberang, Tantowi membatalkan rencana untuk maju di DKI Jakarta dan saya meneruskan perlawanan di Kota Pariaman. Walau sudah dijanjikan sebagai Calon Nomor Urut Satu di Sumbar II oleh Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, Ketua Bidang dan sebagainya, saya merasa tetap harus melawan keputusan Partai Golkar yang mengusung kader partai lain. Biar sejarah mencatatnya.
Politik bunyi-bunyian dalam aksara-aksara media massa ataupun bikinan sendiri itulah yang membuat saya merasa lebih hidup dan bernyawa dalam tubuh partai politik. Sudah terbiasa bagi saya untuk berbeda pendapat bahkan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Saya biasanya tak segan-segan meminta waktu untuk diberikan penjelasan terkait perbedaan penafsiran saya atas satu keputusan yang sudah “diambil” partai.
Setahun usai Pemilu, Pilpres dan Musyawarah Nasional Partai Golkar pada 2009; saya sudah menerbitkan sebuah buku tebal menyangkut kesaksian saya pada emosi yang saya rasakan. Saya benar-benat merasa plong, pada saat meluncurkan buku itu di Jakarta Media Center di hadapan ratusan aktivis, termasuk dengan Kata Pengantar Dr Rizal Ramli yang merupakan salah seorang tokoh yang “menjebloskan” saya ke dalam ranah politik praktis (di hadapan almarhum Syamsul Hadi PhD, Thamrin Amal Tomagola PhD, dan bahkan filsuf Romo Magnis Suseno).
Lalu, bagaimana dengan Anies? Saya pernah dua kali berpolemik dengannya. Pertama: di Harian Jawa Pos terkait pemilu nasional dan pemilu lokal. Kedua: di harian Koran Tempo terkait dengan supplier kepemimpinan nasional masa depan. Silakan periksa kedua tulisan itu. Saya boleh menepuk dada, mengingat skor untuk keduanya 2:0 untuk kemenangan saya. Lebih kurang, saya membantah argumen Anies pada Harian Koran Tempo yang menyebut cadangan kepemimpinan nasional akan datang dari kalangan pengusaha. Justru dengan tegas saya tuliskan bahwa demokrasi dan sistem multipartai bakal membalikkan situasi kepada awal Indonesia merdeka.
Apa itu? Bahwa kaum intelektual atau inteligensialah yang bakal menjadi cadangan kepemimpinan dan bahkan menjadi pemimpin nasional ke depan. Saya masih menilai tulisan Harry J Benda dalam buku klasik yang disunting oleh Wiratmo Sukito (kalau tidak salah) yang menyebut kaum intelektual sebagai bagian dari kelas penguasa di dunia Timur, termasuk Indonesia. Di dalam hati, pada saat menulis itu – ya, silakan saja periksa hati saya –, justru salah satu yang saya jagokan adalah orang yang saya bantah tulisannya itu, yakni Anies Rasyid Baswedan sendiri.
Sering saya katakan kepada beberapa kawan dekat: “Sejak kenal Anies, ia menyimpan ketakutan yang berlebih pada bulu di tubuhnya. Ia merasa terbebani sebagai orang Arab atau keturunan orang Arab. Lah? Saya saja yang dianggap berasal dari tanah asal muasal Malin Kundang, merasa tak pernah durhaka kepada ibu saya.”
Nah, pada titik ini, Ahoklah yang menjadi salah satu sumber amatan saya, sejak ia menjadi Bupati Belitung Timur. Sebagai analis soal-soal politik lokal yang tentu laku keras, saya tulis dan sebut nama Ahok sebagai contoh orang yang sudah memerdekakan diri dengan bulu-bulu di tubuhnya. Kebetulan, saya mengenal dengan baik almarhum Dr (Sutan) Syahrir dan istri (Kartika Syahrir Panjaitan, adik Luhut Binsar Panjaitan). Kalau tidak salah, pertemuan terakhir saya dengan Dr Syahrir adalah di restoran Thailand Vietopia bersama dengan Saldi Isra. Dr Syahrir adalah pendiri dan Ketua Umum Partai Indonesia Baru yang mengaktivasi Ahok.
Singkat cerita, Anies menjadi berani membuang bulu-bulu Arab di tubuhnya, kala melihat Ahok tak lagi terbebani dengan bulu-bulu yang datang dari daratan China sana. Kala survei Indo Barometer memunculkan nama Ahok sebagai salah satu figur nasional yang melebihi Anies sebagai Calon Presiden RI 2019-2024, saya tentu tak merasa survei itu berlebihan. Ahok sudah menanam nama lebih dahulu, tatkala Anies terpancing menjadi peserta Konvensi Nasional Partai Demokrat. Sebelumnya? Ada Yuddy Chrisnandi yang juga dengan sangat terbuka saya dukung kemudaan, kedoktoran dan keberaniannya.
Bagi yang masih percaya bahwa Ahok tak mempengaruhi Anies, Anies tak mempengaruhi Ahok, dalam gelombang pasang kebangkitan anak-anak muda pergerakan pasca Orde Baru, silakan saja tanya kepada Ahok tentang pendapatnya mengenai saya. Saya yakin, dia tak akan berdusta.
Yang jelas, siapapun yang menjadi pemenang dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta nanti, baik Anies-Sandi atau Ahok-Djarot: saya tak benar-benar percaya bahwa yang kalah akan binasa dan yang menang akan dijadikan arca. Andai Anies yang menang, Ahok tentu lebih punya waktu mendiskusikan program-program kampanyenya sebagai Calon Presiden RI 2019-2024 menghadapi Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Saya bisa saja mancing di Belitong Timur bersama Ahok, sambil membuang segala-bentuk sumpah serapah khas orang-orang pesisir ke tengah laut luas.
Nah? Bagi kalangan aktivis pergerakan mahasiswa era 1980-an dan era 1990-an yang telanjur berseteru, masih ada satu pertanyaan untuk itu: mengapa tidak dicoba menyinergikan pikiran-pikiran kita (ya, termasuk saya) untuk masa depan, ketimbang ikut bicara satu orde atau satu rezim yang jelas-jelas bukan kita yang pernah menikmati kemolekannya.
INDRA J PILIANG
Analis Senior Sang Gerilya Institute